******
Deheman keras dari bocah berkaos oblong dan celana denim selutut itu mengacaukan romantisnya suasana yang sempat tercipta.
"Kalian nggak makan? Aku lapar," ucapnya santai dan mendudukan diri di kursi, siap menyantap hidangan.
"Hush, kamu ini kebiasaan. Nggak mau nyapa Kakak-mu dulu? Sudah dua tahun loh kalian nggak ketemu," ucap sang mama mengingatkan.
Dewa melirik pria yang berdiri di belakang mamanya, menatap jari sang kakak yang bertautan dengan wanita yang kini menunduk dalam.
"Hallo, Brother, semoga betah kembali ke rumah," ucap Dewa santai seraya menyendok nasi ke piring.
Tere menggeleng pelan dengan helaan napas panjang. Bukan hal aneh lagi melihat tingkah Dewa yang selalu sesuka hati, apalagi memang sangat terlihat jelas bahwa anak tirinya itu tak menyukai Arya. Bahkan, kepergian anak sulungnya itu juga disebabkan karena hubungan keduanya yang semakin memburuk.
Meskipun begitu, wanita paruh baya itu tetap menyayangi Dewa seperti putra kandungnya sendiri. Ia sangat maklum dengan karakter keras anaknya itu yang meniru sifat papinya.
Sementara Arya hanya tersenyum masam, menarik lengan Uly menuju meja makan.
"Apa kabar, Anak nakal?" sapa Arya mencoba akrab.
Dewa mengunyah makanan dengan lambat, meneguk air putih sebelum menoleh dan memamerkan senyum palsunya. "Tenang saja, akan selalu baik," sahutnya santai.
"Bukannya kamu sedang sakit? Kenapa terlihat segar sekali?" Suara berat yang mendekat membuat suasana mendadak senyap.
"Sudah lebih baik setelah makan sedikit brownis."
Uly mengernyitkan dahi. Sedikit katanya? Apakah satu piring besar itu bisa dikatakan sedikit?
"Sejak kapan kamu suka makanan manis? Biasanya Mama buatin kamu nggak pernah makan." tanya wanita paruh baya itu heran.
"Kebetulan ingin saja, Ma," jawabnya kalem. "Aku sudah selesai, maaf harus kembali ke kamar duluan," imbuhnya setelah menandaskan isi gelas di tangannya.
"Sampai kapan kamu mau memusuhi Kakakmu?" tanya Abas tiba-tiba, Papi Dewa dan Arya.
Langkah bocah itu spontan terhenti, lalu berbalik dengan tatapan malas. "Sampai kapan Papi terus membahas ini?"
"Kamu sudah besar, Dewa, bersikaplah lebih dewasa, apalagi sebentar lagi kamu lulus dan akan masuk dunia perkuliahan, kurangi sifat keras kepalamu itu!" ujar pria paruh baya itu tegas.
"Pi ...." Tere mengusap lembut lengan suaminya, berusaha menenangkan pria itu.
"Papi nggak perlu khawatir, aku bisa urus diri sendiri, lebih baik pikirkan anak kesayangan Papi itu," sahutnya datar seraya melanjutkan langkah kaki.
"Dewa Angkasa!" hardik sang papa geram, tapi tak sedikitpun digubris oleh bocah itu.
Dewa adalah putra satu-satunya dari pernikahan Abas dengan Vanesa, istri pertamanya yang meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Wanita malang itu meninggal akibat kecelakaan lalu lintas pada malam tahun baru saat ia hendak menjemput salah satu kerabat di bandara.
Sejak saat itu, hubungan Dewa dan Papinya makin merenggang. Laki-laki itu marah karena sang Papi membiarkan Maminya menyetir sendirian tengah malam.
Apalagi tak berselang lama, Abas memberitahu keinginannya untuk menikah lagi karena merasa kewalahan mengurus Dewa sendirian yang selalu saja membuat onar.
Dan sialnya, kehadiran dua orang itu ke rumah ini bukan hanya merebut perhatian sang papi darinya, anak dari mama tirinya itu juga merampas seseorang yang sangat Dewa sayangi di hidupnya, satu-satunya penyemangat yang tersisa dan kakak tirinya itu malah merebutnya.
