Blue dan Nala kelabakan. Mereka tak pernah menyangka akan bercumbu di depan seorang anak berusia 10 tahun. Apalagi Nala. Fakta kalau ia adalah seorang ibu, sangat mengganggunya. Padahal, mereka berpindah-pindah karena Nala sedang mencari kemana suaminya pergi.
“Anu, sebenarnya..”“Tidurku terganggu karena suara pintu yang dibanting.” Bayu memotong kata-kata Nala. Ia tak tega melihat ibunya berusaha mencari alasan. “Sudahlah, aku mengerti apa yang terjadi.”“Kau mengerti apa yang terjadi?” tanya Nala, heran. Bagaimana mungkin seorang anak imut-imut bisa terlihat tenang saat melihat dua orang yang seharusnya tidak bercumbu malah tertangkap basah.Blue mendengus. “Kau tidak tahu kalau Bayu ini unik?”Bayu mengangkat bahunya, seolah tak peduli. Ia berjalan mendekati tempat tidur, mencari celah di antara Nala dan Blue. Ia merapikan bantalnya, sebelum menidurinya. “Jadi, Bu. Kau bekerja dimana?”“Ehem,” Nala berdeham, berusaha menghargai usaha Bayu dalam mengalihkan topik pembicaraan. “Ibu dapat pekerjaan di sebuah rumah sakit umum. Dan sepertinya, gajinya oke.”“Kau serius membicarakan gaji?” ledek Blue.Nala menatapnya jengkel. “Memangnya kenapa? Aku ini pekerja yang cakap. Sudah selayaknya aku dibayar dengan layak.”Blue menarik selimutnya dan menutup diri. “Terserah kau saja. Asal kau tidak asal menusuk pasien hanya karena mereka bau durian saja, itu sudah oke.”“Aku bukan ditempatkan di bidang suntik menyuntik, kau tahu!” sahut Nala. “Aku menjadi admin ruang. Tepatnya di laboratoriumnya.”“Wah, tugasnya seperti apa?” tanya Bayu.“Seperti mengecek formulir pemeriksaan pasien, menyortirnya sesuai prioritas darurat tidaknya, memberinya kepada analis, dan kalau hasilnya sudah jadi, ibu yang menulis hasilnya di komputer. Lalu, saat hasil sudah selesai dicatat, ibu mengirimkannya ke ruangan yang membutuhkan.”“Terdengar mudah. Apa ada orang yang mau membayar tinggi untuk itu?”Nala mencubit bahu Blue. “Ya, itu contoh sederhana tugasku. Tugas lain-lainnya masih ada. Dan mungkin saja akan kita ketahui kalau aku sudah mulai bekerja di sana.”Bayu menepuk tangan Nala, menyuruhnya berhenti menyakiti Blue. “Bu, kalau begitu, apakah kita akan pindah hotel lagi?”Nala menghela nafas panjang. Dari pertanyaan Bayu, sepertinya ia tampak lelah dan jengah dengan situasi yang terjadi. Anak seusianya harus merasakan pindah dari kota ke kota lain, tanpa sempat berinteraksi dengan teman sebayanya. Bahkan, Bayu tak pernah sekolah.Blue dan Nala bergantian mengajari Bayu membaca, berhitung, dan menulis. Tapi, sistem pengajaran Blue sepertinya efektif.Di usia Bayu yang ke lima, ia bahkan bisa menyelesaikan persamaan aljabar sederhana dan menghabiskan waktunya membaca buku Mein Kampf yang peredarannya sempat dilarang di beberapa negera di dunia. Ya, seperti yang bisa diduga, Blue memiliki salinan bukunya dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Bayu, sudah menamatkan keduanya.Bahkan, di usianya yang ke tujuh, sandiwara Nala dengan Blue terbongkar. Sebenarnya, Nala berniat untuk membuat Blue berperan sebagai ayahnya Bayu, Bram.