Suara Di Bilik Iparku (37)
**
Bagaimana mungkin, aku benar-benar akan melenyapkan wanita itu sedsng di dalam perutku saja akan ada kehidupan sebentar lagi. Aku tak setega itu, wahai suamiku. Meskipun aku benci, setidaknya aku hanya ingin ia dijemput malaikat maut atas dasar kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Aku tak ingin mengotori tanganku dengan perbuatan keji seperti itu. Sudah cukuplah aku menderita seperti ini, tak perlu juga aku ikut mengotori hati dan kedua tanganku.
Kususuri lorong rumah sakit tempat Mas Akbar di rawat. Malam sudsh semakin larut, tak mungkin aku pulang sendiri dalam keadaan badan yang belum sepenuhnya sehat karena sejak tadi pagi aku masih merasakan pening di kepalaku.
Dan bahkan, sampai detik ini aku juga tak melihat keberadaan Bara di tempat ini. Tidak mungkin jika ia tidak mendengar tentang kabar kecelakaan yang menimpa istri dan kakaknya ini karena seseorang pasti menghubunginya, termasuk Mbak Mawar.
Kata
Suara Di Bilik Iparku (38)**Tiga hari kemudian ..."Kamu udah siap? Yakin?" tanya Oki saat kami tiba di halaman kantor pengadilan agama.Aku menghela nafas panjang, lalu mengangguk mantap. Bagaimanapun juga, aku harus segera berpisah dari Mas Akbar meski kini tengah hamil. Oki sudah membantuku mencari informasi mengenai boleh atau tidaknya jika seorang wanita yang tengah hamil menggugat cerai suaminya.Dan ternyata, dalam hukum islam maupun negara cerai dalam keadaan hamil diperbolehkan, tapi masa iddah wanita jatuh hingga sampai ia melahirkan.*"Ayo. Jangan gugup, ya," ucap Oki lagi sembari berjalan mendahuluiku.Dengan degup jantung yang tak beraturan aku berjalan mengikuti Oki masuk ke dalam kantor pengadilan agama. Harapanku hanya satu, bisa cepat lepas dari manusia tak punya hati seperti Mas Akbar. Terserah setelah ini ia mau bersama Hanum atau siapapun, aku sudah tidak perduli lagi.Proses demi proses aku jalani dengan
Suara Di Bilik Iparku (39)**“Ki, besok kamu ada acara?” tanyaku saat ia telah selesai memakan pesanannya.Ia mendongak ke arahku, “tidak, ada apa?” tanyanya.Pria yang dulu hanya kukenal sekilas, kini sangat dekat bahkan melebihi saudaraku sendiri. Bahkan dia serasa tidak perduli dengan banyaknya pasang mata yang menilai dirinya buruk karena sering bersama wanita yang masih bersuami.Aku bersyukur, setidaknya dalam hidupku yang kurang beruntung ini masih ada orang yang mau perduli denganku. Tidak bisa kubayangkan seandainya Oki tidak datang di saat yang tepat, mungkin aku hanya akan menjadi seorang wanita yang terpuruk dalam kesedihan.“Besok temenin aku ke rumah sakit, ya. Nganterin surat gugatan cerai sama bair Mas Akbar tau kalau aku udah move-on,” tuturku dengan memandangnya yang masih meneguk minumannya.Seketika seluruh minuman yang ada di dalam mulutnya dia smburkan, lalu menata
Suara Di Bilik Iparku (40)**"Yaudah, nikah sama aku aja. Kamu mau?” katanya terlihat serius.Tubuhku membeku untuk sepersekian detik setelah Oki mengatakan hal itu padaku. Meskipun pastinya kata-kata itu hanya gurauan, tapi dia terlihat sangat serius ketika mengatakannya."Ki, kamu mabuk?"Oki terkekeh, lalu menggeleng dengan sangat yakin. "Enggak, aku nggak mabuk. Aku sadar. Suatu saat nanti kalau kamu udah lahiran, aku mau kok jadi calon ayahnya," tuturnya lagi dengan menatapku lekat, tapi kemudian Oki lantas mengalihkan pandangannya."Udah, nggak usah bahas gituan. Kita makan, yuk. Nanti jam istirahat keburu habis," katanya lagi dengan berlalu meninggalkanku.Aku pun lantas mengikutinya berjalan ke kantin, tapi sebelum itu aku berusaha mencari tahu sesuatu tentang Om David, bos besar kami."Dina, kamu liat bos nggak? Apa hari ini nggak ke kantor?" tanyaku saat bertemu dengan sekretarisnya.Dina menghentikan lang
Suara Di Bilik Iparku (41)**Kulangkahkan kakiku sembari mengusap perutku yang masih rata. Aku berjanji, meskipun dia harus lahir tanpa ayah tapi bisa kupastikan tidak akan kekurangan suatu apapun terutama kasih sayang.Terlebih dengan perkataan bapak mengenai ayah sambung dari bayi ini. Aku belum sempat memikirkannya walau Oki sudah berulang kali bergurau padaku.Aku tak pernah menganggapnya serius karena memang pasti dia hanya bergurau dan ingin membuat hatiku sedikit lebih tenang. Namun, terlepas dari bercanda atau seriusnya setidaknya dia masih sangat perduli denganku. Bahkan saat keadaanku hamil tanpa suami, dia justru terlihat lebih peduli denganku.Bukan berarti aku adalah seorang wanita pendendam. Namun, jika hati dan jiwaku digoncang seperti ini apa aku harus diam saja? Bukankah memberi pelajaran pada mereka yang sudah menyakitiku itu tidak masalah?"Astaga! Kamu kemana aja? Aku udah cari keliling rumah sakit. D