Dewa benci itu, hanya karena Arya terlihat lebih sempurna dari dirinya, semua orang berbondong-bondong datang dan memihak padanya, mengabaikan Dewa yang selalu dianggap nakal dan hanya bisa membuat onar.
Terdengar suara ketukan pintu yang terdengar ragu-ragu. Dewa mengernyitkan dahi seraya berjalan membuka pintu kamarnya yang sengaja ia kunci.
Ia terpaku untuk sesaat ketika mendapati tubuh mungil kekasih kakaknya berdiri dengan gelisah di sana.
"Mau apa?" tanya Dewa datar.
Uly berjengit kaget karena tak sadar dengan kehadiran Dewa di depannya.
"I ... ini oleh-oleh dari kakak kamu," ucap Uly pelan.
Laki-laki itu mengerutkan dahi heran. "Kenapa lo yang kasih?" tanyanya.
"Hmm, itu ... anu ... aku mau tanya, brownis yang kamu bawa masih ada?" ucap Uly terbata.
Dewa menyipitkan mata. "Maksud lo?"
"Hm, itu ... soalnya brownis yang di dapur habis," cicitnya tak enak hati.
Tapi memang benar, tadi kue cokelat buatannya masih tersisa sedikit lagi di dalam wadah yang ia bawa, tapi entah mengapa saat Uly ingin menyalinnya ke dalam piring dan memberikannya pada Arya, kue itu sudah menghilang entah kemana.
"Nggak ada, udah habis!" sahut laki-laki itu ketus.
Uly seketika melemas, niatnya memberikan kue spesial untuk menyambut Arya gagal total. Gadis itu mengangguk perlahan dan berniat pergi dari hadapan calon adik iparnya itu.
"Lain kali, kalau mau bawa itu yang banyak, manusia di rumah ini bukan cuma Arya," ujar Dewa datar sebelum menutup pintu kamar.
Uly menghela napas berat, hilang sudah harapannya membuat Arya terkesan dengan makanan buatannya.
Sesampainya di ruang keluarga, wanita itu mendapati kekasihnya itu tengah berbincang akrab dengan seorang wanita yang duduk dengan stelan kerja di sebelahnya.
"Kamu bisa mulai belajar dengan Marina," ucap Abas pada putranya.
"Ah, Bapak bisa saja, Pak Arya ini 'kan lulusan luar negeri, pasti lebih pintar daripada saya," sahut wanita itu malu.
"Tapi Arya belum berpengalaman terjun langsung ke lapangan, beda dengan kamu yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris saya, ikut hilir mudik memantau proyek."
"Papa tenang saja, Arya akan cepat belajar, apalagi mentornya seperti ini," ucapnya jahil.
Marina yang notabennya adalah sekretaris Abas angkasa tersenyum malu.
"Uly, sini, Sayang. Ngapain berdiri di situ?" Tere muncul dari arah tangga setelah berganti baju santai.
"Iya, Ma," sahut Uly gugup.
Entah mengapa ia tiba-tiba merasa rendah diri berada di sini. Keluarga Angkasa adalah keluarga terpandang yang memiliki beberapa usaha properti dengan berbagai cabang di kota-kota besar Indonesia.
Sementara dirinya hanya putri dari sepasang petani biasa, mengandalkan beasiswa hingga bisa menjadi dosen muda karena kepintarannya.
Sungguh, mereka sangat jauh berbeda, apalagi melihat Arya duduk berdampingan dengan Marina, Uly merasa mereka sangat cocok karena memiliki wawasan dan pandangan yang sama. Sedangkan dengan dirinya, Arya mungkin tak akan leluasa berbicara tentang bisnis dan perusahaan karena memang bukan bidang yang Uly geluti.
Tapi, wanita itu percaya bahwa jodoh sudah di atur oleh yang kuasa, dan tak ada manusia yang mampu melawannya. Hanya itulah kekuatan Uly saat ini, mempercayai takdir yang akan membawanya pada cinta sejati, tanpa pamrih dan menerima segala kekurangan maupun kelebihan yang ada pada dirinya.
Semoga saja Arya adalah takdir yang dipilihkan sang maha kuasa untuknya. Sebab ia melihat pria itu begitu dewasa dan bijaksana.