“Kau pamanku, kan?”Tentu saja Blue terpaku. Sekujur tubuhnya membeku. Ia sudah melihat bayangan kejam wajah Nala yang memukul lehernya dengan palu sampai mati dan berdarah-darah.Blue tercengang. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa Bayu mendapatkan kesimpulan itu dengan mudah.“Kalau reaksimu begitu, berarti benar.” kata Bayu, sekali lagi.“Aku tidak bisa berbohong, maafkan aku.”Bayu tergelak. “Bagaimana mungkin seorang mata-mata tidak bisa berbohong? Pantas saja penyamaranmu jelek.”Blue terhenyak. “Apa kelihatannya begitu?”Bayu tertawa kecil. “Tidak. Sebenarnya kalau itu orang lain, pasti tidak akan tahu. Tapi, ini karena aku yang mengenal ayah. Makanya aku bisa menyimpulkannya.”“Kau kenal ayahmu?” Blue terheran-heran.Bukankah Bayu ditinggalkan oleh Bram saat masih balita. Mustahil seorang balita memiliki ingatan yang jelas dan mantap akan ayahnya yang sudah lama tak ia temui lagi.Bayu mengangguk. “Setidaknya begitu. Aku memperhatikan gerak-gerikmu yang aneh dan canggung. Ayahku di foto pernikahan jelas bertangan kidal. Orang memiliki kecenderungan memakai jam di tangan yang tidak dominan. Ayah memakai arloji di tangan kanannya. Itu berarti dia seorang kidal. Sedangkan kau adalah pengguna tangan kanan dan sering memakai jam di tangan kiri.”Blue gelagapan. “Tidak mungkin begitu. Aku mungkin tidak nyaman mengenakan jam di tangan kiri saat pernikahanku, kan?”Bayu menggeleng pelan. “Selain itu, rambut ayahku keriting keong. Kau lurus. Aku pernah melihatmu menata rambutmu. Tak mungkin seorang pria berpenampilan sedemikian rupa hanya untuk seharian berada di rumah. Aku menduga, kau melakukannya karena ingin memastikan kalau kau adalah ayahku, yang berambut keriting. Selain itu..”“Selain itu?”“Kita selalu memesan hotel dengan kamar paling bagus, yang memiliki dua kamar terpisah. Di kamarmu dan ibu selalu ada sofa. Dan setiap aku memegang sofanya di pagi hari, selalu terasa hangat, seperti baru saja dipakai. Aku menduga kalau kau tidur di sofa, dan ibu tidur di kasur, yang mengindikasikan kalau kalian pisah ranjang. Itu artinya, kau bukan ayahku yang sebenarnya. Tapi, cuping kalian memiliki bentuk yang sama selayaknya saudara kandung. Jadi, kalau kau bukan ayahku, besar kemungkinan kalau kau ini adalah pamanku.”Blue tersenyum. Ia tampak puas. “Sudah kuduga dari anak seorang Sky. Kau ini otaknya luar biasa.”Sejak saat itu, Bayu pun memanggil Blue dengan paman. Nala yang baru pulang dari berbelanja kebutuhan sehari-hari, sangat terkejut dan memeluk Bayu dengan erat.Mungkin, karena tumbuh di lingkungan yang tidak biasa, Bayu menjadi anak yang tegar dan selalu mengatakan kalau ia baik-baik saja. Bayu memastikan agar ibu dan pamannya tak perlu berlebihan mengkhawatirkan dirinya.Nala mengenang saat itu di benaknya, sambil mengelus rambut Bayu sedangkan Blue menepuk pahanya.“Hei, jagoan. Kau punya mimpi tidak?” tanya Blue, mengalihkan pembicaraan. Ia melirik ke arah Nala yang sudah nyaris berkaca-kaca.Bayu termenung sejenak. Ia tak pernah ditanyai hal-hal seperti itu.Satu-satunya teman yang ia miliki hanya ibu dan pamannya, ia tak punya tempat untuk berbagi. Otaknya menjadi tumbuh dewasa lebih cepat karena ia berinteraksi dengan dua orang dengan perbedaan umur yang cukup jauh.