Share

7. Canggung

Rasa penasaran yang menggerogoti perasaan Jonathan semakin tak bisa di bendung. Dia akhirnya memutuskan untuk melihat keadaan Emily di kamarnya. Namun, begitu dia membuka pintu kamarnya, Emily sedang berganti baju, dia melepas handuknya, dan terekposlah kulitnya yang putih mulus tanpa sehelai benang pun, Emily terlihat akan mengenakan piyama. Jonathan langsung menutup kembali pintu kamarnya diam-diam. Cepat-cepat dia kembali ke kamar sebelah, dan meneguk segelas air. Kerongkongannya terasa kering, bayangan tubuh Emily yang tanpa busana terbayang-bayang di benaknya, membuat wajahnya merah merona.

"Sial!" umpat Jonathan.

Keadaan tidak berubah meskipun dia mencoba melakukan hal lain. Jonathan akhirnya memutuskan untuk mandi dengan air dingin. Di dalam kamar mandi dia segera menghidupkan air dingin, dan berdiri di bawahnya. Tapi justru kejadian tadi semakin terekam jelas di benaknya, dia kini bahkan ingat warna pakaian dalam yang akan di kenakan Emily.

"Sial! Seharusnya aku tidak membuka pintunya tadi," guman Jonathan.

Sementara itu, Emily yang sudah mengganti handuknya dengan piyama segera turun ke bawah.

"Ini sudah jam makan malam, seharusnya Jonathan sudah kembali," guman Emily.

Emily memperhatikan sekelilingnya, tidak ada satu orang pun yang berada di sana. Felix benar, Jonathan sangat menyukai ketenangan, bahkan saat tidak ada orang, rumah Jonathan tetap sepi, tidak ada pelayan yang terlihat mondar-mandir di rumahnya.

"Mereka benar-benar patuh pada Jonathan, tapi ini sedikit menakutkan, rumah sebesar ini sangat hening," ujar Emily yang terus berjalan ke bawah menuju meja makan.

Di dapur terlihat ada satu orang pelayan yang sedang menyajikan makanan. Dia terlihat telah berusia sekitar lima puluh tahunan. Begitu melihat kedatang Emily, dia langsung mendatangi Emily dengan sikap yang sopan.

"Selamat pagi nyonya muda, saya bibi Elena, saya adalah orang yang bertanggung jawab atas menu makan tuan muda selama ini. Maaf, karena saya belum mengetahui masakan favorit nyonya muda, saya hanya bisa membuat ini," ujar bibi Elena.

"Waaah, ini terlihat enak, apa ini semua menu makanan kesukaan Jonathan?" tanya Emily dengan antusias.

"Iya nyonya, jika nyonya ingin menu masakan lain, saya akan membuatkannya untuk nyonya sekarang," jawab bibi Elena.

"Ah, tidak perlu bibi, ini sudah cukup, aku tidak pilih-pilih makanan selama itu tidak terlalu pedas atau asin," ujar Emily.

"Apakah Jonathan sudah kembali?" tanya Emily.

"Sudah nyonya, sore tadi tuan muda sudah kembali," jawab bibi Elena.

"Benarkah? Kenapa aku tidak melihatnya? Dimana dia?" tanya Emily.

"Sebentar nyonya, saya akan memanggilnya, dia berada di kamar sebelah yang nyonya pakai," jawab bibi Elena.

"Di sebelah kamarku? Kalau begitu biar aku saja yang memanggilnya turun," ujar Emily.

Emily beranjak dari kursinya, dan pergi menuju lantai dua memanggil Jonathan. Perutnya sudah sangat lapar, namun tidak sopan rasanya jika makan tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Emily masih merasa asing tinggal di sini, meskipun para pelayan telah memanggilnya "nyonya muda", biar bagaimanapun, dia adalah orang baru di sini, jadi dia berusaha untuk bersikap sopan.

Di sisi lain, bibi Elena yang telah mengasuh dan membesarkan Jonathan sejak kecil, ikut bahagia melihat istri baru Jonathan. Emily terlihat baik, dan sopan di matanya. Gadis itu juga tidak memandang remeh dirinya, Emily sangat ramah padanya walaupun dia memperkenalkan diri sebagai pelayan.

Sementara itu, Jonathan yang masih berdiam diri di kamar, benar-benar tidak bisa lepas dari belenggu penglihatannya tadi. Walaupun dirinya sering melihat gadis dengan tubuh seksi, dan pakaian terbuka, kali ini berbeda. Apa yang dia lihat adalah kepolosan sepenuhnya, otaknya kali benar-benar selalu berpikiran kotor walaupun dia berusaha mengalihkan pada hal lain. Jonathan akhirnya memutuskan untuk turun ke bawah, karena ini sudah jam makan malam. Dia memang memiliki kebiasaan yang rutin tentang makannya. Namun saat dirinya membuka pintu, terlihat wajah Emily yang terkejut dengan tangan ingin mengetik pintu kamarnya.

