"Jadi, siapa yang ingin menjelaskan?" tanya Abas tajam, memandang satu persatu wajah orang-orang yang semalam ia tinggal pergi ke luar kota.
Di antara semua orang yang ada di ruangan ini, hanya Dewa yang bersikap biasa. Ia masih bisa memainkan ponselnya tanpa beban.
Sementara Arya, duduk dengan tangan mengepal dan tatapan super tajam.
"Saya ... saya ... minta maaf telah membuat kekacauan di rumah ini," ucap Uly terbata-bata. "Tapi, saya yakin benar-benar tidak melakukan apapun dengan Dewa," imbuhnya pelan.
"Dewa Angkasa! Jelaskan semua ini!" ujar pria paruh baya itu geram.
"Jelaskan apa, Pi? 'Kan semua sudah jelas, kami tidur bersama," sahutnya santai.
"Brengsek!" Arya menggebrak meja dan hendak menghampiri adiknya, tapi seruan keras dari sang papi membuatnya urung seketika.
"Tenangkan emosimu, Arya!" tegur Abas tegas.
"Bagaimana aku bisa tenang di saat orang yang aku sayangi tidur dengan adikku sendiri, Pi?" tanyanya penuh emosi.
"Sayang?" Dewa terkekeh keras, memasukan ponsel ke dalam saku. "Sayang di saat lo masih suka celup lubang sana-sini?" sindirnya penuh ejekan.
"Dewa ... Kakak kamu nggak seperti itu. Jangan jadikan dendam masa lalu membuat kamu terus membenci, Nak." Suara lembut wanita paruh baya itu sarat akan permohonan.
Senyum culas di wajah Dewa berganti dengan raut geram penuh ketidaksukaan. "Aku bukan orang yang mengagungkan masa lalu," ucapnya datar.
"Kalau bukan karena masa lalu, kenapa kamu lakukan ini?" tanya Arya tajam. "Katakan saja jika niatmu adalah balas dendam!"
Abas mendesah lelah, permasalahan ini tampaknya tak akan selesai cepat.
"Cukup! Kita sedang membahas Dewa dan Uly, bukan tentang masa lalu yang sudah tak perlu di ingat lagi!" ujarnya tegas.
"Ma ... maaf, Om. Saya rasa masalah ini tidak perlu di perpanjang, saya akan pergi karena mema--"
"Tidak bisa seperti itu saja," tukas Abas cepat. "Kami bukan keluarga tak bermoral yang melepas tanggungjawab begitu saja!"
"Bukan begitu maksud saya, Om."
"Dewa! Sekarang maumu apa?" tanya Abas tajam, mengabaikan Uly yang tergugu di sana.
"Aku akan tanggung jawab."
Sontak saja ucapan bocah itu membuat semua orang terkesiap kaget.
"Apa maksud kamu?" tanya Uly tak percaya.
"Sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan, Dewa Angkasa?" tanya Abas geram.
"Sangat yakin, Pi, kami bisa menikah minggu depan," sahutnya santai.
"Gila kamu!" hardik Arya keras.
"Dewa, pernikahan itu bukan untuk main-main," ucap Tere mengingatkan.
"Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Abas tajam.
"Bisa diatur, toh minggu depan adalah ujian akhir."
"Jangan main-main, aku nggak minta kamu menikahiku!" ucap Uly panik.
Dewa menoleh dengan tatapan mata tajam. "Memangnya elo mau hamil tanpa suami?" tanyanya sinis.
"Ap ... apa?" Uly terkesiap mendengar ucapan bocah itu. Hamil? Sungguh dirinya tak terpikirkan soal itu. Tapi, apa benar mereka sudah melakukan hal terlarang tadi malam?
Arya menggeram penuh amarah. "Sialan kalian berdua!" umpatnya sebelum melangkah lebar meninggalkan ruangan.
"Ceritakan kronologisnya!" perintah sang Papi tegas.
Dewa mengedikkan bahu. "Papi bisa bertanya pada Pak Diman yang membukakan gerbang untuk Uly, dan kejadian setelahnya di ranjang nggak perlu dijabarkan 'kan?" sahut bocah itu kelewat santai.
Abas mengusap kepalanya kasar, napasnya terdengar berat dengan pundak tertunduk layu.
