Share

TERNYATA SUAMIKU PETANI KAYA RAYA
TERNYATA SUAMIKU PETANI KAYA RAYA
Penulis: Maulina Fikriyah

Datangnya lamaran

***

"Apa pekerjaan kamu, Haikal?"

Haikal melirik Delia yang juga tengah menatapnya risau. 

"Saya ... membantu Bapak dan Emak di sawah, Bu," jawabnya. 

"Petani?" pekik Bu Sarah terkejut. "Kamu seorang petani, Haikal?"

Haikal mengangguk ragu sembari melirik Delia. Wajah Bu Sarah yang tetiba menegang membuat debar jantung Delia berdetak tak karuan. Wanita cantik dengan make up tipis itu menautkan sepuluh jemarinya. Risau. Delia  bisa menangkap jawaban yang akan Bu Sarah lontarkan melalui mimik wajah Sang Ibu. 

"Ibu tidak menyangka kalau pria yang akan kamu kenalkan pada kami adalah seorang petani, Del." Bu Sarah menarik ujung bibirnya sinis. "Kamu ini sarjana, Delia, lulusan terbaik di Universitas Surabaya. Bisa-bisanya bawa calon suami yang ...." Perkataan Bu Sarah terhenti. "Astaga ... dia tidak punya pekerjaan, Delia!"

"Maaf, Bu ... tapi saya bekerja."

"Iya, tau! Bekerja sebagai petani kan?" Bu Sarah terkekeh. "Bagi keluarga kami, petani itu bukan pekerjaan, Haikal. Pekerjaan itu yang bergaji tinggi. Kalau cuma membantu di sawah, itu bukanlah pekerjaan. Gak ada duitnya," kata Bu Sarah sarkas. 

"Bu ...."

"Ibu bicara benar, Del. Petani itu gak punya masa depan, mau jadi apa kamu kalau menikah sama Haikal?"

Haikal menatap Delia yang sedang menunduk menyembunyikan wajah. Cairan bening bergelayut di mata Delia, tidak menyangka jika Sang Ibu akan mempermasalahkan pekerjaan pria yang dicintainya. 

"Tidak masalah meskipun petani, Bapak setuju," ucap Pak Handoko, berhasil membuat Delia mengangkat kepalanya. "Uang bisa mereka cari berdua, Bu. Bapak yakin kalau Haikal ini pria baik," imbuhnya.

"Baik saja tidak cukup,"sahut Bu Sarah ketus. "Jaman sekarang menikah butuh duit, Pak! Bapak mau Delia menikah secara sederhana karena calon suaminya yang tidak mampu?"

Pak Handoko menatap Delia lamat-lamat. Pria paruh baya itu paham sekali dengan sifat Delia. Tidak mungkin bungsunya itu membawa seorang pria tanpa pertimbangan yang matang. Pak Handoko mengerti, Delia tidak salah pilih.

"Mending jadi perawan tua daripada menikah sama petani, Delia. Sudahlah miskin, gak punya masa depan, buat apa kamu menghabiskan masa tua dengan pria seperti itu, bodoh!" Suara Fatimah bagai belati yang menggores hati. 

Delia melayangkan tatapan sengit pada kakak keduanya. Fatimah. Wanita berusia matang yang seharusnya sekarang sudah menikah. Namun sayang, terlalu pemilih membuatnya sulit mendapatkan pria yang bisa mendampingi hidupnya. Apalagi mulutnya yang pedas membuat beberapa pria memilih mundur sebelum cacian dan hinaan keluar dari bibir Fatimah yang merona. 

"Saya akan bertanggung jawab penuh atas hidup Delia, Pak, Bu ... Insya Allah, saya akan berusaha membahagiakan dia, saya berjanji."

Bu Sarah mencebik sementara Fatimah terlihat sedang tertawa lirih. Geli mendengar janji yang Haikal lontarkan. 

"Pokoknya Ibu tidak setuju!" ucap Bu Sarah lantang. "Bapak tidak bisa memaksa Ibu, sekali Ibu tidak merestui maka selamanya akan begitu."

"Amit-amit punya ipar petani, kalau Bapak terima lamaran dia, fix ... Bapak mau kita semua malu."

"Pekerjaan Haikal tidak hina, Nduk," ujar Emak Karti yang sudah terlalu lama diam. "Uang yang dia dapatkan juga halal," imbuhnya.

"Halal juga kalau sedikit gak bisa bikin bahagia," timpal Fatimah ketus. 

Emak menggenggam jemari Haikal dengan sangat erat. Hatinya berdenyut nyeri, namun apa yang bisa ia lakukan, Haikal memanglah hanya seorang petani. Juga anak petani. 

"Angkot siapa ini, Bu?"

Terdengar suara dari depan. Jaka, kakak pertama Delia berdiri di ambang pintu, sementara Meisya, sang istri berdiri di belakang Jaka dengan menenteng tas branded. 

"Oh, ada tamu ternyata," ucap Jaka tak acuh. Pria itu melenggang masuk tanpa menatap Haikal dan kedua orang tuanya. "Siapa mereka?"

