Share

Bab 5: Bayang-bayang Bram

Blue dan Nala kelabakan. Mereka tak pernah menyangka akan bercumbu di depan seorang anak berusia 10 tahun. Apalagi Nala. Fakta kalau ia adalah seorang ibu, sangat mengganggunya. Padahal, mereka berpindah-pindah karena Nala sedang mencari kemana suaminya pergi.

“Anu, sebenarnya..”

“Tidurku terganggu karena suara pintu yang dibanting.” Bayu memotong kata-kata Nala. Ia tak tega melihat ibunya berusaha mencari alasan. “Sudahlah, aku mengerti apa yang terjadi.”

“Kau mengerti apa yang terjadi?” tanya Nala, heran. Bagaimana mungkin seorang anak imut-imut bisa terlihat tenang saat melihat dua orang yang seharusnya tidak bercumbu malah tertangkap basah.

Blue mendengus. “Kau tidak tahu kalau Bayu ini unik?”

Bayu mengangkat bahunya, seolah tak peduli. Ia berjalan mendekati tempat tidur, mencari celah di antara Nala dan Blue. Ia merapikan bantalnya, sebelum menidurinya. “Jadi, Bu. Kau bekerja dimana?”

“Ehem,” Nala berdeham, berusaha menghargai usaha Bayu dalam mengalihkan topik pembicaraan. “Ibu dapat pekerjaan di sebuah rumah sakit umum. Dan sepertinya, gajinya oke.”

“Kau serius membicarakan gaji?” ledek Blue.

Nala menatapnya jengkel. “Memangnya kenapa? Aku ini pekerja yang cakap. Sudah selayaknya aku dibayar dengan layak.”

Blue menarik selimutnya dan menutup diri. “Terserah kau saja. Asal kau tidak asal menusuk pasien hanya karena mereka bau durian saja, itu sudah oke.”

“Aku bukan ditempatkan di bidang suntik menyuntik, kau tahu!” sahut Nala. “Aku menjadi admin ruang. Tepatnya di laboratoriumnya.”

“Wah, tugasnya seperti apa?” tanya Bayu.

“Seperti mengecek formulir pemeriksaan pasien, menyortirnya sesuai prioritas darurat tidaknya, memberinya kepada analis, dan kalau hasilnya sudah jadi, ibu yang menulis hasilnya di komputer. Lalu, saat hasil sudah selesai dicatat, ibu mengirimkannya ke ruangan yang membutuhkan.”

“Terdengar mudah. Apa ada orang yang mau membayar tinggi untuk itu?”

Nala mencubit bahu Blue. “Ya, itu contoh sederhana tugasku. Tugas lain-lainnya masih ada. Dan mungkin saja akan kita ketahui kalau aku sudah mulai bekerja di sana.”

Bayu menepuk tangan Nala, menyuruhnya berhenti menyakiti Blue. “Bu, kalau begitu, apakah kita akan pindah hotel lagi?”

Nala menghela nafas panjang. Dari pertanyaan Bayu, sepertinya ia tampak lelah dan jengah dengan situasi yang terjadi. Anak seusianya harus merasakan pindah dari kota ke kota lain, tanpa sempat berinteraksi dengan teman sebayanya. Bahkan, Bayu tak pernah sekolah.

Blue dan Nala bergantian mengajari Bayu membaca, berhitung, dan menulis. Tapi, sistem pengajaran Blue sepertinya efektif.

Di usia Bayu yang ke lima, ia bahkan bisa menyelesaikan persamaan aljabar sederhana dan menghabiskan waktunya membaca buku Mein Kampf yang peredarannya sempat dilarang di beberapa negera di dunia. Ya, seperti yang bisa diduga, Blue memiliki salinan bukunya dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Bayu, sudah menamatkan keduanya.

Bahkan, di usianya yang ke tujuh, sandiwara Nala dengan Blue terbongkar. Sebenarnya, Nala berniat untuk membuat Blue berperan sebagai ayahnya Bayu, Bram.

“Kau pamanku, kan?”

Tentu saja Blue terpaku. Sekujur tubuhnya membeku. Ia sudah melihat bayangan kejam wajah Nala yang memukul lehernya dengan palu sampai mati dan berdarah-darah.

Blue tercengang. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa Bayu mendapatkan kesimpulan itu dengan mudah.

“Kalau reaksimu begitu, berarti benar.” kata Bayu, sekali lagi.

“Aku tidak bisa berbohong, maafkan aku.”

Bayu tergelak. “Bagaimana mungkin seorang mata-mata tidak bisa berbohong? Pantas saja penyamaranmu jelek.”

Blue terhenyak. “Apa kelihatannya begitu?”

Bayu tertawa kecil. “Tidak. Sebenarnya kalau itu orang lain, pasti tidak akan tahu. Tapi, ini karena aku yang mengenal ayah. Makanya aku bisa menyimpulkannya.”

“Kau kenal ayahmu?” Blue terheran-heran.

