Share

Demi Sahabat

Tak banyak yang bisa dilakukan Zeline. Ia hanya butuh uang itu segera. Dan inilah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. Apa pun itu namanya yang jelas Zeline tak akan membiarkan kehilangan merenggut lagi impian yang sudah ada di depan mata.

Impian untuk memiliki sahabat.

Dari dulu, sejak kecil perempuan hidup tanpa seorang teman. Hidup bergelimang harta dan kaya raya dan membuatnya dijauhi banyak teman. Tak ada yang mau berteman dengannya. Perempuan paling cantik anak orang kaya. Saking kayanya sampai teman sebayanya minder.

“Kau melamun lagi sayang?” ucap laki-laki yang ada di depan tubuh Zeline. Menarik mundur tubuhnya sedikit menjauh agar bisa melihat wajah perempuan yang tengah tak menentu itu.

Zeline hanya bisa menggeleng. Tanpa ia sadari ternyata sedari tadi laki-laki itu tengah mengamati dirinya. Bahkan hingga tak menikmati apa yang sedang dilakukan Zeline padanya. Tak menikmati pijatan lembut jemari Zeline di batangnya.

“Aku ke belakang dulu deh, Om.” Zeline memaksa senyum.

Menutupi rasa gundah dan dilema. Ayolah, ia dibayar untuk ini bukan? Dan ini juga bukan kali pertama.

Pria yang sudah telanjang bulat itu menggeleng heran. Membiarkan gadis itu berdiri, melenggang ke kamar mandi meninggalkannya. Kedua bola matanya tak bisa lepas dari tubuh gadis itu. Pahanya yang mulus, sebongkah pantat yang indah melenggok ke kiri dan kanan. Pinggang ramping yang membuat tubuh Zeline bernili 10/10.

Om Firman masih tergila-gila pada Zeline meski sudah menggagahinya berkali-kali.

Di dalam kamar mandi Zeline hanya berdiri di depan wastafel. Disangga kedua tangannya, menatap dirinya sendiri di depan cermin. Semua kenangan buruk itu benar-benar membunuhnya dari dalam. Di waktu yang tidak tepat, di tempat yang bukan waktunya.

Air dari keran mengalir. Tangannya menangkup, menangkap air yang mengalir itu membasuh wajahnya. Lagi-lagi ia harus membunuh nuraninya. Sekali lagi ia harus sadar, bahwa pilihan ini adalah jalan yang ia ambil.

Satu bilasan air lagi di wajahnya.

Rasa segar mengalir, menghapus make up tipis di wajahnya. Meski tanpa mereka wajah Zeline tetap cantik. Mata sipit, pipi tirus, dagu yang lancit, juga rambutnya yang dibiarkan tergerai. Ditambah poni mungil sedikit menutupi keningnya.

Menatap dirinya sendiri di depan cermin dengan perasaan bangga. Menghela napas berkali-kali, mengatur detak jantung kemudian tersenyum lebar dengan penuh rasa lega. Tak ada yang perlu ia khawatirkan lagi.

Inilah jalan yang sudah ia pilihan. Kesalahan yang tak bisa lagi dibenahi. Lubang besar gelap dan pengap yang tak bisa ia temukan jalan keluarnya. Hanya punya pilihan untuk terus berjalan, berjalan, dan berjalan.

Tangannya menanggalkan kemeja merah yang ia kenakan. Melepas satu persatu kancing bajunya. Membiarkan selembar kain itu lolos dari tubuhnya dan jatuh ke lantai kamar mandi begitu saja.  

“Nanti juga Om Firman belikan lagi,” gumamnya dalam hati.

Perempuan itu kembali menatap cermin. Melihat tubuhnya yang kini hanya berbalut bra krem dan celana dalam berwarna sama. Menyeringai licik seolah ingin memercundangi bayangan dirinya yang tercetak di depannya.

Berkata pada dirinya sendiri di dalam cermin, bahwa tak ada lagi tawar menawar di sini. Malam ini, suka atau tidak ia harus melakukannya. Inilah profesi yang sudah ia ambil. Inilah pekerjaan yang harus yang harus ia lakukan demi uang.

Dan tak berapa lama kemudian pintu kamar mandi terbuka. Tubuh menawan Zeline keluar dari sana dengan hanya berbalut handuk putih yang menutupi dada hingga sedikit pangkal kakinya. Bola matanya berputar, menatap sofa yang tadinya ada laki-laki itu. Sofa hitam kecokelatan berbahan kulit tipis terbaik itu  ternyata telah kosong.

Laki-laki itu sudah pergi. Sudah terbaring di atas ranjang menunggu Zeline. Dan ke sanalah kini kedua kaki Zeline melangkah. Duduk di pinggir ranjang. Tersenyum ke arah laki-laki di sebelahnya itu.

