"Kenapa saat hatiku sudah memilihmu jusrtu kau yang menghilang?" gumam Nauma sambil berjalan mencari taksi.Rumah Azlan yang ia datangi ternyata sudah dijual, tapi ia tak putus asa. Nauma mengunjungi Strar Entertaint, agensi tempat Azlan bekerja. Nauma pikir Azlan masih menjadi artis dan bekerja dengan Agnes."K-kamu Nauma?" tanya Fero yang tak sengaja melihat Nauma memasuki lobi kantornya."Ya, ini aku. Sudah lama kita tak bertemu," balas Nauma."Kau sudah berubah sekali, semakin cantik dan mempesona. Oh ya, untuk apa kau ke sini?" tanya Fero."Apakah Azlan ada di sini? Aku mencari ke rumahnya tapi ia tak tinggal di sana lagi, nomor ponselnya pun sudah tak aktif lagi," tanya Nauma.Fero mengembuskan napas saat mendengar pertanyaan Nauma. "Dia sudah tak bekerja di sini lagi, sekarang dia tak memiliki pekerjaan, semua harta yang diberikan Mr. Jhon pun sudah diambil dan dia sudah tak memiliki apapun. Tapi untuk apa kau mencarinya, bukankah kau sudah menikah dengan Mr. Jhon?" tanya Fero
“Cepat keluar!! Nauma, bangun dong! Bantu ibu masak. Sekalian itu suami kamu suruh kerja, jangan tidur aja! Masa udah jadi kepala keluarga malas-malasan sih!" teriak Ibu dengan nada membentak, dan dia terus saja menggedur pintu kamar mereka. Baru juga ingin bermanja dengan sang istri tercinta, tetapi Ibu mertua Azlan sudah menggedur kamar mereka dengan sangat kencang. Saking kencangnya, engsel pintu hampir terlepas. “Iya, Bu!” balas Nauma dengan berteriak. “Ibu kamu masih tidak suka ya Neng sama aku?” “Akang jangan mikir macam-macam ya, Ibu memang orangnya seperti itu, aku keluar dulu takut Ibu tambah marah.” Nauma keluar dengan langkah tertatih, mungkin masih ada rasa nyeri akibat pergulatan mereka semalam. “Ada apa sih, Bu? Jangan bicara keras-keras ih, kasian Akang Azlan, baru bangun tidur juga,” ucap Nauma pada ibunya saat baru membuka pintu. “Ngapain sih, kamu kasian sama suami kayak gitu? Dasar suami malas! Mana janji dia yang bilang mau cari kerja? Cuman segitu aja bicara
“Ambil yang banyak airnya! Buat mandi juga!” pinta Ibu lagi. Azlan hanya mengembuskan napas menerima perintahnya, mau tidak mau Azlan harus melakukan apa yang diperintahkan Ibu mertuanya. “Iya Bu!” balas Azlan sambil berjalan ke arah sumur. “Kamu jadi ‘kan nyari pekerjaan hari ini?!” tanya Ibu sarkas. “Iya Bu, jadi, nanti setelah sarapan aku langsung pergi nyari kerja.” “Kerja dulu ngasilin uang baru makan! Ngasih uang nggak malah enak-enakan makan! Yang ada makanan di rumah ini habis karena nampung pengangguran seperti kamu!" “Apaan sih Bu ngomongnya! Perhitungan banget sama anaknya sendiri,” bela Nauma. “Anak?! Siapa?! Dia?! Nggak sudi Ibu menganggap dia anak, pokoknya Ibu nggak mau tahu, tidak ada uang tidak ada makanan untuk kamu!” “Ini uangnya, aku yang ngasih ke Ibu, ini juga uang Akang kok,” ucap Nauma memberikan uang yang dia punya. “Ini uang kamu bukan uang dia, kalau sudah diberikan ke kamu, itu tandanya ini uang kamu, Ibu maunya uang dari hasil kerjanya!” “Sama saja
“Sudah jangan banyak protes, suami pengangguran saja dibela terus!” Mau tidak mau mereka menuruti permintaan Ibu, Azlan langsung ke kamar dan mengganti pakaiannya. Azlan mengenakan kaos putih polos dan celana denim pendek, begitu dia melihat ke cermin, Azlan terpesona dengan ketampanannya sendiri. Sontak Azlan pun langsung menyugar rambutnya ke belakang dan tersenyum sendiri di cermin. “Hehehe, ternyata gue tampan sekali, pantas saja Nauma tergila-gila, menantu ganteng gini kok dihina? Harusnya bangga dong,” gumamnya sambil memegang dagu. “Kang udah siap belum? Nanti keburu Ibu marah-marah lagi,” ucap Nauma yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. “Ganteng nggak Neng?” “Ganteng banget Kang, dah yuk Kang berangkat, jangan ngaca terus, nanti kacanya jatuh cinta lagi sama Akang,” ledek Nauma. “Bisa aja ngeledeknya Neng, yuk ah berangkat,” ajaknya sambil merangkul pundak Nauma. Dan melangkahkan kaki ke parkiran motor. “Akang jangan ganteng-ganteng ya, di sini banyak janda kegatelan
