Share

Melayani 3 Malam

“Maaf?” suara yang keluar dari bibir Alana. Tiba-tiba muncul mengagetkan Zeline dan Bude Mey yang tengah berseteru.

Dua orang yang saking sengitnya sampai tak sadar bahwa Alana dan Layla sudah berdiri di sebelahnya. Sudah tidak lagi menunggu di pinggir jalan. Sudah masuk melewati pagar. Berdiri tepat di depan mobil sedan putih klasik milik Bude Mey yang terparkir.

“Ada masalah ya, Zel?” tanya Alana ke arah Zeline yang susah payah menahan emosi. Mendengus, meremas tangannya sendiri kuat-kuat. “Kalau  misal enggak boleh, nggak apa kok. Aku sama Layla bisa cari kos-kosan lain. Tadi banyak rumah kos yang masih kosong sepanjang jalan.”

Bude Mey menatap dua orang asing yang ada di depannya. Menatap dari bawah sampai atas. Menatap dengan benar semua detail mereka. Hanya dari itu saja perempuan patuh baya ini tahu bahwa mereka bukan orang kota.

Justru Alana dan Layla lah yang seharusnya ia tolong, bukan Zeline.

“Eh, enggak kok Nak. Enggak,” balas Bude Mey dengan menarik senyum terbaik di bibirnya. “Ini tadi kan Zeline janjian dari pagi. Eh ternyata baru dateng sore. Makanya ini tadi Bude marahin dia, biar tahu rasa. Duh, maaf ya udah bikin salah paham.”

Alana tersenyum. Tak mengira akan seramah itu perempuan yang dari tadi tampak marah-marah ke Zeline.

“Oh begitu ya tante. Eh iya kenalkan tante,” balas Alana sambil menjulurkan telapak tangan. Bude Mey kembali tersenyum, menjulurkan tangannya juga, menjabat tangan Alan.

“Saya Alana, dan perempuan di sebelah saya ini namanya Layla,” ucap Alana memperkenalkan diri.

“Layla, tante.” Senyum yang hangat terukir jelas di bibir Layla saat ganti menyambut uluran tangan Bude Mey.

“Kenalin saya Bude Mey. Ya kalau agak susah, panggil Bude saja nggak papa. Kalian ini dari daerah mana? Kayak dari luar kota ya? Mana mirip lagi udah seperti kakak beradik kalian berdua itu,” tanya Bude Mey.

“Iya Bude, jadi kami kebetulan dari desa. Desa Rambugunung namanya, mau kuliah di Universitas Pembangunan ceritanya Bude,” jawab Layla polos.

Tersenyum lebar, tidak tampak lagi raut curiga di wajah Layla. Mau bagaimanapun Bude Mey telah menyambut mereka berdua dengan baik bukan? Dan itu yang sangat Layla hargai.

“Oh jadi begitu ceritanya.” Bude Mey mengangguk-anggukan kepala. “Eh mari-mari silakan masuk,” lanjutnya kemudian.

Tentu saja Alana dan Layla langsung antusias. Mengekor tubuh perempuan bertubuh gemuk itu dari belakang. Menaiki dua anak tangga kecil sebelum tiba di pintu masuk.

Namun mata Layla belum bisa lepas dari Zeline. Perempuan itu masih berdiri mematung di tempatnya. Menundukkan wajah, menghela napas panjang. Membiarkan tiga orang lainnya melewati tubuhnya begitu saja. Siapa yang tidak merasa aneh melihat itu.

Tubuhnya baru bergerak setelah semua orang masuk ke dalam rumah. Setelah membuang muka ke jalan raya, tangannya mengusap wajah, seperti tengah menghapus air mata.

Baru kemudian berbalik, tersenyum ke arah Layla. Menyusul mereka masuk.