"Oh, kau mengejutkan ku, aku baru saja mau memanggilmu untuk makan malam," ujar Emily.

Jonathan seketika ingat lagi dengan kejadian tadi, wajahnya kini menjadi merah padam saat menatap Emily.

"Uh, wajahmu merah, apa kau demam?" tanya Emily sambil menaruh tangannya di kening Jonathan.

Jonathan langsung menepis nya, dan kini bukan hanya wajahnya saja yang merona, bahkan telinganya ikut merah.

"Aku baik-baik saja," ujar Jonathan sambil berjalan menuruni anak tangga.

"Uh, benarkah? Tapi wajahmu merah, kau yakin tidak apa-apa? Haruskah kita memanggil dokter? " tanya Silvia sambil mengikuti Jonathan dari sisi samping.

"Apa kau sudah makan?" tanya Jonathan.

"Belum, perutku sangat lapar, ayo kita makan," ujar Emily.

Jonathan berhasil mengalihkan pertanyaan Emily yang tidak bisa di jawab olehnya. Akan terasa canggung jika Emily tau penyebab wajahnya memerah, dan lagi, dia pasti marah besar padanya.

Mereka berdua makan dengan tenang di meja makan, sesekali Emily melirik Jonathan yang terlihat aneh. Jonathan selalu kedapatan mencuri pandang dirinya saat dia tengah asik makan, setelah melirik wajah Jonathan pasti akan berubah menjadi merah merona hingga ke telinganya. Lama-lama Emily tidak tahan melihat hal ini, dia akhirnya mengajukan pertanyaan yang semakin membuat Jonathan salah tingkah.

"Apa yang kau lihat di wajahku? Kenapa setelah menatapku wajahmu merah? Apa aku aneh?" tanya Emily penasaran.

"Kau sudah selesai makan? Jika belum, habiskan makananmu dulu baru bicara," ujar Jonathan.

"Aku bertanya padamu, kenapa kau mengalihkan pertanyaanku?" tanya Emily.

Jonathan terdiam saat Emily mencecarnya dengan banyak pertanyaan, karena tidak tahan lagi selalu di pandangi oleh Emily, Jonathan memilih kabur ke kamar. Namun ternyata, Emily mengikutinya.

"Kenapa kau mengikutiku? Ini kamarku," ujar Jonathan.

"Hah, tuan muda Jonathan, sekarang kamarmu juga menjadi kamarku, apa kau lupa? Aku adalah istrimu yang sah," jawab Emily.

"Baiklah, kau bisa pergi ke bawah, kau bisa menonton, atau melihat majalah fashion, dan belanja lah sesukamu aku akan membayarnya," ujar Jonathan.

Emily mendekap tangannya, dan berjalan semakin dekat ke arah Jonathan yang sedang gugup di sofa.

"Sekarang aku semakin curiga, kenapa semakin aku bertanya kau semakin menghindar, bahkan mengusir ku secara halus. Katakan padaku, apa yang terjadi?" desak Emily.

"Aku tidak sengaja melihatmu saat sedang berganti pakaian tadi," jawab Jonathan terus terang.

Seketika ruangan itu menjadi hening, hanya nafas mereka yang terdengar semakin memburu. Jonathan juga terdiam membeku di tempatnya, dia sama sekali tidak tau harus melakukan apa, saat ini otaknya terasa kosong.

"Apa tadi kau bilang?" tanya Emily.

"Maaf, aku tidak sengaja, tadinya aku hanya ingin memastikan keadaanmu, apakah kau baik-baik saja atau tidak," jawab Jonathan.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras. Jonathan pergi meninggalkan Emily di kamarnya. Emily yang tersadar akhirnya melihat tubuhnya yang berada di balik baju. Seketika wajahnya juga memerah karena malu.

"Bodohnya aku, kenapa aku tidak mengunci pintunya?" guman Emily.

Keesokan harinya, saat mereka bertemu, suasana menjadi semakin aneh, mereka berdua saling menghindar satu sama lain selama beberapa hari. Bibi Elena yang melihat hal ini juga sedikit heran, lalu memberanikan diri bertanya pada Jonathan.

"Tuan muda kecil, apa kalian berdua bertengkar?" tanya bibi Elena.

"Tidak, hanya ada kesalah pahaman sedikit," jawab Jonathan.

"Tidak apa, kalian bisa membicarakannya secara baik-baik," ujar bibi Elena.

Jonathan diam-diam setuju dengan pendapat bibi Elena, dia juga berpikir demikian, tidak enak jika terus menerus canggung seperti ini. Pada malam hari, Jonathan mencoba mengetuk pintu kamar Emily.

Tok--tok-- tok--

"Emily, bolehkah aku masuk?" tanya Jonathan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status