"Apa lo bilang?!" bentak Azlan. Amarahnya sudah diambang batas, pria yang ada di hadapannya ini harus diberi pelajaran, agar mulutnya berhenti berucap. Azlan melontarkan tinju ke wajah Aldo, dan itu memnbuat Aldo terpental ke belakang. Bukkkk bukkk bukkk “Mampus lo! Lo pikir Lo siapa bisa merendahkan gue kayak gitu?! Hah?!” bentak Azlan setelah menghajarnya. “Akang! Sudah Kang! Ayo kita pulang saja,” ajak Nauma. Nauma menarik tangan Azlan hingga mereka sampai di samping motornya. “Kenapa kamu belain dia Neng?” tanya Azlan dengan nada kesal. “Aku tidak membela dia Kang, aku hanya tidak mau ada keributan di sini, aku takut malah Akang yang dikeroyok oleh orang pasar, Bapaknya Aldo itu preman di pasar ini Kang,” bisik Nauma. “Serius Neng? Yaudah yuk buruan pergi, kenapa kamu nggak bilang dari tadi sih?” Kalau urusannya sudah dengan preman pasar jelas Azlan mundur, dia tidak punya keahlian bela diri. Belajar saja hanya sebentar, sebelum almarhum bapakanya meninggal. Setelah mengeta
“Aku tanya kepada Akang, apakah Akang yakin bisa membawa keluarga kecil kita menjadi keluarga yang bahagia? Apakah Akang yakin kalau Akang bisa menghidupi keluarga kecil kita?” Nauma malah balik bertanya pada Azlan, jelas Azlan yakin kalau dia mampu membahagiakannya. Apapun akan dilakukan demi membuat Nauma bahagia, pekerjaan apapun akan dilakukan asalkan halal. “Tentu saja aku yakin, aku yakin bisa membahagiakan kamu, pekerjaan apapun akan aku kerjakan asal ada kamu yang selalu tersenyum kepadaku,” balasnya. “Kalau Akang yakin, maka aku juga yakin Kang, aku juga bisa membantu Akang mencari uang, siapa tahu di kota nanti ada yang membuka lowongan pekerjaan untuk wanita yang sudah menikah, jadi buruh cuci pun aku rela.” “Tidak! Aku tidak setuju kalau kamu bekerja, biar aku saja yang mencari uang, aku menikahi kamu bukan untuk membuat kamu sengsara, sudah ya Neng, kamu yakin saja sama aku. Aku janji, kalau aku akan terus membuat kamu bahagia.” Azlan tidak setuju dengan apa yang
"Tentu saja saya mau, mba. Ini adalah kesempatan emas buat saya dan istri saya," jawab Azlan dengan antusias. "Bagus kalau begitu, besok aku tunggu kamu di kantor, katakan saja kepada resepsionis kalau kamu sudah membuat janji denganku." "Terima kasih mba, besok saya pasti akan datang ke sana." Azlan merasa sangat bahagia mendapatkan kesempatan untuk menjadi artis, selama ini tidak ada bayangan sedikit pun untuk memulai karir sebagai artis. Azlan terus tersenyum saat memandangi kepergian Agnes. "Nauma pasti bahagia kalau tahu kabar ini, aku jadi tidak sabar untuk mengabarinya," gumam Azlan sambil memandangi kartu nama Agnes. Tanpa menunggu lama lagi, Azlan langsung beranjak dari tempatnya, dia berniat untuk menemui Nauma. Baru juga beberapa langkah, seorang pria bertubuh besar menahan pundak Azlan. Pria bertubuh besar itu meninju perut Azlan tanpa ada rasa kasihan sama sekali. Bugh... bugh... bugh... "Berani-beraninya lo ngambil lahan gue tanpa izin! Mau cari mati lo?!" bentak p
"Jadi kayak mana Kang? Padahal itu kesempatan emas, malah hilang gitu aja," ucap Nauma sambil mengembuskan napasnya. "Mau bagaimana lagi? Kartunya sudah hilang, sekarang kita pulang dulu, sebentar lagi sudah mau magrib," balas Azlan. Azlan juga merasa sedih karena sudah kehilangan kartu nama Agnes, kartu nama itu adalah harapan terbesarnya untuk bertahan hidup di kota besar ini. Mau tidak mau, Azlan dan Nauma harus ikhlas kehilangan kartu nama Agnes. Mereka berdua pulang ke mushola dengan langkah gontai. "Kenapa kalian lesu seperti itu?" tanya Pak ustadz. "Nggakpapa Pak ustadz, kami hanya kehilangan kartu nama saja," balas Azlan. "Memangnya kartu nama itu penting sekali ya?" "Bagi kami sangat penting Pak karena itu adalah kartu nama agensi, tadi ada yang menawariku untuk menjadi artis," jawab Azlan, wajahnya masih saja muram, dia bersedih karena tidak bisa menemukan kartu nama Agnes. "Jangan disesali, jika memang itu masih rezeki kamu, maka Allah akan mengembalikannya dengan car