“Ya beginilah rumah Bude, Nak Layla dan Nak Alana. Rumahnya sudah lumayan tua. Tapi masih terawat semua kok. Listrik air dan semua fasilitas lengkap. Kurangnya, rumah ini hanya punya dua kamar tidur, sedangkan kalian bertiga,” terang Bude Mey.

Tubuhnya baru muncul lagi dari dalam kamar dengan dua toples makanan ringan di tangannya. Duduk dengan tenang di ruang tamu, bergabung dengan tiga perempuan yang usianya jauh lebih muda itu.

“Bagus kok Bude, Alana suka. Mana dingin rumahnya nggak panas. Tapi Bude, emm ... itu,” ucap Alana ragu. Menyenggol lutut Layla yang ada di sebelahnya, memberi kode.

Ehehehe .... soal harga Bude.” Layla meneruskan kalimat Alana. Sahabatnya satu itu memang sering menyusahkan. “Kalau boleh tahu berapa harga sewa rumah ini satu tahunnya Bude?”

“Oh soal harga ya. Begini, karena kalian bertiga, sementara tempat ini sangat strategis. Dekat dengan kota, bahkan kalian juga cukup berjalan kaki kalau ingin ke kampus. Rumah ini saya sewakan lima juta pertahun.” Kalimat Bude Mey terpotong.

Menyorot mata tiga orang perempuan di depannya. Terutama Layla dan Alana, yang kini berbinar-binar senang dengan angka yang barusan mereka dengar itu.

“Oh maaf-maaf, maksud saya dua puluh juta. Saya baru ingat tadi suami saya mengirim pesan, dan ya. Harga itu yang benar, dua puluh juta per tahun,” lanjut Bude Mey. “Harus dibayar lunas di bulan pertama yah. Hehehe …”

Kalimat susulan yang seketika merubah mimik muka Alana dan Layla bersamaan. Menjadi tertekuk, kaget sekaligus bingung.

Hehehe .... Bude pasti sedang bercanda kan? Masa’ dari lima juta tiba-tiba jadi dua puluh juta?” jawab Alana refleks.

Bude Mey tersenyum miring. “Oh tidak, Nak Alana. Bude nggak pernah bercanda soal nominal. Dan Bude juga punya beberapa kenalan pemilik rumah kos di sekitar sini kok kalau kalian keberatan dengan nominal itu.”

Alana dan Layla seketika menelan ludah. Perempuan di depannya ini? Bukankah tadi sangat ramah kepada mereka? Tapi kenapa tiba-tiba jadi mengerikan? Kenapa jadi merubah angka sewa jadi sangat jauh perbandingannya?

Alana dan Layla hanya bisa saling tatap satu sama lain. Angka sebesar itu sangat mustahil mereka dapatkan dalam satu bulan. Tidak mungkin mereka tawar juga. Wajah Bude Mey serius, dan dari kalimatnya perempuan itu tidak akan pernah menerima tawar menawar.

“Deal!” jawab Zeline tiba-tiba.

Perempuan yang sedari tadi hanya terdiam itu kini ikut angkat suara. Membuat kaget tiga orang perempuan lainnya. Membuat mereka bertiga memutar kepalanya. Menatap heran Zeline yang masih belum juga menurunkan tangannya.

“Ayo bikin janji Bude. Dua puluh juta, deal? Kalian berdua tak usah bingung. Aku akan tanggung lima belas juta. Kalian berdua lima juta sisanya,” lanjut Zeline.

Menatap tajam Bude Mey dengan bola matanya yang sipit. Tersenyum miring seakan tak ingin dikalahkan. Zeline lebih tahu apa yang direncanakan Bude Mey. Dan memang hanya dia yang tahu.

Angka dua puluh juta itu hanya karangan perempuan di depannya itu agar Layla dan Alana tak jadi tinggal di tempat ini. Angka dua puluh juta itu dengan mudah akan memukul mundur Alana dan Layla bersamaan setelah ia tahu mereka berdua hanya lah anak muda yang datang dari desa.