*****
Sayangnya, takdir memang suka bercanda, hingga kita terkadang tak sanggup lagi tertawa.Seperti yang dirasakan Uly saat ini. Sebulan setelah kepulangan sang kekasih dari luar negeri, hubungan mereka merenggang. Arya terlalu sibuk dengan urusan kantor yang mulai digelutinya, hingga tak ada waktu lagi bagi mereka meski hanya untuk bertukar kabar lewat udara.Setiap kali wanita itu berkunjung ke rumah Arya, pria itu pasti tak ada di rumah, terkadang lembur, atau memantau proyek di luar kota.Uly mencoba untuk bersabar, ia cukup memahami tanggung jawab yang diemban pria itu cukup berat. Ini adalah kesempatan emas bagi Arya untuk meraih kepercayaan Abas.Namun, kesabaran seseorang sungguh ada batasnya. Apalagi saat memergoki sang kekasih yang sedang bermesraan di ruangan kerjanya dengan sekretaris sang papa, Marina.Uly spontan menjatuhkan kantongan berisi makanan yang ia ba
Uly melangkahkan kaki dengan sempoyongan, berjalan memasuki halaman luas dari kediaman Angkasa. Ia ingin bertemu dan meluapkan segala emosi yang menggerogoti rongga dada pada pria brengsek yang sudah mengkhianatinya. Pengaruh alkohol benar-benar sudah mempengaruhi gadis itu.Saat di club tadi, Diva bertemu dengan temannya yang mengajaknya ke lantai dansa. Uly tentu saja menolak ikut dan ingin pulang saja.Akhirnya Diva memesankan taksi dan menyuruh sang supir mengantar sahabatnya itu pulang. Tapi di tengah jalan Uly malah memutar haluan menuju rumah besar ini."Arya ... Arya ... pengkhianat! Keluar kamu!" Wanita itu mengetuk pintu dengan tangan kecil yang mulai melemah."Arya!" pekik gadis itu lagi dengan kesal."Non Uly, ada apa?" Satpam yang tadi membukakan gerbang kini sudah berdiri di sebelah gadis itu dengan raut bingung."Arya! Saya mau ketemu Arya, Pak!" rancau gadis itu.
"Jadi, siapa yang ingin menjelaskan?" tanya Abas tajam, memandang satu persatu wajah orang-orang yang semalam ia tinggal pergi ke luar kota.Di antara semua orang yang ada di ruangan ini, hanya Dewa yang bersikap biasa. Ia masih bisa memainkan ponselnya tanpa beban.Sementara Arya, duduk dengan tangan mengepal dan tatapan super tajam."Saya ... saya ... minta maaf telah membuat kekacauan di rumah ini," ucap Uly terbata-bata. "Tapi, saya yakin benar-benar tidak melakukan apapun dengan Dewa," imbuhnya pelan."Dewa Angkasa! Jelaskan semua ini!" ujar pria paruh baya itu geram."Jelaskan apa, Pi? 'Kan semua sudah jelas, kami tidur bersama," sahutnya santai."Brengsek!" Arya menggebrak meja dan hendak menghampiri adiknya, tapi seruan keras dari sang papi membuatnya urung seketika."Tenangkan emosimu, Arya!" tegur Abas tegas."Bagaimana aku bisa tenang di
🍁🍁🍁Seminggu berlalu begitu cepat bagi seorang Uly Syahrani. Kini, ia sedang mematut diri di depan cermin yang menunjukkan wajah ayu yang terpoles make-up sederhana tapi tetap memancarkan wajah cantik nan teduhnya.Wanita itu memilin jari dengan gelisah. Di bawah sana, Dewa angkasa sedang bersiap mengucap ijab qobul untuk pernikahan mereka. Pemuda itu benar-benar tak mau mundur walau Uly sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tak perlu dinikahi.Acara ini dilakukan di rumah besar keluarga Angkasa. Ayah dan Ibu ulUly juga hadir, mereka tiba kemarin sore dan menginap semalam di hotel berbintang yang dibiayai langsung oleh Abas karena Ayah Uly sungkan menginap di rumah mereka.Saat ia memberi tahu perihal pernikahannya, mereka sempat terkejut dan merasa kecewa karena Uly tak menepati janji untuk menjaga diri saat jauh dari mereka. Tapi entah kenapa setelah Dewa m
