Bara meremas rambutnya kasar.
"Cintya, tenangkan hatimu dulu!
"Kenapa kamu tega mendua, Mas? Kenapa?" raung Cintya kehilangan kendali. Dilemparnya bantal ke arah Bara. Bara tak menangkis, dia tahu istrinya sedang emosional. Dilemparkannya barang yang ada di depan matanya
"Cintya, aku sudah izin padamu, dan kamu mengizinkan. Apakah aku salah?" Bara mencari pembelaan
Memori Cintya kembali ke masa, saat Bara meminta izin menikah lagi. Bodohnya, Cintya mengiyakan, karena pikirnya Bara hanya bercanda. Ternyata, Bara berpikiran lain. Dia benar-benar mencarikannya madu beracun untukny
"Cintya, mulai sekarang, kami akan tinggal di sini. Bertiga, agar kamu ada teman di kala aku tinggal keluar kota," alibinya
"Bukankah selama ini, aku selalu sendiri, waktu kamu keluar kota?" sinis Cintya
"Apa kamu berani melanggar ketetapan Allah?" tanya Bara sok agamis. Cintya memutar bola mata malas
"Aku tidak menyangkal, tapi cara kamu yang salah. Poligami itu harus atas seizin istri pertama," lirih Cintya, namun masih terdengar di telinga Bara. "bahkan, Nabi tidak menempatkan istri-istrinya satu atap Mas. Jangan berkedok sunnah, lantas kamu berbuat seenaknya
"Kamu sudah mengizinkan, bukan?
"Kamu tidak bisa membedakan antara serius dan bercanda, Mas? Tidak ada satupun wanita yang bersedia dimadu, Mas." Cintya berkata liri
Bara kembali mengembuskan nafas kasa
"Hatimu belum terbuka, jadi merasa berat. Bukankah Nabi juga poligami? Aku berusaha mengikuti sunnahnya, Cintya," jelas Bara mencoba meyakinkan istrinya
Cintya menggeleng tak percaya
"Mas ... Mas ..., kamu mengatasnamakan agama demi sebuah nafsu. Sunnah Nabi itu tidak hanya poligami. Masih banyak sunnah yang lain tanpa menyakiti perasaan orang lain
"Aku punya alasan, kenapa sampai poligami. Cobalah belajar ikhlas, Cintya!" bujuk Bara
Cintya memejamkan mata. Tidak mudah berdebat dengan Bara
"Aku akan ikhlas, kalau kamu memilih salah satu di antara kami
"Tidak akan," tegas Bara
"Jangan egois kamu, Mas!
Suasana di kamar mendadak hening. Bara sangat terkejut dengan permintaan istri pertamanya. Di saat Bara sedang sibuk dengan pikirannya, Cintya melangkah ke arah lemari kayu berwarna putih. Di keluarkannya koper yang masih baru berwarna merah. Koper itu, rencananya digunakan untuk pulang kampung lebaran ini. Namun, Cintya tak perlu menunggu lebaran
"Loh, Cintya, buat apa koper itu?" Bara mulai pani
"Aku mau pulang ke Jawa.
"Cintya, jangan gegabah. Jangan mengambil keputusan saat dalam emosi!