"Baik, persiapkan diri kalian mulai sekarang, minggu depan kalian menikah, resepsi menyusul setelah Dewa lulus!" ujar Abas tegas.
Uly meremas jarinya panik, bukan ini yang dia mau. Bagaimana bisa ia menikah dengan laki-laki yang umurnya lima tahun lebih muda darinya.
Sungguh, ia mengidamkan pria yang lebih matang darinya, yang bisa mengayomi dan menjadi pelindungnya, bukan bocah keras kepala sombong yang arti dari pernikahan saja belum mampu dimaknainya.
"Mas, gimana dengan Arya?" tanya Tere khawatir.
Abas menghela napas panjang. "Harus bagaimana lagi? Mau tidak mau dia harus merelakan Uly."
Tere menggeleng pelan, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Meratapi nasib sial sang putra yang dikhianati kekasih dan adiknya sendiri. Wanita itu dapat membayangkan betapa hancurnya hati putra sulungnya itu saat ini.
Abas beranjak, meninggalkan ruangan dengan beban berat di pundak serta hati. Saat ini ia ingin menyendiri, merenungi nasib dan meminta maaf pada almarhumah istri pertamanya karena tak becus mendidik anak mereka.
Selama ini ia sudah berusaha sekuat mungkin untuk memberi perhatian pada putra nakalnya itu, tapi pekerjaan yang menumpuk tak bisa membuatnya sesuka hati meloloskan diri. Abas berpikir, dengan menghadirkan sosok ibu baru untuk Dewa, maka anaknya itu tak akan merasa kekurangan kasih sayang, ia berharap sikap ceria penuh semangat yang dulu dimiliki anaknya sebelum ibunya meninggal itu bisa muncul kembali. Tapi sayangnya Abas salah, kelakuan Dewa semakin menjadi-jadi, apalagi saat mengetahui sahabat kecilnya punya hubungan spesial dengan Arya. Segalanya semakin rumit saat kebencian Dewa makin menjadi-jadi kepada kakaknya, maka dari itu Abas memutuskan mengirim Arya untuk melanjutkan study ke luar negeri agar keduanya memiliki jarak untuk saling mendinginkan hati.
Tapi kini, lihat apa yang terjadi? Semua semakin kacau karena keduanya terlibat dengan satu wanita lagi.
Sementara Tere menatap Uly dengan sorot penuh kekecewaan. "Saya kecewa sama kamu!" ucapnya geram.
"Ma--"
"Jangan panggil saya Mama lagi! Saya nggak sudi!"
"Jaga nada bicara, Mama, atau semua orang akan tahu bagaimana sifat asli Mama sebenarnya," ucap Dewa santai.
"Apa maksud kamu?" tanya Tere tak percaya.
Dewa tersenyum simpul seraya berdiri dari duduknya. "Jangan mengira karena aku masih bocah, aku tak tahu bagaimana seluk beluk kehidupan kalian sebelum masuk ke rumah ini," ujarnya tenang, "jaga sikap, jika tidak ingin semuanya terungkap!"
Setelah melontarkan kalimat yang menyiratkan ancaman itu, Dewa pergi dengan menarik tangan Uly agar ikut bersamanya.
"Mau kemana? Kita belum selesai bicara," ucap Uly, berusaha melepaskan tangannya.
"Ya, kita memang belum selesai, ada banyak hal yang harus diurus sebelum pernikahan kita."
"Dewa! Aku nggak mau menikah dengan kamu!" pekik Uly kesal.
Bocah itu berhenti tepat di samping pintu mobil Ferrari hitam yang terparkir di garasi. "Jadi, elo mau menikah dengan Arya? Si pencinta selangkangan itu?" tanyanya mengejek.
Uly menggeram penuh rasa frustasi, malsalahnya dengan Arya saja belum terselesaikan. Ia belum sempat menjambak dan menendang pria yang sudah membuatnya patah hati itu. Lalu kini, dia harus terjerat bersama adik dari laki-laki brengsek itu.
"Apa bedanya dengan kamu?" sahut Uly sarkastis.
Dewa menaikkan alis sebelum tertawa kencang. "Elo lupa siapa yang tadi malam ngegoda gue dan minta ditidur--"
"Stop!!!"
"Aku nggak mungkin begitu!" bantahnya lantang.
Dewa tersenyum penuh arti. "Apa perlu gue tunjukkin videonya ke elo?"