“Kenapa jadi ragu Bude? Salah nyebut nominal lagi ya? Cek HP dulu deh mending. Kali aja harganya ganti lagi. Uang segitu kecil bagi saya,” jawab Zeline.

Kalimatnya terdengar pedas bagi Layla dan Alana. Bagaimana pun kehidupan di desa mengajari mereka untuk selalu hormat dengan orang yang umurnya jauh di atas mereka. Tapi yang barusan ini?

Mendengar pertanyaan Zeline, Bude Mey justru terkekeh.

“Tidak. Tidak ada yang salah,” jawabnya sambil meraih tangan Zeline. Mereka berdua berjabat tangan. “Deal! Rumah ini dan semua barang di dalamnya saya sewakan pada kalian bertiga dengan harga dua puluh juta. Kalian bisa menempati rumah ini sejak detik ini juga.”

Alhamdulillahhh ….!!!!”

Semua orang bersorak, terlebih Alana dan Layla. Kalimat itu yang dari tadi ingin sekali mereka dengar. Akhirnya mereka tak harus kebingungan lagi ke mana harus menginap malam ini. Akhirnya mereka menemukan tempat tinggal sekaligus teman baru di kota ini.

Tapi tawa itu hanya sesaat saja bagi Layla. Perempuan itu semakin merasa aneh dengan Zeline. Siapa sebenarnya wanita ini? Siapa sebenarnya Zeline? Sampai-sampai mencari uang sewa lima belas juta dalam satu bulan ia tanggung sendiri.

Perbincangan mereka di ruang tamu berakhir saat terdengar adzan maghrib berkumandang. Mereka bertiga membubarkan diri tak lama kemudian.

Bude Mey pergi meninggalkan rumah dengan sedannya. Sementara Layla dan Alana pergi menunaikan Ibadah Salat Maghrib.

Sementara Zeline harus kembali ke masjid mengambil motor dan koper milik Alana sekaligus menunaikan ibadah Salat Maghribnya di sana.

Hingga waktu bergerak semakin cepat. Cahaya matahari sempurna tenggelam di ufuk langit sisi barat. Sinar matahari berganti sinar lampu yang mulai menyala. Menerangi rumah, menerangi jalan, menerangi kehidupan manusia-manusia malam.

“Kalian malam ini aku tinggal dulu ya,” ucap Zeline tiba-tiba.

Mereka bertiga tengah berkumpul di dalam satu kamar. Satu kamar yang mereka sepakati bersama jadi kamar tidur. Dan satu kamar sisanya jadi tempat beribadah sekaligus tempat tas-tas kosong mereka.

“Lah, mau ke mana Zel?” tanya Alana.

“Iya, baru juga belum ada satu hari di sini. Kok udah mau pergi aja,” timpal Layla.

Layla dan Alana sedang sibuk membongkar barang bawaan mereka. Memasukkan satu per satu baju dan pakaian lainnya ke dalam almari.

“Ye ... kan cuma gua di sini yang belum ambil baju ganti. Gua mesti pulang dulu. Ambil pakaian seperti kalian,” jawab Zeline sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Berdiri ringan, meraih kunci motor di atas meja ruang tamu. “Udah dulu ya, gua cabut dulu.”

Dan begitulah, Zeline pergi begitu saja. Melenggang meninggalkan Alana dan Layla yang kini saling tatap.

Alana mengangkat bahu bingung. Tapi sebentar kemudian sudah kembali sibuk dengan tumpukan baju yang ada di depannya. Toh lagi pula itu alasan yang logis kan? Zeline perlu baju ganti untuk besok.

Namun berbeda dengan Layla. Perempuan itu masih larut dalam tanda tanya besar di atas kepalanya. Tidak mungkin perempuan itu kalau hanya mengambil pakaian. Apalagi ini sudah malam. Keperluannya itu tidaklah mendadak bukan? Ia bisa lakukan esok hari. Toh sedikit pakaian yang ia bawa di motor juga masih cukup buat malam ini saja.