“Apa aku.. bisa memiliki hal-hal yang seperti itu?” tanya Bayu.Hati Nala kembali teriris. Ia berusaha mencegah air matanya sekuat tenaga. “Memangnya kenapa? Bayu pasti punya keinginan yang ingin dicapai di masa depan, kan?”Bayu terdiam lagi. Ia tak banyak menginginkan sesuatu. Ia sebenarnya ingin segera bertemu ayahnya. Tapi, kalau ia sudah bersatu dengan ayah, apa pamannya akan pergi?Bagi Bayu, pamannya sudah seperti penguatnya. Ia sering menghabiskan waktunya bersama pamannya itu saat Nala pergi bekerja. Apa Bayu tidak bisa merasakan hidup di hotel lagi saat itu tiba? Bagaimana kalau Bayu tidak bisa bergaul dengan teman sebayanya saat akhirnya harus menetap di suatu tempat?“Aku.. belum memikirkannya.” jawab Bayu. “Itu hal yang bagus, kan? Mungkin impianku adalah agar memiliki sebuah mimpi.”Blue tertawa. “Yah, kau bisa memikirkan banyak hal sampai hari itu tiba. Lagipula..” Blue meninju bahu Bayu pelan. “ Ada banyak orang yang baru menyadari mimpinya saat mereka sudah dewasa. Kau tidak perlu terburu-buru, oke? Hidup ini cuma sekali. Cukup berjalan saja. Ikuti alurnya, tapi jangan sampai terseret arusnya.”Bayu menatap pamannya dengan wajah riang. Nala melihat pemandangan itu dan seketika pikirannya agak tenang. Ternyata menjaga agar Blue tetap berada di dekatnya adalah sebuah ide yang cemerlang.Bayu sudah terlelap saat senja datang. Nala menghisap rokoknya di balkon kamar sambil melihat lampu kota bertebaran. Bau lembab mulai memasuki paru-parunya, berlomba dengan asap rokok yang menusuk. Angin menerbangkan rambutnya. Nala berusaha tak memikirkan apapun. Ia berjuang keras untuk menyuruh otaknya beristirahat. Ada banyak hal yang sudah terjadi belakangan ini, membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam semalam, sepuluh tahun yang lalu.Nala berdiri anggun, memantapkan posisi dan bernafas tanpa suara, menikmati petang di ibukota. Meskipun dalam kondisi tenang, benaknya tetap berteriak mengagungkan sebuah nama.Bram.“Nala..”Nala menoleh. Blue membawa dua cangkir teh panas dan menaruhnya di meja terdekat. Ia menyalakan rokoknya, dan berjalan ke tempat Nala berdiri.“Hari ini makan malamnya apa?”“Sepertinya menu khususnya kepiting. Aku alergi makanan laut, jadi kita pesan layanan kamar saja.”Sebenarnya, Nala tahu kalau hotel pasti sudah menyiapkan menu
“Hoahmm..”Nala meregangkan tubuhnya. Tangannya mengenai kepala Bayu yang sudah lebih dulu terjaga dan memilih membaca novel detektif.“Pagi sayangnya akuuu..” Nala menarik pipi Bayu dan mengecupnya.Bayu menarik diri. “Ibu bau alkohol.”Mendengar hal itu, Nala menghembuskan nafas ke arah telapak tangannya. “Ha.. Ha.. Wah, iya. Ibu semalem mabuk, ya?”“Kayaknya, sih, begitu.”Nala menekan kepalanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlupakan, entah apa. “Blue mana?”“Paman sudah pergi daritadi.”“Eh? Kemana?”Bayu mengangkat bahunya. “Mencari hotel baru, mungkin. Atau ke klub.”Nala tertawa. “Mana ada klub yang buka pagi-pagi?”Bayu melirik ibunya yang tampaknya masih setengah terjaga. Bayu juga membantu Nala membersihkan kotoran di kedua matanya. “Aku tidak bilang paman pergi pagi-pagi. Kurasa dia belum pulang sejak kemarin.”“Kenapa?”“Karena kamar mandinya kering saat aku pakai subuh tadi, dan paman sudah tidak ada. Kupikir, antara dia pergi buru-buru tanpa mandi, atau memang bel
