Share

Memperjuangkan Perasaan

***

"Jangan membangkang Ibu, Delia!" bentak Bu Sarah lantang. "Kau pikir pernikahan bisa bahagia tanpa restu Ibu, hah?"

"Bapak merestui dan menerima lamaran Haikal," sahut Pak Handoko tegas. "Kalau Ibu menolak memberi restu, itu bukan salah Delia. Keputusan Bapak sudah final, lamaran Haikal Bapak terima."

Emak Karti dan Pak Gani mengusap wajah tua mereka sembari mengucap syukur. Beruntung Pak Handoko sangat membela Haikal sehingga pasangan yang usianya sudah renta itu sedikit merasa tenang.

"Pak, jangan keterlaluan ...."

"Bapak tidak mau berdebat lagi, Bu," sela Pak Handoko. "Kalau Ibu tidak setuju dengan keputusan Bapak, jangan berada disini, masuklah ke dalam kamar!"

Bu Sarah mencebik. Geram. Di depan orang asing Pak Handoko mempermalukan dirinya. Fatimah dan Meisya saling sikut. Dua wanita yang usianya tidak terpaut itu jauh itu sama-sama mengedikkan bahu. Merasa aneh dengan keputusan yang Pak Handoko berikan.

"Bapak yakin? Aku ingatkan lagi, Pak ... dia cuma petani loh," kata Jaka remeh. "Cuma pe--ta--ni!"

Pak Handoko tidak memperdulikan ucapan Jaka. Sebaliknya, pria paruh baya itu terlihat merengkuh bahu Delia dan tersenyum teduh di depan putri bungsunya. Merasa diabaikan, Jaka membuang muka. Kesal karena perkataannya tidak diindahkan di depan banyak orang.

"Kami sungguh berterima kasih, Pak. Sangat-sangat berterima kasih karena sudah menerima lamaran Haikal, putra kami," ujar Pak Gani. "Kalau tidak keberatan, bolehkah kami datang lagi satu minggu ke depan, kami ingin membicarakan rencana pernikahan Haikal dan Delia. Apa menurut Bapak itu terlalu cepat?"

"Benar-benar gak tau malu," gerutu Jaka lirih. "Seharusnya mereka pergi setelah kita permalukan, tapi lihat ... satu keluarga benar-benar tidak punya harga diri."

"Ngotot sekali ingin punya menantu dari kota," imbuh Meisya sinis. "Kebanyakan orang kampung memang begitu, Mas, gak tau diri!"

Pak Handoko menoleh dan melayangkan tatapan tajam pada Meisya. Menantu sulung di keluarganya itu terlihat menunduk menyembunyikan wajahnya yang memucat.

"Kami hanya sedang memperjuangkan perasaan Haikal, Nduk. Andai saja dia menyerah dan memilih melepaskan Delia, Emak dan Bapak juga akan pergi." Emak Karti berbicara dengan begitu tenang. Namun siapa yang tahu dalamnya hati manusia? Wanita tua itu sebenarnya menyimpan perih yang teramat dalam karena hinaan dan cibiran yang keluarga Delia berikan. "Andaipun Pak Handoko menolak lamaran Haikal, tentulah kami juga akan pergi dengan baik-baik. Emak bersyukur sekali karena kedatangan kami mendapat jawaban yang melegakan. Kami memang orang miskin dan tidak berpunya, tapi untuk membalas hinaan dan cacian orang lain, tidak perlu lah membuang-buang energi sebab Allah tidak menutup mata. Setiap perbuatan buruk akan mendapat balasan yang sama, begitupula sebaliknya."

"Oh, jadi kamu nyumpahin anak saya, iya?" Bu Sarah melotot. "Kalau saja suamiku ini tidak bodoh, sudah kuusir kamu semua dari rumah ini!"

"Ibu!"

Tubuh Bu Sarah dan anak-anaknya berjingkat kaget. "Tutup mulutmu!" desis Pak Handoko. Rahangnya mengatup rapat. Emosinya siap meledak jika saja tidak ada tamu di rumahnya.

"Kami ikut saja bagaimana baiknya." Pak Handoko tersenyum paksa seraya merengkuh bahu Delia.

Tidak ingin ada keributan yang lebih heboh, Emak dan Pak Gani serta Haikal memilih undur diri. Setidaknya lamaran mereka mendapatkan jawaban dari Pak Handoko selaku wali nikah Delia.

"Jaga diri baik-baik, Nduk." Emak mengusap lengan Delia lembut. "Maafkan kami ...."

"Mak, harusnya saya yang meminta maaf."

Emak menggeleng lemah. "Haikal tidak salah memilih kamu. Emak yakin itu."

Pipi Delia bersemu. Wajahnya seketika memanas mendapat pujian dari Emak Karti. Wanita tua yang sebentar lagi akan menjadi mertuanya.

"Kami pamit dulu, Pak, Bu ...."

"Ck, sana!" usir Bu Sarah. Tangannya menampik kasar tangan Haikal yang hendak bersalaman takzim.

Delia menghela napas panjang. "Hati-hati di jalan, Mas ...."

Haikal mengangguk tegas. "Assalamualaikum!"

Setelah mencium punggung tangan Pak Handoko, keluarga Haikal masuk ke dalam angkot yang terparkir di halaman rumah Delia.

Perlahan, angkot yang Haikal kendarai keluar dari pelataran rumah Delia dan melaju meninggalkan kota tempat dimana calon istrinya berada.

"Aku sama Meisya sepakat tidak akan mengeluarkan sepeserpun uang untuk pernikahan Delia nanti," kata Jaka memecah keheningan. Baru saja keluarga Haikal pergi, pria itu sudah kembali membuat suasana memanas. "Berdoa saja semoga pernikahan kamu lancar, Del. Ya ... meskipun kita gak yakin akan itu. Kamu tahu kan keluarga Bapak sama Ibu itu seberapa banyak? Yakin kalau suamimu bisa mencukupi semua kebutuhan pernikahan?"

"Paling-paling jual sawah, Mas. Nanti setelah menikah malah menganggur karena sawahnya sudah terjual untuk biaya menikah. Sudahlah miskin, makin miskin lah nanti," timpal Meisya pedas.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
apakah Meisya ada main sama Pak Faisal
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Jaka dan Meysa terlalu merendahkan orang,ucapan adalah doa bisa saja yg kamu ucapkan berbalik kepada dirimu sendiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status