Share

KEJANGGALAN

Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda.

Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami.

...

Lima menit kemudian ...

Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu.

“Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini.

Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria.

Tanganku digandeng dan langkahku beriringan dengannya. Mungkin wanita yang ada di sampingku mengira, bahwa aku ketiduran tadi.

...

Jantung berdegup lebih kencang saat melihat bapak rohani sedang memukul salah satu dari jemaatnya.

“Dalam Bapa, Putra, dan Roh Kudus ... Keluarlah setan dan iblis dari tubuh domba yang tak bersalah ini! KELUAR ...!” teriakan yang kudengar dari mulut bapak rohani sambil memukul keras punggungnya.

Bukannya pengusiran roh iblis tidak pakai kekerasan ya? Kenapa orang di sini menerima untuk dipukul habis-habisan dengan alasan dirasuki roh jahat? Aku terus bertanya dalam hati kecilku. Tanda salib dengan mata berwarna merah dan dilengkapi dengan sayap hitam? Sepertinya tanda itu ada di gereja yang pernah aku datangi sebelumnya, tapi di mana? Terus saja aku mencoba untuk mengingat hal yang penting bagiku, tapi mengapa dalam keadaan seperti ini malah susah untuk diingat?

“Bapak Ro–“

Tangan Bu Maria berhasil menutup mulutku terlebih dahulu sebelum aku berteriak.

“Jangan pernah berteriak saat ibadah dimulai!”

Kali ini aku mendapat teguran dari wanita sialan. Aku sudah muak berada di tempat ini!

Namun kedua tanganku dipegang erat oleh bu Maria dan pak Alex setelah kaki kiriku mulai melangkah.

“Tetap diam!”

Genggaman tangannya semakin kuat tatkala suara serak basahnya membentakku. Semua memandang ke arahku dan wanita yang ada di sampingku dengan suara ributnya.

Bu Maria langsung meminta maaf dengan membungkukkan tubuhnya, lalu memaksaku untuk mengikuti gerak-gerik tubuhnya dengan memberi isyarat melalu pergelangan tanganku yang digenggam erat.

Kali ini aku mematuhi semua peraturan yang ada di sini, tanpa memberontak sedikit pun, karena sebelumnya memang aku menerima tawaran dari Adel, tetanggaku.

...

Aku menunggu waktu emas ini, di mana pelaksanaan ibadah pagi sudah selesai. Anehnya mereka bukannya bertegur sapa saat hendak pulang, melainkan hanya menatap satu sama lain, lalu pergi begitu saja. Terlalu banyak kejanggalan di sini, tapi polisi tidak segera bertindak.

“Ya sudahlah, yang terpenting bagiku saat ini, bisa pulang dengan selamat,” gumamku sambil berjalan mencari keberadaan Adel. Tapi sejak tadi aku belum menemukan batang hidungnya. Ke mana Adel? Apa dia sudah pulang dulu? Apa masih tersangkut di atap bangunan aneh itu? Batinku. Bersiul sambil menikmati langkah pelan tapi pasti, adalah kebiasaanku untuk menikmati kesendirian.

“Ah ... Ah ...” suara desahan yang melintas begitu saja ditelingaku.

Apa aku enggak salah? Ini kan masih termasuk bangunan tempat ibadah? Kenapa disalahgunakan? Aku mendekati suara itu. Ternyata desahan yang sangat meresahkan itu ada di balik pintu besar dengan tanda salib bersayap hitam tanpa mata merah. Kemudian aku memberanikan diri untuk membuka pintu itu secara pelan-pelan.

Ceklek ...

Tidak ada siapa-siapa di dalam? Apa karena masih terbuka setengahnya saja? Daun pintu yang sangat besar itu terus kudorong perlahan, agar terbuka lebar tanpa suara. Namun ...

“Nona Azkia ... Kita bertemu di sini. Sedang apa ya?”

Spontan aku menoleh ke arah suara yang berhasil mengagetkanku.