Dalam waktu kurang dari seminggu, Nala, Bayu, dan Blue, sudah menemukan rumah layak huni yang dekat dengan rumah sakit tempat Nala bekerja. Mereka memilih perumahan yang tidak terlalu ramai, dan dekat dengan fasilitas umum agar tidak terlalu sering keluar lingkungan. Rumah mereka dua tingkat, dengan bagasi dan taman lebar yang menjadi satu dan memiliki banyak kaca di bagian belakang. Dindingnya cukup tinggi, membuat suasana di dalam rumah cukup sejuk, didukung dengan sirkulasi udara yang bagus. Lantai bawah rumah ini terdiri dari ruang tamu yang juga bisa menjadi ruang keluarga, kamar mandi kecil, dan dapur. Sedangkan di lantai atas terdapat satu kamar kecil, satu kamar mandi dan satu kamar besar dengan kamar mandi dalam. Luas tanahnya tak begitu besar, sekitar separuh luas tanah rumah Nala dan Bram sepuluh tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kota tempat tinggal Nala dulu memang kota kecil yang harga tanahnya cukup murah. Sedangkan kota ini adalah ibukota negara, ya
Nala, Bayu, dan Blue, duduk melingkar di atas tempat tidur. Bayu memeluk boneka serigala kecilnya. Kata Nala, itu satu-satunya benda yang dibelikan ayahnya, Bram, yang bisa dibawa. Mereka bertiga tampak serius menyusun rencana, membahas soal peran apa yang akan mereka lakukan: menjadi ‘keluarga’ sungguhan.“Kapan kau mulai masuk kerja?” tanya Blue.Nala menempelkan telunjuknya ke dagu, berpikir. “Kupikir mulai minggu depan. Pembukaan rumah sakit itu sendiri masih satu bulan lagi. Sepertinya seluruh karyawan masuk lebih awal untuk mempersiapkan segala hal sebelum rumah sakit benar-benar menerima pasien.”“Sejauh yang kau tahu, rumah sakit ini punya berapa poli?”Nala menghitung dengan jari-jarinya. “Seingatku, aku melihat ada tujuh papan nama poli. Kandungan, bedah, penyakit gigi dan mulut, orthopaedi, paru, penyakit dalam, dan satu papan terbalik jadi aku tidak tahu apa yang tertulis.”“Poli anak.” sahut Bayu. “Poli kandungan selalu dibar
Saat ini, Nala sedang mengendarai sebuah motor matic hitam yang sudah dimodifikasi sehingga suara knalpot dan mesinnya tak terdengar. Sebuah bagasi juga sudah dipasang di belakang jok untuk memudahkannya membawa beberapa barang penting, misalnya saja sebuah senapan. Kecepatannya, setara dengan mesin baru yang sanggup melaju kencang 3 detik setelah mesin dinyalakan. Sedangkan Blue mengendarai sebuah mobil SUV tua 4 pintu berwarna abu gelap, dengan ban yang tinggi. Meskipun keluaran lama, interior mobil tersebut sudah dimutakhirkan dengan teknologi terbaru.Klik!Blue sudah menghubungkan sambungan telepon satelit dengan Bayu dan Nala ke mobilnya. Ia juga sudah menyalakan layar, yang terhubung dengan tablet yang diutak-atik Bayu.“Roger!” seru Blue. “Sudah kau dapatkan plat nomernya?”“Roger!” Bayu, dikelilingi banyak orang, memantau CCTV. “JK 190 L. Pelaku sepertinya sudah keluar dari kompleks.”“Roger!” seru Blue dan Nala, bergantian.Bayu mengutak-atik tabletnya. Tampak ia sudah bisa