Bukankah Bayu ditinggalkan oleh Bram saat masih balita. Mustahil seorang balita memiliki ingatan yang jelas dan mantap akan ayahnya yang sudah lama tak ia temui lagi.

Bayu mengangguk. “Setidaknya begitu. Aku memperhatikan gerak-gerikmu yang aneh dan canggung. Ayahku di foto pernikahan jelas bertangan kidal. Orang memiliki kecenderungan memakai jam di tangan yang tidak dominan. Ayah memakai arloji di tangan kanannya. Itu berarti dia seorang kidal. Sedangkan kau adalah pengguna tangan kanan dan sering memakai jam di tangan kiri.”

Blue gelagapan. “Tidak mungkin begitu. Aku mungkin tidak nyaman mengenakan jam di tangan kiri saat pernikahanku, kan?”

Bayu menggeleng pelan. “Selain itu, rambut ayahku keriting keong. Kau lurus. Aku pernah melihatmu menata rambutmu. Tak mungkin seorang pria berpenampilan sedemikian rupa hanya untuk seharian berada di rumah. Aku menduga, kau melakukannya karena ingin memastikan kalau kau adalah ayahku, yang berambut keriting. Selain itu..”

“Selain itu?”

“Kita selalu memesan hotel dengan kamar paling bagus, yang memiliki dua kamar terpisah. Di kamarmu dan ibu selalu ada sofa. Dan setiap aku memegang sofanya di pagi hari, selalu terasa hangat, seperti baru saja dipakai. Aku menduga kalau kau tidur di sofa, dan ibu tidur di kasur, yang mengindikasikan kalau kalian pisah ranjang. Itu artinya, kau bukan ayahku yang sebenarnya. Tapi, cuping kalian memiliki bentuk yang sama selayaknya saudara kandung. Jadi, kalau kau bukan ayahku, besar kemungkinan kalau kau ini adalah pamanku.”

Blue tersenyum. Ia tampak puas. “Sudah kuduga dari anak seorang Sky. Kau ini otaknya luar biasa.”

Sejak saat itu, Bayu pun memanggil Blue dengan paman. Nala yang baru pulang dari berbelanja kebutuhan sehari-hari, sangat terkejut dan memeluk Bayu dengan erat.

Mungkin, karena tumbuh di lingkungan yang tidak biasa, Bayu menjadi anak yang tegar dan selalu mengatakan kalau ia baik-baik saja. Bayu memastikan agar ibu dan pamannya tak perlu berlebihan mengkhawatirkan dirinya.

Nala mengenang saat itu di benaknya, sambil mengelus rambut Bayu sedangkan Blue menepuk pahanya.

“Hei, jagoan. Kau punya mimpi tidak?” tanya Blue, mengalihkan pembicaraan. Ia melirik ke arah Nala yang sudah nyaris berkaca-kaca.

Bayu termenung sejenak. Ia tak pernah ditanyai hal-hal seperti itu.

Satu-satunya teman yang ia miliki hanya ibu dan pamannya, ia tak punya tempat untuk berbagi. Otaknya menjadi tumbuh dewasa lebih cepat karena ia berinteraksi dengan dua orang dengan perbedaan umur yang cukup jauh.

“Apa aku.. bisa memiliki hal-hal yang seperti itu?” tanya Bayu.

Hati Nala kembali teriris. Ia berusaha mencegah air matanya sekuat tenaga. “Memangnya kenapa? Bayu pasti punya keinginan yang ingin dicapai di masa depan, kan?”

Bayu terdiam lagi. Ia tak banyak menginginkan sesuatu. Ia sebenarnya ingin segera bertemu ayahnya. Tapi, kalau ia sudah bersatu dengan ayah, apa pamannya akan pergi?

Bagi Bayu, pamannya sudah seperti penguatnya. Ia sering menghabiskan waktunya bersama pamannya itu saat Nala pergi bekerja. Apa Bayu tidak bisa merasakan hidup di hotel lagi saat itu tiba? Bagaimana kalau Bayu tidak bisa bergaul dengan teman sebayanya saat akhirnya harus menetap di suatu tempat?

“Aku.. belum memikirkannya.” jawab Bayu. “Itu hal yang bagus, kan? Mungkin impianku adalah agar memiliki sebuah mimpi.”

Blue tertawa. “Yah, kau bisa memikirkan banyak hal sampai hari itu tiba. Lagipula..” Blue meninju bahu Bayu pelan. “ Ada banyak orang yang baru menyadari mimpinya saat mereka sudah dewasa. Kau tidak perlu terburu-buru, oke? Hidup ini cuma sekali. Cukup berjalan saja. Ikuti alurnya, tapi jangan sampai terseret arusnya.”

Bayu menatap pamannya dengan wajah riang. Nala melihat pemandangan itu dan seketika pikirannya agak tenang. Ternyata menjaga agar Blue tetap berada di dekatnya adalah sebuah ide yang cemerlang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dina0505
bayi pinter banget. ada tanda-tanda bakal jadi penerus sang ayah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status