Setelah selesai berkemas, Dewa dan Uly segera meninggalkan rumah besar itu dengan diantar seorang sopir yang ditugaskan oleh Abas. Dewa yang awalnya menolak tak bisa berkutik saat Abas berdalih tak ingin membuat menantunya susah karena putranya yang keras kepala.Sebenarnya pria paruh baya itu sangat berat hati melepaskan anak semata wayangnya hidup pisah rumah dengan alasan ingin mandiri, meskipun Dewa sudah menikah tapi Abas tahu bahwa sikap putranya itu belum sepenuhnya dewasa, bahkan masih sangat kekanakan dan kadang sedikit temperamental.Belum lagi sikap keras kepalanya yang Abbas yakin akan membuat Uly kewalahan setengah mati.Sementara kedua anak manusia yang sedang dikhawatirkan oleh Abbas itu duduk dalam diam menatap jalanan ibukota yang tetap ramai di malam hari.Beberapa menit kemudian mobil berbelok memasuki sebuah area perumahanan yang Uly tahu letaknya tak terlalu jauh dari kampus tempat dia men
🍂🍂🍂Dewa terkekeh geli saat menyadari tubuh Uly yang menegang kaku. Kelihatan sekali bahwa ini yang pertama kali bagi wanita itu. Tentu saj hal itu menambah daftar kesenangan bagi seorang Dewa Angkasa.Sejak awal wanita itu datang ke rumahnya, Dewa sudah merasa terpesona dengan sikap sopan nan lembut yang Uly tampilkan.Namun, saat ia memperkenalkan diri sebagai kekasih Arya, rasa kagum itu seolah berganti menjadi gejolak amarah.Dewa selalu benci saat Uly datang ke rumah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga Arya. Apalagi mendengar harapan wanita itu yang ingin segera menjejaki hubungan lebih serius setelah kepulangan kakak tirinya itu."Belum berpengalaman, eh?" ejek Dewa saat tak merasakan balasan, ia makin merapatkan tubuh menggoda.Perempuan itu bergerak gelisah, ingin menarik diri tapi ditahan oleh bocah yang kini berstatus sebagai
Uly menatap bimbang Dewa yang sudah duduk di atas motor besarnya, bersiap mengantar wanita itu pergi bekerja."Ayo, Ly, buruan ntar telat," ucapnya."I--iya, tapi ... kamu yakin bawa motor gini, rok aku gimana?" tanyanya pelan.Dewa berdecak. "Enak naik motor, nggak kena macet. Lagian kamu ngapain pake rok pendek gitu? Ganti celana sana!" titahnya.Uly melihat ke bagian bawah tubuhnya. Rok selutut yang dipakainya sungguh sudah amat sopan, tak terlalu pendek ataupun ketat. Tapi, akan sangat tidak nyaman jika ia harus menaiki motor besar pria itu."Nggak pendek banget," sangkal wanita itu."Pendek, dan aku nggak suka. Ganti!" sahut Dewa tegas.Uly menghembuskan napas panjang sebelum kembali memasuki rumah untuk menuruti perkataan suami berondongnya itu.Tak lama, wanita itu kembali dengan celana bahan panjang berwarna cream."Sudah,"
Uly membayar ongkos ojek online yang ditumpanginya lalu berbalik dan berjalan memasuki pekarangan rumah baru yang ditempatinya bersama suami brondongnya. Wanita itu mengernyitkan dahi saat melihat ada sebuah mobil yang tak dikenalinya terparkir di depan rumah.Dengan langkah ragu-ragu wanita itu mendorong pintu yang tak tertutup rapat, dan yang di dapatinya adalah seorang gadis muda menempel di lengan suaminya yang sedang serius menatap laptop."Widiiiih ... ada perempuan cantik bengong depan pintu," sorak Arka yang berjalan dari arah dapur.Dewa spontan mendongak, sejenak menatap dalam diam istrinya yang berdiri kaku di depan pintu."Sudah pulang?" Dewa akhirnya bersuara.Uly menarik napas panjang, mengangguk perlahan mengabaikan sentilan sakit di hati yang paling dalam."Siapa lo, Wa? Kok lo nggak bilang tinggal sama perempuan cantik gini? Pembantu atau--""Kakak