Bayu dan Aldo menyambut Nala dan Blue. Aldo sudah tampak riang. Ia nyaris melompat ke pelukan Blue, kalau tidak ditarik oleh Bayu. Tampaknya, suasana penggrebekan penculik menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya.“Ibu!” seru Bayu. Ia berlari menuju pelukan Nala. Nala bergeming, karena tidak biasanya Bayu bersikap manja. Tapi, ia segera sadar kalau gerak-geriknya sekarang sudah dipantau oleh beberapa pasang mata.“Nala..” kata Sarah. Ia tampak takjub, setengah tak percaya. “Kau tidak apa-apa, kan?”“Kurasa begitu..”Blue berdeham, seolah memberi isyarat kepada Nala agar bersikap sok lemah dan tak berdaya.Nala berhasil menangkap maksud terselubung Blue. “Eh, oh.. ya..” Ia menekan dahinya dan berjalan agak sempoyongan. Bayu memegangi Nala setengah hati, karena tahu ibunya payah saat diminta berakting. “A.. aku agak dehidrasi..”Beberapa orang mengerubungi Nala, namun dengan cekatan, Blue mengambil alih. Ia menyandarkan ke
Ini adalah hari pertama Bayu menginjakkan kaki di sekolah pertamanya. Ia, bersama Nala, tidak ada yang jago berakting seperti Blue. Setidaknya, Bayu masih jago menjaga mimik wajahnya agar tidak terdeteksi lawan bicaranya. Kalau sedang dalam keadaan bermain peran, Bayu tidak banyak bicara dan bersikap manja. Ia menggelayutkan badannya ke lengan Nala, seperti yang ia lakukan sekarang.Bayu sudah memakai seragam merah putih yang sudah dicarikan Blue beberapa hari yang lalu. Karena tubuh Bayu agak tinggi dari siswa kebanyakan, Blue memilih menjahitkannya ke seorang kenalan. Saat ini, Bayu tampak seperti bocah SMP yang tinggal kelas dan terpaksa mengulang kelas 4 SD lagi tahun ini.“Apa kurikulum anak SD sekarang?” bisik Nala.“Kalau aku tidak salah ingat, untuk matematika masih membahas KPK dan FPB. Operasi hitung campuran, mengukur sudut sederhana dan pecahan.”Nala terganggu dengan kata ‘sederhana’ yang diucapkan oleh Bayu. “Ibu tahu Bayu sudah meng
Buk!Nala menutup pintu mobil dengan kesal. Ia sudah mencium Bayu secukupnya sebelum memutuskan pergi dari cengkraman Bu Anggi, kepala sekolah narsistik.“Ada apa? Kau habis bertemu siapa?” tanya Blue.Nala merebut botol kecil berisi wiski dari tangan Blue, dan menegaknya sekaligus.“Hei! Itu bekal makan siangku nanti.”“Nanti kuganti.” tukas Nala. “Kau yang benar saja. Masa’ tidak menyelidiki tempat ini terlebih dulu?”Blue menghela nafas panjang. Kali ini, ia tahu permasalahannya. “Kau sudah tahu ya?”“Tentang apa? Tentang sekolah ini milik Elang Grup, atau tentang kepala sekolah yang narsis?”“Eh? Apa?”“Lupakan!” sergah Nala. “Kenapa tidak kau beritahu kami, setidaknya aku, kalau sekolah ini juga antek-antek Elang Grup?”“Maafkan aku. Kupikir lebih nyaman kau tidak tahu.”“Aku jauh dari kata nyaman, kau tahu!” Nala bergidik mengingat kembali sikap penuh penekanan Bu Anggi. “Apalagi