"Jangan-jangan pria yang mau melamar Delia, dia orangnya, Bu?"

Bu Sarah mengangguk malas. "Iya," jawabnya lirih.

"Ck, yang benar saja." Jaka tergelak, disusul dengan gelak tawa Meisya yang membuat Delia semakin muak melihat sikap keluarganya. "Kesini bawa angkot, dapat pinjam?"

"Iya, Bang," jawab Haikal jujur. 

"Bikin malu saja kamu, Del!" Jaka menggerutu. Matanya menatap tajam ke arah Haikal yang duduk dengan ekspresi datar. "Kerja dimana kamu?"

Haikal hendak membuka mulutnya, namun Fatimah sudah lebih dulu menyambar, "Petani, Mas." Perempuan yang usianya menjelang tiga puluhan itu menyembunyikan tawanya. "Delia dilamar petani." Kali ini Fatimah tergelak, bahkan Meisya juga ikut menutup mulutnya dan tertawa diam-diam. 

"Serius, Bu?"

Bu Sarah lagi-lagi hanya mengangguk.

"Ha ... ha ... ha ... kamu menolak lamaran teman Mas, tapi mau menerima seorang petani, otakmu masih berfungsi kan, Del?"

"Mas, cukup!" Air mata Delia berjatuhan. "Mas Haikal dan keluarganya sudah cukup terluka dengan cibiran dan hinaan dari kalian semua. Cukup! Mas Jaka, Mbak Fatimah, Ibu ... kalian bikin aku kecewa."

"Heh, Delia! Bukan kami yang bikin kamu kecewa, tapi kamu yang sudah bikin kami malu! Kamu mau menikah sama petani, itu pilihan yang bodoh!" 

"Mas Jaka!"

"Apa?!" sahut Jaka sengit. "Mau marah, hah?"

"Dek, sudah gak apa-apa," kata Haikal lembut. "Tenanglah!"

Delia menoleh. Wajahnya yang basah tidak lantas membuat keluarganya merasa iba. Justru Emak yang ingin sekali memeluk perempuan muda itu agar tidak menangis. 

"Nduk, tenanglah," imbuh Bapak. "Kami kesini dengan maksud baik, tidak ingin ada keributan."

"Dasar gak tau diri!"

"Jaka, diam!" Pak Handoko membentak. Sudah sangat lama pria paruh baya itu diam sambil memperhatikan wajah Haikal dan kedua orang tuanya. "Kalau kedatangan kamu cuma mau marah-marah, pulanglah! Lagipula yang memutuskan apakah lamaran Haikal diterima atau tidak itu bukan kamu. Delia dan Bapak yang akan memutuskan."

"Pak, jangan gegabah ... dia cuma petani loh ...."

"Lalu kenapa kalau Haikal petani? Berhak kamu menghina dia hanya karena dia seorang petani, hah?" Pak Handoko naik pitam. "Bapak sejak tadi diam bukan berarti mendukung sikap kalian semua. Bapak ingin melihat seperti apa sikap Haikal, dan Delia memang tidak pernah salah pilih."

Delia mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata. "Pak ...."

"Bapak minta maaf atas nama keluarga, maaf karena sudah menggores luka di hati Nak Haikal dan keluarga."

"Bapak!" Bu Sarah memekik. "Ibu gak setuju kalau Delia menikah sama petani! Titik!"

"Kalau begitu Delia tidak perlu restu Ibu. Bagaimana?"

Mata Bu Sarah melotot. Urat-urat di lehernya menegang sementara dadanya terlihat naik turun. Kentara sekali jika emosi sedang menguasai hati Bu Sarah. 

"Bapak keterlaluan!" seru Bu Sarah.

"Lalu sebutan apa yang pantas untuk kalian? Pernah Bapak mengajari kalian semua buat menghina orang lain, hem?" Pak Handoko menguliti satu per satu anggota keluarganya. "Haikal dan keluarganya datang baik-baik kesini, harusnya kalian sambut dengan ramah, bukan malah menghina ...."

"Pak, sudahlah, jangan membuang-buang waktu ...."

"Tutup mulutmu, Fatimah!" sergah Pak Handoko ketus. "Delia yang berhak memutuskan pilihannya, bukan kamu!"

Delia tersenyum samar. Hatinya yang memanas perlahan terasa begitu sejuk mendengar Pak Handoko membela Haikal di depan keluarganya. Setidaknya, ada setitik harapan untuk impiannya hidup bersama Haikal.

"Dengarkan Ibu, Del ... kalau kamu menerima lamaran Haikal, itu artinya kamu siap keluar dari rumah ini," ancam Bu Sarah tidak main-main. "Ibu tidak mau menganggapmu sebagai anak. Tidak akan pernah!"

Bersambung

Komen (5)
goodnovel comment avatar
tom gun
saya baru mau mulai baca, sepertinya menarik karena tidak banyak bab sudah tamat,, kebanyakan novel ribuan bab belum selesai dengan kesan yg sama hanya beda tempat dan orang di ceritanya
goodnovel comment avatar
Yuliati
terlalu kejam keluarga adelia gak ada sopan santunnya
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
pak Handoko ............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status