Suara Di Bilik Iparku (42)**"Anisa. Apa yang kamu katakan?" ucap Om David saat Tuan Hadi sudah keluar dari ruangannya.Aku tersenyum miring, lalu menduduki kursi yang semula di pakai oleh Tuan Hadi. "Sudah lah, Om. Katakan saja yang sebenarnya jika tidak ingin aku meneruskan masalah ini ke polisi. Cara Anda merebut perusahaan bapak itu kejam," ungkapku dengan menatapnya tajam.Om David tak berkutik, dia memilih ikut duduk di hadapanku. Aku tak tahu, bagaimana bisa orang sebaik dirinya berubah menjadi kejam seperti ini.Dia menghela nafas panjang, lalu mengusap wajahnya kasar. "Baiklah, aku salah. Aku berdosa," tandasnya membuatku tersenyum tipis.Tak lupa aku sudah menyalakan mode rekam dalam ponsel yang ada di saku bajuku, jadi jika dia berbuat yang tidak-tidak aku punya barang bukti yang kuat. Kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan, Om David harus mau mengakui kesalahannya detik ini juga."Jadi?" tanyaku berpura-pu
Suara Di Bilik Iparku (43)**Seharian ini usai perdebatanku dengan Oki, aku belum sama sekali bertemu dengannya meskipun jam pulang kantor sudah tiba. Dia yang biasanya menungguku sampai dapat taksi, hari ini tidak ada di sampingku. Entahlah, kenapa dia bisa berubah seperti itu. Padahal bagiku dia lah satu-satunya orang yang paling dekat denganku.Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah ketika taksi yang mengantarku telah berhasil membawaku sampai di rumah dengan selamat. Untung saja seharian ini perutku bisa diajak kerja sama, jadi tubuhku tidak terlalu letih.Rencananya, besok aku akan mengunjungi dokter kandungan untuk memeriksakan kondisi kehamilanku. Semoga saja anak yang ada di dalam kandunganku baik-baik saja meski segala cobaan tengah mendera hidupku."Sudah pulang, Nis." Ibu menyapaku saat kaki kananku baru saja melangkah ke dalam kamar.Segera kuhentikan langkahku, lalu tersenyum ke arah wanita yanh sudah melahirkanku itu. "Sudah
Suara Di Bilik Iparku (44)**Dadaku kembang kempis, kutatap geram punggung lelaki yang baru saja menjalani sidang bersamaku. Dia benar-benar tidak pantas di sebut sebagai manusia, dia sudah seperti hewan buas. Dengan sesuka hatinya memperlakukanku seperti ini. Bahkan kini, dia pun juga mencari masalah dengan Oki.Air mataku menetes, terlebih ketika kulihat sudut bibir Oki memar dan mengeluarkan darah segar. Tidak sepantasnya Oki mendapat perlakuan seperti ini, karena semua ini murni adalah masalah pribadiku dengan Mas Akbar."Maaf," ucapku dengan mengusap pelan darah yang menempel di sudut bibirnya.Ia sedikit meringis, mungkin lukanya benar-benar menimbulkan rasa sakit. "Maaf untuk apa?""Untuk ini," jawabku dengan mengusap lagi sudut bibirnya agar sisa darah itu dapat bersih."Aku yang seharusnya minta maaf. Aku meninggalkanmu sendiri di parkiran sampai pria laknat itu datang menyerang mentalmu lagi," tuturnya, tapi kali ini dia me
Suara Di Bilik Iparku (45)**"Bara. Ada apa? Kenapa nggak masuk?" tanyaku saat baru saja turun dari mobil dan di ikuti oleh Oki di belakangku.Bara lantas berbalik dan menatapku, wajahnya sedikit sayu, dia juga terlihat sedikit kurus. Kasian, sepertinya perpisahannya dengan Hanum berdampak besar pada hidupnya. Untung saja, aku tidak sejauh itu memikirkan pria seperti Mas Akbar."Enggak, takut ngrepotin. Di sini aja, lagian aku cuma bentar kok, Mbak," jawab Bara dengan beberapa kali melirik Oki yang ada di sampingku."Em ... Aku mau bicara, Mbak."Aku mengernyitkan dahi, "bicara? Yaudah bicara aja," kataku tak paham, karena biasanya dia juga langsung bicara meski masalah sepenting apapun."Tapi ... Berdua saja," lanjutnya membuatku semakin terheran dengan perkataannya.Ada apa ini? Bahkan dia pun sebenarnya juga sudah kenal dengan Oki. Lalu kenapa sepertinya secara tidak langsung ia menyuruh agar Oki pergi. Sepenting apa hal ya