Share

Bab 4. Rencana Pertama Mika

SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTU

PART 4

Mika terduduk di tepi ranjang, memikirkan segenap rencana yang akan ia lakukan. Rencana untuk menguak suatu kebenaran.

Sebenarnya Mika sudah yakin jika sang suami memiliki hubungan lebih dengan Mona, namun Mika tak memiliki bukti. Tak mungkin jika Mika langsung menuduh mereka begitu saja.

Dan satu lagi, Mika penasaran bagaimana bisa sang suami keluar sedangkan dirinya jelas sangat yakin jika malam itu Johan ada di dalam kamar Mona.

"Sepertinya aku harus memasang cctv. Tapi tidak mungkin aku memasangnya saat Mona ada di rumah," lirih Mika sembari sesekali melirik ke arah Nando yang tengah tertidur pulas.

Tok!

Tok!

Tok!

Suara ketukan pintu membuat Mika menoleh ke arah sumber suara.

"Bu, ini saya Mona."

"Masuklah," titah Mika. Hingga tak berselang lama derit pintu terdengar seiring daun pintu yang mulai terbuka.

Terlihat Mona berjalan mendekat ke arahnya setelah menutup kembali pintu kamar.

"Ada apa, Mon?"

"Bu, apa boleh saya keluar sebentar? Teman-teman saya yang kebetulan merantau di kota ini ngajak untuk bertemu."

Tepat sekali!

Sepertinya Tuhan mendukung rencana Mika untuk segera memasang kamera pengintai. Bibir Mika tersenyum samar, setelahnya ia berucap, "Semua kerjaan sudah selesai?"

"Sudah, Bu."

"Ya sudah, pergilah. Jangan pulang larut malam."

Mendengar ucapan sang majikan tentu saja membuat kedua sudut bibir Mona tertarik ke atas.

"Baik, Bu. Paling lambat mungkin jam 8. Soalnya acara kumpul-kumpulnya jam 6 sore. Kebetulan acara ini diadakan di rumah teman Mona. Dia meminta bantuan untuk menyiapkan segala keperluannya. Kami harus belanja dulu lalu masak-masak," jelas Mona panjang lebar.

"Ya, pergilah."

"Baik, Bu. Terima kasih, saya pergi sekarang ya, Bu."

Mika mengangguk.

Setelah mendapatkan respon dari sang majikan, Mona melangkah pergi. Hingga akhirnya Mika kembali memikirkan soal rencananya untuk memasang cctv.

Nama Elisa seketika muncul di ingatannya. Mika menepuk-nepuk kepalanya, bagaimana bisa dia baru ingat jika sahabatnya itu menjual aneka peralatan elektronik termasuk cctv.

Bergegas Mika mengambil ponsel yang tergeletak di atas bantal. Jemarinya dengan tergesa-gesa mencari kontak bernama Elisa–salah satu teman dekat Elisa hingga saat ini.

Begitu ketemu, Mika langsung menekan menu panggil.

"Assalamualaikum, Mika. Halo, ada apa?" Suara wanita dari seberang sana terdengar begitu panggilan diangkat setelah dering ketiga.

"Sa, bisa kirim karyawanmu untuk pasang cctv di rumahku?"

"Loh, bukankah rumahmu baru beberapa bulan yang lalu ganti cctv? Rusak?"

"Enggak sih. Mau aku suruh pasang di kamar, Sa."

"Di kamar? Buat apa? Jangan-jangan ...."

"Ish! Jangan mikir yang aneh-aneh kamu, Sa. Aku butuh cctv yang kecil sekali. Pokok yang membuat orang tidak menyadari jika ada cctv di kamar itu."

"Kenapa? Apa kamu mencurigai suamimu dengan pembantu di rumahmu?"

Telak!

Tebakan Elisa tak meleset.

"Ya."

Hembusan napas kasar terdengar dari seberang sana.

"Jangan bertindak gegabah, selidiki dan main cantik."

"Iya, Sa. Makanya aku mau pasang cctv di kamar pembantuku itu. Pokoknya yang kecil saja ya. Kalau bisa suruh datang segera, takutnya Mas Johan keburu pulang," ucap Mika sembari melirik sekilas ke arah jam yang menunjukkan pukul 1 siang.

"Iya, beres. 15 menit orang suruhanku bakalan tiba."

"Oke, Sa. Makasih ya."

Panggilan diputus setelah salam perpisahan.

Kali ini Mika sedikit bisa bernapas lega.

****

"Sudah, Bu. Sudah saya sambungkan sekalian ke ponsel ini." Lelaki yang merupakan karyawan Elisa menyerahkan ponsel Mika kepada pemiliknya.