“Tumben kau tak seagresif biasanya sayang?” ucap laki-laki itu sambil menarik tangan Zeline.

“Jadi kau suka Zeline yang ganas, Om?” tanya Zeline balik dengan nada genit. Sudah waktunya bekerja, ia harus fokus dengan laki-laki satu ini.

Menarik selimut yang dari tadi menutup tubuh pria itu. Membuangnya sekuat tenaga, membuat kini tubuh telanjang bulat pria baruh baya itu terpampang jelas di depan mata Zeline.

Laki-laki yang kini tersenyum penuh gairah ke arah Zeline.

Zeline yang sudah handal melakukan ini kemudian melancarkan aksinya. Tangannya pelan-pelan merambat seiring tubuhnya yang sudah naik ke atas ranjang. Bahkan lihat kini, satu kakinya dengan bebas lolos melewati tubuh Om Firman. Membuka pahanya  membuatnya terduduk di atas paha laki-laki itu.

Om Firman melenguh saat kulitnya bertemu dengan kulit paha Zeline yang kencang dan lembut. Memejamkan mata, menikmati sensasi barusan yang menjalar ke suruh tubuh hingga ubun-ubun kepalanya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku om,” protes Zeline berbisik sambil menurunkan tubuhnya pelan-pelan. Merunduk, hingga bibirnya sampai di depan daun telinga laki-laki yang kini ada di bawahnya.

Sementara pria itu justru tergelak. Membuat tubuh Zeline yang menindih perut buncitnya ikut bergoyang.

“Aku tak bisa memilih sayang, mana yang lebih kusuka. Kamu yang ganas atau yang lembut seperti sekarang. Tapi yang jelas!” Kalimat laki-laki itu terpotong.

Menarik ujung handuk yang melilit tubuh Zeline, jadi kain terakhir yang membalut tubuhnya. Kain putih itu dengan mudah terlepas dari tubuh ramping Zeline.

“Aku suka kamu yang tidak mengenakan apa-apa,” lanjut laki-laki itu berbisik tepat di depan daun telinga Zeline. Membuat sekujur bulu kuduk Zeline berdiri.

Mengangkat sedikit tubuhnya, membiarkan laki-laki itu menarik handuk di bawah tubuhnya. Selembar kain terakhir yang membatasi tubuh telanjang mereka. Laki-laki itu tersenyum. Matanya menyorot wajah Zeline yang membalasnya dengan balas tersenyum genit.

Menggigit bibir bawahnya, menambah pekat aroma birahi yang memenuhi ruangan.

“Kau tahu? Kau sangat seksi malam ini.” Om Firman tak tahan lagi. Mengangkat sedikit kepalanya, menyambar bibir tipis Zeline yang kali ini begitu menggoda bagi dirinya.

Zeline yang gelagapan menerima ciuman tiba-tiba itu berusaha menguasai dirinya. Bersandar dengan kedua tangannya, mendorong kepala pria di bawahnya untuk rileks. Turun, kembali bersandar di atas bantalnya.

Suasana yang semakin panas di antara tubuh telanjang mereka. Dua lapisan kulit yang beradu, cukup membuat gairah Zeline terpacu. Tubuhnya menggeliat, mengambil alih permainan.

Melaksanakan tugasnya sebagai wanita penghibur bagi laki-laki yang kini terlentang pasrah di bawahnya.

Kedua tangannya meremas lembut pergelangan tangan Om Firman. Mengangkatnya, membukanya ke atas kepalanya. Menggeliat lagi, menggesekkan tubuh telanjang bulatnya di atas tubuh pria itu. Tanpa melepas ciuman panjang yang masih mengikat bibir keduanya.

Zeline melenguh lagi, mulai menikmati permainan yang ia ciptakan sendiri. Udara yang semakin tipis di antara hidung mereka. Bibir yang semakin terasa basah. Ciuman-ciuman yang kini menjelma isapan-isapan membuat Zeline melenguh nikmat.

Bahkan dengan posisinya sekarang, meski dengan memejamkan mata sekali pun Zeline bisa merasakannya. Merasakan sesuatu mulai mengeras di bawah sana. Di pangkal kakinya yang terbuka lebar menindih pinggul pria ini.

Zeline melepas ciumannya. Membuat dua orang itu sekaligus membuka matanya sekaligus.

“Jadi ini yang kau suka Om?” tanya Zeline sambil tersenyum genit. “Aku bisa merasakan sesuatu sudah mengeras di bawah sana,” lanjutnya sambil mengangkat tubuhnya.

Kini Zeline tampak seperti tengah menunggang kuda. Membiarkan rambut panjang dengan warna pirang di ujung miliknya tergerai melewati bahu.