Cintya tak peduli. Dia tetap memasukkan baju-bajunya tanpa disusun terlebih dulu. Tak lupa, diambilnya beberapa dokumen penting
"Cintya, aku mohon!" Bara memelas, berharap istrinya luluh
Lagi, Cintya tak memperdulikan Bara. Hingga koper itu penuh, dia masih enggan bicara. "Cintya." Bara seolah mengemis pada Cintya."Kamu pilih aku atau Aisya?" tukas Cintya tajam. Bara meraup wajahnya kasar. Dia tidak bisa memilih salah satunya. Keduanya sangat berarti bagi Bara.Bara langsung mendekap Cintya. Biasanya, Cintya akan luluh saat Bara memperlakukannya dengan manis. Bara tak peduli, meskipun Cintya berontak minta lepas. Justru, Bara semakin menjadi. Didekati wajah istrinya itu, lalu menghujaninya dengan ciuman. "Lepaskan aku!" Cintya mencoba berontak. "Berjanjilah, kamu tidak akan meminta berpisah lagi!" Paksa Bara.Cintya menggeleng. Dia tidak ingin sakit hati terlalu dalam lagi. Baginya, dengan melepas Bara, setidaknya tidak akan menambah sakitnya."Kumohon, lepaskan aku!" Air mata mulai mengalir membasahi pipi putihnya. Dia merasa jijik, ketika Bara menciuminya. Cintya selalu terbayang, Bara sekarang bukan hanya miliknya. Bahkan, baru tadi malam Aisya dan Bara melak
Bara terbangun dari tidur lelapnya. Dikenakannya baju yang tadi berserakan, lalu langsung berjalan ke kamar mandi. Diputarnya knop, namun pintu terkunci dari dalam."Cintya, masih lama?" teriak Bara. Bara berjalan ke arah balkon, sambil menunggu Cintya keluar kamar mandi. Dia teringat, kalau ada Aisyah di kamar tamu. Bergegas ia turun, mencari istri mudanya. Dengan setengah berlari, dia menuruni anak tangga. Pikirannya berkecamuk karena telah meninggalkan Aisya cukup lama. KrietPintu kamar utama dibuka. Disapunya penjuru kamar, namun tak menemukan Aisya."Aisya," panggil Bara.Tak ada sahutan. Bara mengecek di kamar mandi yang terletak di kamar, tapi nihil. "Ke mana kamu, Aisya?" gumam Bara sambil melangkah keluar. Dilewatinya ruang tamu, lalu menuju ke ruang tengah. Bara kembali ke kamarnya, untuk mengambil baju. Dia ingin segera mandi. "Cintya, belum selesai?" teriak Bara di depan pintu. Sudah tidak ada gemericik air, tapi Cintya tak kunjung keluar. Kandung kemihnya sudah pe
"Aisya, tolong buatkan teh panas, dan bawa ke kamar atas!" perintah Bara. Tanpa menunggu persetujuan Aisya, Bara kembali berlari menaiki anak tangga. Sementara Aisya langsung menuang air panas dari dispenser, lalu melakukan apa yang Bara perintahkan.Bara membetulkan selimut tebal yang membungkus Cintya. Telapak kakinya dibalur minyak kayu putih cukup banyak. Setelah dirasa cukup, Bara kembali menutup selimut. Dengan tergesa, Aisya menaiki tangga. Tangan kanannya memegang gelas berisi teh panas. PrangBunyi benda jatuh mengagetkan Bara maupun Cintya. Aisya tak sengaja menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Pemandangan di depan matanya sungguh menyakitkan. Bara tengah memeluk Cintya. "Aisya," panggil Bara. Bara langsung melepas pelukan pada Cintya. "Maaf." Aisya berkata lirih. Netranya berkabut. Detik itu juga, cairan bening lolos dari mata indahnya. Bara langsung menghampiri Aisya yang berjongkok membersihkan pecahan beling. Tangannya kepanasan, terkena air teh. Tak sengaja, jarin
"Baiklah, kita bicarakan saja di bawah. Oh iya, aku minta tolong buatkan kami teh hangat!" perintah Cintya seraya meninggalkan mereka berdua. Antara sedih dan bingung, Aisya akhirnya pergi. Bara meraup muka kasar. Dia bingung, siapa yang harus ditemani sekarang. Mau menemani Cintya, pasti Aisya cemburu. Dia tahu, pasti Aisya sedang menahan luka yang dibuat Cintya. Dia kembali meremas rambutnya kuat. Kepalanya pusing. Poligami yang menurutnya jalan terbaik, justru membuat kepalanya serasa pecah. Cintya melangkah keluar kamar mengenakan jaket tebal, yang dibelinya saat jalan-jalan ke kota Batu, Jawa Timur. Jaket ini hadiah ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Cintya menuruni tangga tanpa menggubris Bara. Seolah suaminya tak ada di situ. Bara tahu, istrinya masih kesal, makanya dia tidak mencoba merayunya. Cintya langsung duduk di sofabed yang menghadap televisi berukuran cukup besar. Meskipun televisi itu jarang di tonton, karena kesibukan masing-masing. Bara yang sibuk denga