"Baik, Mas. Terima kasih, ya. Kwitansinya mana?"

Diserahkannya selembar nota pembelian kepada Mika, dan bergegas wanita itu memberikan sejumlah uang yang tertera pada nota pembelian. Tak lupa ia juga menambahkan satu lembar uang pecahan 100 ribuan sebagai upah atas tenaganya.

Setelah lelaki itu pergi, Mika melangkah masuk menuju kamar Mona. Kepala Mika mendongak, mencari keberadaan benda kecil yang akan mengungkap kebusukan dua manusia tak berakhlak.

Dua pasang cctv terpasang dengan sempurna. Satu menyorot langsung bagian ranjang, dan satunya mencakup satu ruangan.

"Pasti mereka tidak akan tau kalau ada cctv di dalam sini," ucap Mika dengan bibir tersenyum puas.

****

Bibir bergincu merah maroon itu tersenyum kala melihat sang kekasih sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di cafe tempat mereka melakukan janjian.

Bergegas Mona melangkah. Senyum terus menghiasi wajahnya di sepanjang ia berjalan.

"Sudah lama, Mas?"

Pandangan Johan yang semula menunduk karena menatap layar ponsel pun kini terangkat setelah mendengar suara Mona.

"Ah, belum. Baru 5 menit yang lalu."

Johan bangkit dari tempat duduknya. Sejenak mereka saling berpelukan dan tak lama kemudian pelukan itu pun terurai. Mona mendudukkan bokongnya di kursi yang ada di hadapan Johan.

"Kamu mau pesan apa, Mas?" tanya Mona dengan pandangan tertuju pada selembar menu yang baru saja diberikan oleh sang pelayan.

"Samakan saja," jawab Johan dengan singkat.

"Jus jeruk 2 sama spaghetti 2, Mbak." Mona menunjukkan salah satu macam spaghetti yang tertera di lembar menu makanan.

Sang pelayan pun dengan sigap mencatat.

"Setelah makan siang, antar aku ke salon ya, Mas. Sudah lebih dari sebulan aku nggak ke salon, wajahku jadinya kelihatan buluk."

"Iya, nanti Mas antar."

"Tapi setelah ke salon, kita ke mall dulu. Sudah lama juga kamu nggak ajak aku shopping. Rindu aroma baju baru." Mona terkikik setelah berbicara.

"Apa nggak kelamaan? Nanti Mika curiga loh," ucap Johan.

"Enggak, kamu tenang saja. Aku tadi bilang kalau ada acara kumpul temen-temen dan pulang kisaran jam 8. Cukuplah waktunya untuk ke salon dan pergi berbelanja," seru Mona.

"Kamu tenang saja. Setelah kamu menyenangkanku, aku akan membahagiakan kamu," imbuh Mona sembari mengerling nakal dengan bibir yang tersenyum genit.

"Haruslah itu. Kemarin kepalaku rasanya mau pecah gara-gara lagi mode on, tiba-tiba Mika datang."

"Kenapa nggak minta sama istrimu malam itu?"

"Hah! Yang ada udah nggak selera lihat lemaknya yang menggelambir itu."

Mona tertawa terbahak-bahak, dalam batinnya ia bersorak-sorai karena sang kekasih sudah tak membutuhkan tubuh sang istri. Bahkan, terlihat di kedua netra Mona saat wajah Johan seperti menahan rasa jijik.

Jika Johan mengatakan hal seperti itu, bukan berati fisik Mika tak terlihat menarik lagi.

Sungguh, jika dibandingkan dengan wajah Mona, masih jauh lebih cantik wajah Mika. Bentuk tubuh Mika pun tak semengerikan seperti yang dikatakan oleh Johan.

Mika masih memiliki bobot tubuh yang ideal, hanya saja perutnya masih sedikit membuncit pasca mengandung dan melahirkan buah hatinya.

Memang pada dasarnya Johan yang tak pernah bisa merasa bersyukur dan suka sekali mencicipi tubuh setiap perempuan yang diinginkannya.

"Silakan dinikmati ...." Seorang pelayan membawa nampan yang berisi dua piring makanan dan dua gelas minuman pesanan Mona.

Pelayan itu memindahkan satu per satu piring dan gelas dari nampan ke meja yang ada di hadapan Mona.

Bergegas sepasang kekasih itu mulai menyantap menu makan siangnya. Dan setelah selesai, dengan mesra Mona melangkah di samping Johan yang tangan kanannya terus melingkar di pinggang ramping miliknya.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Somy Aip
next next next
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status