Uly merasa kini wajahnya merah padam, membayangkannya saja ia tak sanggup, apalagi harus melihat sendiri apa yang dikatakan Dewa lewat ponselnya. Sungguh, Uly tak akan sanggup, benar-benar tidak sanggup.
🍁🍁🍁Seminggu berlalu begitu cepat bagi seorang Uly Syahrani. Kini, ia sedang mematut diri di depan cermin yang menunjukkan wajah ayu yang terpoles make-up sederhana tapi tetap memancarkan wajah cantik nan teduhnya.Wanita itu memilin jari dengan gelisah. Di bawah sana, Dewa angkasa sedang bersiap mengucap ijab qobul untuk pernikahan mereka. Pemuda itu benar-benar tak mau mundur walau Uly sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tak perlu dinikahi.Acara ini dilakukan di rumah besar keluarga Angkasa. Ayah dan Ibu ulUly juga hadir, mereka tiba kemarin sore dan menginap semalam di hotel berbintang yang dibiayai langsung oleh Abas karena Ayah Uly sungkan menginap di rumah mereka.Saat ia memberi tahu perihal pernikahannya, mereka sempat terkejut dan merasa kecewa karena Uly tak menepati janji untuk menjaga diri saat jauh dari mereka. Tapi entah kenapa setelah Dewa m
Setelah selesai berkemas, Dewa dan Uly segera meninggalkan rumah besar itu dengan diantar seorang sopir yang ditugaskan oleh Abas. Dewa yang awalnya menolak tak bisa berkutik saat Abas berdalih tak ingin membuat menantunya susah karena putranya yang keras kepala.Sebenarnya pria paruh baya itu sangat berat hati melepaskan anak semata wayangnya hidup pisah rumah dengan alasan ingin mandiri, meskipun Dewa sudah menikah tapi Abas tahu bahwa sikap putranya itu belum sepenuhnya dewasa, bahkan masih sangat kekanakan dan kadang sedikit temperamental.Belum lagi sikap keras kepalanya yang Abbas yakin akan membuat Uly kewalahan setengah mati.Sementara kedua anak manusia yang sedang dikhawatirkan oleh Abbas itu duduk dalam diam menatap jalanan ibukota yang tetap ramai di malam hari.Beberapa menit kemudian mobil berbelok memasuki sebuah area perumahanan yang Uly tahu letaknya tak terlalu jauh dari kampus tempat dia men
🍂🍂🍂Dewa terkekeh geli saat menyadari tubuh Uly yang menegang kaku. Kelihatan sekali bahwa ini yang pertama kali bagi wanita itu. Tentu saj hal itu menambah daftar kesenangan bagi seorang Dewa Angkasa.Sejak awal wanita itu datang ke rumahnya, Dewa sudah merasa terpesona dengan sikap sopan nan lembut yang Uly tampilkan.Namun, saat ia memperkenalkan diri sebagai kekasih Arya, rasa kagum itu seolah berganti menjadi gejolak amarah.Dewa selalu benci saat Uly datang ke rumah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga Arya. Apalagi mendengar harapan wanita itu yang ingin segera menjejaki hubungan lebih serius setelah kepulangan kakak tirinya itu."Belum berpengalaman, eh?" ejek Dewa saat tak merasakan balasan, ia makin merapatkan tubuh menggoda.Perempuan itu bergerak gelisah, ingin menarik diri tapi ditahan oleh bocah yang kini berstatus sebagai
Uly menatap bimbang Dewa yang sudah duduk di atas motor besarnya, bersiap mengantar wanita itu pergi bekerja."Ayo, Ly, buruan ntar telat," ucapnya."I--iya, tapi ... kamu yakin bawa motor gini, rok aku gimana?" tanyanya pelan.Dewa berdecak. "Enak naik motor, nggak kena macet. Lagian kamu ngapain pake rok pendek gitu? Ganti celana sana!" titahnya.Uly melihat ke bagian bawah tubuhnya. Rok selutut yang dipakainya sungguh sudah amat sopan, tak terlalu pendek ataupun ketat. Tapi, akan sangat tidak nyaman jika ia harus menaiki motor besar pria itu."Nggak pendek banget," sangkal wanita itu."Pendek, dan aku nggak suka. Ganti!" sahut Dewa tegas.Uly menghembuskan napas panjang sebelum kembali memasuki rumah untuk menuruti perkataan suami berondongnya itu.Tak lama, wanita itu kembali dengan celana bahan panjang berwarna cream."Sudah,"