“Pak Alex ...? Emm ... Anu, itu Pak.” Aku mengatur napasku sebelum melanjutkan ucapanku. “Ta–tadi ... Saya mendengar suara aneh di dalam sana! Kalau boleh tahu, tempat apa ini ya?” sambungku sambil bertanya, karena penasaran.

“Oh itu. Mereka melakukan penebusan dosa dengan dibimbing oleh Bapak Rohani kita. Nona Azkia mau melakukan penebusan dosa?” sahut Pak Alex, sedikit menggodaku.

Aku sangat risih dengan sikap Pak Alex hari ini. Langsung jari-jariku mengelus leher belakang dan menggelengkan kepala lalu pergi meninggalkannya.

Saat tiba di rumah, aku langsung meletakkan tas di gantungan tas, dan membuka sepatu dengan asal. Kemudian jiwa rebahanku meronta-ronta saat melihat kasur, bantal, dan bantal goleng yang mulai dingin.

Brak

Punggungku terhempas di atasnya kasur kapuk yang dibuat oleh orang zaman dulu.

“Sejujurnya, tempat itu tidak layak dikatakan sebagai tempat ibadah, karena bertolak belakang dari ajaran yang sebenarnya. Tapi, tetap saja mereka percaya pada ajaran sesat,” gumamku sambil menatap langit-langit dan duniaku pun hancur dalam halusinasi.

Kasus ini harus segera ditangani, agar tidak ada korban lain yang berjatuhan dan menjelekkan agama lainnya.

“Aku takut tanggapan orang lain bahwa Kristen itu mengajarkan hal-hal yang tidak baik, padahal ada banyak ajaran sesat yang memutarbalikkan kitab Injil, salah satunya gereja setan ini!” gumamku sambil membayangkan hal buruk yang akan terjadi nanti. “Sepertinya aku harus membongkar rahasia gereja sesat ini, apa pun caranya!”

***

Setelah beberapa lama memikirkan tentang gereja sesat itu, perutku mulai minta jatah dengan memberi isyarat berkali-kali. Terpaksa aku harus bangun untuk memasak sesuatu yang ada dalam kulkas.

“Hanya ada stok mie instan, telur dan beberapa sayuran. Enaknya makan mie instan pakai telur sama sayur,” gumamku sendirian sambil menyiapkan bahan dan alat-alat untuk memasak.

Masakan mie ala Korea hasil dari karyaku pun jadi setelah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit. Aku makan di meja makan sambil mengerjakan tugas kantor lewat laptop yang sebelumnya sudah kuambil di kamarku.

Tok tok tok

Tiba-tiba pintu belakang rumah diketok seseorang, padahal sebelumnya tidak ada yang berani untuk mengetuknya, karena kata tetanggaku kemarin, halaman belakang rumah yang kutempati saat ini cukup angker.

Tangan dan kakiku mulai bergetar saat hendak mendekati pintu itu. Bukan hanya itu, detak jantungku mulai memburu bahkan detakannya tidak teratur. Tanganku juga terasa berkedut saat mulai menyentuh knop pintu.

Ceklek

Angin luar yang menerobos masuk melalu cela kecil dari pintu yang terbuka, semakin membuatku bergidik ngeri.

Glek ...

Aku menelan saliva untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering, akibat hembusan angin luar.

Perlahan tapi pasti, pintu itu mulai terbuka setengah dari ukurannya.

“Itu kamu Del?” tanyaku saat melihat setengah wajahnya.

“Ah, iya. Apa aku boleh masuk?”

Aku membuka pintu belakang itu dengan segera, dan menyuruhnya untuk segera masuk.

“Untung itu kamu, Del. Aku sedikit takut karenamu!” seruku sembari menutup pintu belakang setelah Adel masuk ke rumah.

Aku tersenyum. “Untuk apa pisau itu Del?” tanyaku sambil mendekati meja masak untuk membuatkannya minuman.

Aku bisa merasakan hembusan napasnya di sekitar telingaku dan juga sentuhan telapak tangannya didaerah perutku.

“Aku mau ...”

PENASARAN KAN? YUK IKUTI TERUS KISAHNYA, AGAR TIDAK PENASARAN❤️

Jangan lupa tinggalkan jejaknya😘

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status