Cintya tak percaya, suaminya bisa semarah itu. Sementara Aisya, menunduk ketakutan melihat suaminya sangat marah. Selama ini, Bara tak pernah marah kepadanya. Cintya mendadak diam. Dia begitu terkejut melihat Bara semurka ini. Namun, bukan Cintya namanya, kalau mengalah begitu saja. Baginya, Bara yang salah. "Aku kepala rumah tangga di sini, tolong hargai aku!" Bara tak semarah tadi. Dia sadar telah melakukan kesalahan besar dengan membentak Cintya. Padahal Cintya paling tidak bisa dibentak. Cintya enggan menjawab. Hatinya terlanjur sakit. "Cintya, aku menikahi Aisya bukan semata karena nafsu. Aku ingin menolongnya." Bara masih berusaha memberi pengertian ke Cintya. Cintya mengambil gelas berisi cairan teh beraroma Melati, lalu menyesapnya perlahan. Dia tak lantas meletakkan kembali, meskipun sudah selesai. Diremasnya cangkir bermotif bunga teratai dengan kuat. "Aku tak mungkin menyakiti hatimu, Cintya. Bukankah kita menginginkan hadirnya anak? Aku yakin, Aisya jalan keluar dari
Cintya mulai beraktivitas seperti biasa. Meskipun separuh jiwanya ada yang hilang, namun tak mempengaruhi kinerjanya sebagai dosen sekaligus wanita karir. Kini dia sengaja lebih menyibukkan diri di luar. Bahkan, di hari libur pun dia sengaja keluar bersama teman-temannya, untuk mengurangi rasa penat. Seperti sekarang ini, dia sengaja ke villa tanpa mengajak Bara. Di akhir pekan, biasanya villanya selalu ramai pengunjung. Tak sampai setengah jam, mobilnya sudah terparkir rapi di pelataran The Citra vila. Vila yang dia rintis dengan Bara kini sudah mulai ramai pengunjung. Deburan ombak disertai angin sepoi-sepoi menerbangkan ujung pasminanya. Sejenak, Cintya memejamkan mata, karena di dalam otaknya kembali terlintas peristiwa pahit kala itu. Cintya menghela nafas pelan.Cintya melangkah, melewati halaman yang sudah dipenuhi pasir pantai. Dulu, dia dan Bara selalu menghabiskan akhir pekan di sini. Hatinya kembali sakit, saat mengingatnya. Cintya memejamkan mata, mencoba berdamai dengan
Selesai menurunkan barang, pak Udin lantas menyelesaikan tugasnya, membersihkan halaman. Sementara itu, Cintya masuk ke dalam kamar. Dibukanya jendela yang langsung menghadap ke pantai. Semilir angin memainkan anak rambutnya. Lama sekali dia termenung. Beberapa kali dia mengembuskan nafas berat. Banyak sekali yang mengganjal di pikirannya. Dipandangnya kasur di mana dia dan Bara sering memadu kasih di situ. Lagi-lagi hatinya nyeri, mengingat kini Bara bukan hanya miliknya. "Permisi Bu, saya antar es kelapa muda." Suara pak Udin membuyarkan angannya. Cintya lantas menyematkan pasminanya. Seperti biasa, tanpa diminta pak Udin selalu menyiapkan es kelapa muda saat ia berkunjung ke sini. Diletakannya satu butir kelapa muda di atas meja. Pohon kelapa memang banyak tumbuh di halaman belakang vila. Jadi tak heran, stok kelapa muda tak pernah habis kalau hanya dinikmati sendiri. Kadang, kalau banyak kelapa yang sudah tua, Pak Udin akan menjualnya di Pasar Sandana. Cintya maupun Bara sudah
"Pak Udin tahu sesuatu tentang Aisya 'kan?" cecar Cintya. Udara pantai mulai terasa panas, sepanas hatinya sekarang. Cintya merasa dimainkan oleh keadaan. Cintya mulai geram. Pak Udin meremas ujung kaos, yang bertuliskan nama partai di punggungnya. Dia tak berani menatap Cintya. Dia bingung apa yang harus dilakukan. Tak mungkin juga harus berkata jujur, karena akan menyakiti perasaan majikannya. Bara juga sudah meminta untuk tidak mengatakan apapun soal ini. "Bapak tahu 'kan, siapa itu Aisya?" Cintya tak sabar, karena pak Udin hanya diam saja. Pak Udin semakin bingung. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. TinAda yang membunyikan klakson mobil. Cintya dan pak Udin kompak menoleh. Ada satu mobil hitam mengkilat berhenti tak jauh dari pintu gerbang. "Saya permisi dulu, Bu." Dengan nafas lega, pak Udin meninggalkan Cintya. Dia bergegas membuka gerbang dan mempersilakannya masuk. Rupanya tamu yang akan menginap datang lebih awal. Untung saja pak Udin selalu membersi