Uly membayar ongkos ojek online yang ditumpanginya lalu berbalik dan berjalan memasuki pekarangan rumah baru yang ditempatinya bersama suami brondongnya. Wanita itu mengernyitkan dahi saat melihat ada sebuah mobil yang tak dikenalinya terparkir di depan rumah.Dengan langkah ragu-ragu wanita itu mendorong pintu yang tak tertutup rapat, dan yang di dapatinya adalah seorang gadis muda menempel di lengan suaminya yang sedang serius menatap laptop."Widiiiih ... ada perempuan cantik bengong depan pintu," sorak Arka yang berjalan dari arah dapur.Dewa spontan mendongak, sejenak menatap dalam diam istrinya yang berdiri kaku di depan pintu."Sudah pulang?" Dewa akhirnya bersuara.Uly menarik napas panjang, mengangguk perlahan mengabaikan sentilan sakit di hati yang paling dalam."Siapa lo, Wa? Kok lo nggak bilang tinggal sama perempuan cantik gini? Pembantu atau--""Kakak
Pagi-pagi sekali Uly dikagetkan dengan kedatangan beberapa orang yang mengantarkan sebuah mobil mewah yang dihiasi pita besar beserta balon berbentuk hati.Uly semakin kaget saat dengan tiba-tiba Dewa memeluknya dari belakang, menghirup aroma rambut Uly setelah orang-orang itu pergi."Happy birthday, My Wife. Tapi, ini kado untuk pernikahan kita," bisiknya serak."Kado?" tanya Uly tak percaya"Ya, kamu senang?"Uly menggeleng, melepas pelukan Dewa dan memutar tubuhnya."Dewa, kamu harus mempertimbangkan kata-kataku kemarin. Tidak perlu melakukan semua ini untuk berpura-pura atau menutupi niat kamu sebenarnya."Dewa mengernyitkan dahi tak suka. "Kamu pengen banget pisah sama aku?""Wa, hubungan yang--""Kamu masih cinta sama Arya? Atau malah sudah berpaling pada Juno?" tuduhnya."Aku nggak begitu!" sang
Sore ini Dewa menepati janjinya ingin mengajari Uly mengendarai mobil baru yang sebenarnya ia beli dari hasil jerih payahnya sendiri.Dewa Angkasa, pemuda yang tak banyak bicara. Berbuat semaunya yang dianggap orang banyak sebagai tindakan pembuat onar.Ya, dulu dirinya begitu sering mencari-cari perhatian papinya, berharap pria tua itu mau meluangkan sedikit saja waktunya untuk sekedar melihat putranya yang hidup kesepian setelah kehilangan sang mami.Namun, pria tua itu malah salah mengartikan, ia menganggap Dewa butuh kasih sayang dari sosok seorang ibu, sehingga ia memilih untuk menikah lagi yang pada akhirnya malah semakin memburuk hubungan keduanya."Pertama-tama kamu harus duduk dengan nyaman, jangan gugup ataupun grogi." Dewa mulai memberi arahan."Oke," sahut Uly pelan."Sekarang aku akan jelasin beberapa fungsi dari alat-alat yang ada di depan kamu."
Pagi ini Uly sedang sibuk di dapur memasak sarapan untuk dirinya dan juga Dewa. Ini adalah hari libur dan kebetulan tak ada jadwal pertemuan dengan siapa pun.Menu pagi ini ia memasak salad sayur yang dipadukan dengan sedikit daging dan pasta.Uly melakukan semuanya dengan ulet, dia memang terbiasa memasak jika berada di kampung. Hanya saja saat tinggal di kampus, ia lebih sering makan di kantin atau di luar dengan rekan-rekannya."Hm, harum." Suara serak dari balik punggungnya membuat Uly menoleh."Selamat pagi," sapa wanita itu sat mendapati Dewa berdiri dengan wajah baru bangun tidurnya."Pagi, My Wife." Dewa melingkarkan lengan di perut wanita itu dan menempelkan bibir di pundak terbuka wanita itu.Pekikan kecil dari bibir Uly pun terdengar. "Aku lagi masak, Wa," protesnya."Yaudah masak, aku nggak ganggu kok," sahutnya acuh.Tidak men