Ada yang tidak beres dengan Zeline. Ada sesuatu yang perempuan itu sembunyikan dari Alana dan Layla.

##

Sementara itu di tempat yang sudah jauh dari rumah Bude Mey, tubuh Zeline menunggangi motornya. Bergerak cepat melewati padatnya jalanan kota. Dua roda motornya terus berputar. Membawa tubuhnya di sebuah gedung besar berlantai lima.

Tubuh ramping tinggi dengan wajah yang cantik itu melangkah cepat. Mengabaikan meja resepsionis. Menuju lift yang kemudian sudah mengantarkannya hingga lantai paling atas gedung apartemen mewah ini.

Menggesekkan kartu ke kunci yang ada di sebelah pintu. Hingga membuat pintu mewah di depannya terbuka otomatis.

Seorang laki-laki yang umurnya tak jauh dari umur Bude Mey tampak sedang menikmati waktu menonton TV. Kepalanya berputar, seketika mendengar pintu terbuka. Tersenyum lebar, melihat tubuh Zeline yang berjalan ke arahnya dengan muka tertekuk.

“Oh sayang aku sudah kembali. Hey, kenapa kamu? Apa yang terjadi? Siapa yang membuatmu sedih sayang?” ucapnya sambil masih belum berpindah di tempatnya.

Masih duduk di sofa menghadap televisi dengan tubuh setengah telanjang. Hanya berbalut selembar handuk, di pinggang hingga lututnya.

Zeline melompat ke pelukan laki-laki itu. Menyentuh tubuh telanjang Om Firman dengan jari-jari lentiknya.

“Zeline lagi sedih Om Firman. Sedih banget,” ucapnya mengiba. Bermain-main di bagian sensitif tubuh laki-laki itu yang sudah tak tertutup handuk.

“Kasian ... sedih kenapa sih sayang?” tanya pria itu. Melingkarkan tangannya, menghujani kening Zeline dengan kecupan-kecupan lembut.

Em ... Om Firman ada uang lima belas juta nggak? Zeline mau pinjam buat sewa rumah. Kan Zeline mau kuliah. Nggak mungkin dong kalau terus tinggal di sini. Kan jauh kampus ke sini,” terang Zeline.

Membuat laki-laki itu terkekeh. Membuat perut gendutnta ikut bergoyang mengikuti gerakan naik turun kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut putih.

“Buat apa, sayang?” tanya laki-laki itu lagi di ujung tawanya.

“Ih Om Firman! Kan Zeline udah cerita tadi uangnya mau buat apa. Kok tanya lagi sih,” protes Zeline. Kini semakin menekuk sebal wajahnya.

“Bukan itu maksudku sayang. Buat apa harus pinjam kalau kau bisa dapetin itu sekarang juga?”

Kalimat laki-laki itu barusan seketika membuat Zeline kaget. Matanya terbelalak, pipinya mengembang memerah. Duduk dengan muka cerah penuh antusias. Seperti anak kecil yang baru dibelikan kembang gula.

“Yang bener? Ih Om Firman jangan bohong ya. Awas bohong!”

Laki-laki bernama Firman itu mengangguk mantap. Melepas kaca mata tebal yang menggantung di daun telinganya. “Tapi ada syaratnya?”

“Jangan susah-susah,” protes Zeline lagi.

“Enggak,” jawab laki-laki itu singkat. Tangannya bergerak meraih ujung ikatan handuknya. Menariknya, membiarkan kain itu lolos dari tubuhnya. Membiarkan tubuhnya telanjang bulat di depan Zeline.

“Tiga malam, layani aku tiga malam sampai pagi.”

Zeline, menelan ludah. Ia sering melayani laki-laki di depannya ini. Tapi tiga malam berturut-turut? Bagaimana caranya berkelit dari Alana dan Layla?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status