Laki-laki yang tak mau kalah itu menyusul bangun. Menahan tubuh besarnya dengan dua tangannya. Menyusul Zeline, perempuan yang kini terkekeh melihat kelakuan menggemaskan pria langganannya ini.

“Jangan panggil aku om, cantik,” ucap Om Firman setelah berhasil duduk. Menyusul Zeline, mendaratkan ciumannya di bibir Zeline sekali lagi.

Zeline yang sudah terbakar api birahi menyerahkan bibirnya suka rela. Menjemput ciuman itu, meladeni laki-laki ini dengan tidak kalah ganas. Melingkarkan lengannya di leher Om Firman, menarik kepala laki-laki itu hingga bibirnya tenggelam jauh lebih dalam.

“Jadi kau ingin dipanggil apa sayang?” tanya Zeline setelah melepaskan pagutan bibirnya.

Pertanyaan yang membuat Om Firman tersenyum lebar, mendorong tubuh telanjang Zeline ke belakang. Perempuan itu memekik kaget, tertawa. Tak mengira laki-laki ini segemas itu padanya.

“Panggil aku Daddy,” ucap Pria itu dengan berbisik lembut di depan telinga Zeline.

Zeline hanya mengangguk, tersenyum. Sedetik sebelum bibir pria itu kembali mencium bibirnya lagi. Tak perlu menunggu lama hingga kecupan itu kemudian berubah jadi lebih ganas. Jadi isapan-isapan yang menarik bibirnya lembut.

Zeline memekik saat ciuman di bibir mereka terlepas. Bibir Om Firman kini berpindah mengecup tengkuknya. Menjelajahi senti demi senti bagian tubuh sensitif itu. Bersamaan dengan tangan besarnya yang kini telah sampai di dua bongkah buah dadanya.

Rasa geli yang seketika menjalar ke semua syaraf di tubuhnya. Zeline tak bisa berbuat banyak. Hanya menggigit bibirnya sendiri. Menahan rasa nikmat yang besarnya kini mengalahkan rasa geli tadi. Kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan yang tak pernah gagal menghapus semua kesedihan dan rasa sesal di dalam hatinya.

Zeline memekik sekali lagi. Kali ini bahkan lebih keras dari yang sebelumnya. Memekik saat bibir pria di atasnya itu kini telah sampai di buah dadanya. Lapisan kulit bibir itu menyentuh langsung bagian sensitif itu langsung.

Awwww ..... jangan digigit, Daddy!” Bibir Zeline merancu tak karuan. Perlakuan Om Firman seakan membuatnya terbang ke langit tujuh. Isapan-isapan dari bibir laki-laki itu semakin mengganas.

“Kau menikmatinya bukan sayang?” ucap Om Firman setelah kembali meneruskan kegiatannya.

Zeline hanya bisa mengangguk. Meremas rambut pria yang ada di atasnya. Menekan kasar, membuat bibir laki-laki itu semakin menekan buah dada kirinya.

Tubuhnya menggeliat tak karuan. Desahan dan lenguhan panjang dari bibirnya semakin jelas. Tak lagi ditutup-tutupi seperti beberapa menit yang lalu. Tak lagi malu-malu apalagi merasa canggung.

Zeline kini benar-benar tenggelam dalam permainan yang mereka berdua ciptakan. Tak peduli lagi siapa yang kini menindih tubuhnya. Tak peduli lagi jarak umur mereka yang terpaut sangat jauh.

Bahkan tak peduli saat sesuatu yang keras terasa mengganjal di pangkal pahanya. Mendorong-dorong, menggesek bibir lubang kenikmatan miliknya. Membuat semakin lama semakin basah.

Apalagi saat ciuman di dadanya berakhir. Kepala Om Firman terangkat, berhenti tepat di atas wajah Zeline. Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan. Melihat Zeline yang tersenyum malu-malu, tersipu di bawahnya.

“Apa lagi yang kau tunggu, Daddy? Belum puaskah kau menyiksaku dengan yang barusan itu?” tanya Zeline sambil melenguh lagi.

Tangan Om Firman nakal. Turun ke bawah perutnya, meraih bibir lubang yang ditumbuhi bulu halus itu. “Sepertinya kali ini aku berhasil membuatmu lebih basah dari biasanya,” ucap Om Firman seakan memecundangi perempuan di bawahnya.

Zeline hanya bisa tersenyum genit. Tak ingin membuat laki-laki di atasnya kecewa. Membuka lebar-lebar pahanya. Membiarkan laki-laki itu puas menindihnya. Merasakan batang keras yang tidak terlalu panjang itu di sana, di batas antara dua kakinya.

“Kumohon Daddy aahhhh .... Lakukan itu sekarang,” pintanya seperti kuda yang tengah kelaparan.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status