“Sudah jangan banyak protes, suami pengangguran saja dibela terus!”
Mau tidak mau mereka menuruti permintaan Ibu, Azlan langsung ke kamar dan mengganti pakaiannya. Azlan mengenakan kaos putih polos dan celana denim pendek, begitu dia melihat ke cermin, Azlan terpesona dengan ketampanannya sendiri. Sontak Azlan pun langsung menyugar rambutnya ke belakang dan tersenyum sendiri di cermin. “Hehehe, ternyata gue tampan sekali, pantas saja Nauma tergila-gila, menantu ganteng gini kok dihina? Harusnya bangga dong,” gumamnya sambil memegang dagu.“Kang udah siap belum? Nanti keburu Ibu marah-marah lagi,” ucap Nauma yang sedang berdiri di ambang pintu kamar.“Ganteng nggak Neng?”“Ganteng banget Kang, dah yuk Kang berangkat, jangan ngaca terus, nanti kacanya jatuh cinta lagi sama Akang,” ledek Nauma.“Bisa aja ngeledeknya Neng, yuk ah berangkat,” ajaknya sambil merangkul pundak Nauma. Dan melangkahkan kaki ke parkiran motor.“Akang jangan ganteng-ganteng ya, di sini banyak janda kegatelan, nanti mereka naksir Akang lagi,” pinta Nauma.Saat berada di atas motor Azlan menarik tangan Nauma dan melingkarkan tangannya di pinggang, “Gini loh Neng, dipeluk suaminya kalau di atas motor, biar mesra.”“Ini sudah Kang, Neng jadi malu,” ucapnya. Azlan merasa kalau Nauma menyembunyikan wajahnya di punggung Azlan, Azlan hanya terkekeh dengan apa yang dilakukannya.Dahulu mereka tidak mengenal yang namanya pacaran, begitu Azlan yakin, dia langsung melamarnya. Wajar kalau Nauma malu-malu seperti ini, dan Azlan senang melihat tingkahnya yang menggemaskan seperti.“Jangan disembunyikan Neng, buat apa malu? Kita ‘kan sudah menikah, orang lain juga pasti memahaminya.”“Malu tahu Kang, Akang mah iya nggak punya malu.”Sekarang Nauma sudah mengangkat wajahnya, bahkan dagunya sudah ditopangkan di pundak Azlan. Meskipun lelah, Azlan tetap merasa bahagia jika melihat Nauma yang seperti ini.“Pasarnya jauh banget ya Neng? Dari tadi nggak sampai-sampai.”“Gimana mau sampai Kang? Akang saja bawa motornya Cuma dua puluh kilometer perjam, ngalah-ngalahin siput, dari tadi kita dibalap sama anak-anak yang bawa sepedah,” sewot Nauma.Azlan tertawa, “Kan biar lama romantis-romantisannya Neng, kalau di rumah ‘kan diganggu Ibu terus.”“Cepet atuh Kang bawanya, kalau kelamaan Ibu bisa marah,” pinta Nauma.“Siap Neng, pegangan yang kencang ya.”Karena Nauma yang meminta untuk mempercepat laju motor, maka Azlan melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Tidak berselang lama mereka tiba di pasar yang padat pengunjung.“Akang mau ikut masuk atau menunggu di sini?” tanya Nauma.“Aku ikut ke dalam ya Neng? aku takut kamu digondol Kucing garong.”“Memangnya aku Ikan asin, sampai digondol segala Kang? Akang ini ada-ada saja.”“Bukannya gitu Neng, wajah istri Akang ini cantiknya nggak ada yang ngalahin, Akang takut kalau ada Kucing garong yang deketin Neng, hehehe,” kekeh Azlan sambil mengikuti langkahnya.“Cantik-cantik juga sudah ada yang punya Kang, sudahlah Akang tunggu di sini saja, Neng hanya sebentar saja.”“Yasudah kalau begitu, aku tunggu di kedai sana ya Neng,” balasnya sambil menunjuk kedai yang dimaksud,Nauma masuk ke dalam pasar dengan keranjang belanjaannya, sedangkan Azlan lebih memilih kedai makanan untuk menunggunya. Azlan sudah lapar sekali, niat hati tadi ingin sarapan, malah disuruh kepasar.“Bu, ada nasi uduknya nggak?” tanyanya kepada pedagang.“Masih atuh kasep, mau berapa?”“Satu aja Bu, makan di sini ya,” pintanya.“Sepertinya kamu baru ini ke pasar ya? Ibu tidak pernah melihat kamu.”“Sering kok Bu, di dalam mimpi, hehehe.”“Lah, kamu malah becanda, kamu bukan orang sini ya?”“Bukan Bu, kata orang saya berasal dari kahyangan, hehehe.”“Benar juga sih, kamu tampan sekali, mau Ibu jodohkan sama anak Ibu nggak?”“Anak Ibu cantik?” tanya Azlan.Baru juga bertemu Ibu pedagang nasi sudah mau menjodohkan Azlan dengan anaknya. Wajah Azlan pasti mengundang banyak Ibu-Ibu yang menginginkannya untuk menjadi menantu mereka, mereka tidak tahu saja kalau Azlan pengangguran, kalau tahu, pasti mereka akan bersikap seperti Ibu mertuanya.“Anak Ibu ganteng,” balas pedagang sambil tertawa.“Astaga Ibu, bisa ngelawak juga, maaf Bu, saya tidak suka terong.”“Becanda atuh, gitu aja serius, nih nasi uduk pesanan kamu,” ucap Ibu pedagang sambil memberikan sepiring nasi uduk pesanannya.“Terima kasih cantik,” goda Azlan.Ibu yang ada di hadapannya tersenyum malu saat Azlan memujinya. Sepertinya semua wanita sangat suka kalau dipanggil cantik oleh kaum pria, apalagi kalau pria itu setampan Azlan.Azlan abaikan senyuman Ibu itu, lebih baik Azlan mengisi perutnya dengan nasi, agar dia memiliki tenaga lagi. Menunggu wanita berbelanja itu sangat membosankan, nasi uduk yang tadinya penuh kini sudah habis, kopi juga begitu, tapi tetap saja Nauma tidak kunjung kelihatan.“Neng!....” Azlan terkejut dengan kehadiran Nauma di parkiran, sontak saja Azlan berlari menghampiri Nauma, ada rasa kesal dihati saat melihatnya dengan pria lain.“Hei!... Bayar dulu!… Kamu belum bayar!….” Teriak Ibu pedagang nasi uduk.“Haissh, kenapa bisa lupa? Aku harus cepat ini, kalau tidak pria itu pasti menggoda Nauma,” gerutunya. Azlan berjalan dengan cepat menuju kedai nasi tadi dan membayar makanannya. Setelah membayar makanannya Azlan langsung berlari menghampiri Nauma yang sadang digoda oleh pria yang tidak dikenal.“Neng! kamu ngapain dekat-dekat sama dia?”“Kenalin Kang, ini teman Neng waktu sekolah, namanya Aldo,” ucap Nauma memperkenalkan temannya.“Sini keranjangnya.” Azlan rebut keranjang Nauma yang dibawakan oleh Aldo. Mau Aldo atau siapapun namanya Azlan tidak perduli. Azlan juga melihat aura permusuhan dari tatapan pria yang ada di hadapannya.“Ini suami kamu, yang kata orang pengangguran itu? Lebih baik kamu menikah denganku saja dari pada menikah dengan pria yang tidak jelas seperti ini,” ucap Aldo dengan nada sombong.“Siapa yang bilang gue pengangguran?"“Lalu, lo punya pekerjaan? Apa?!”“Lo nanya kerjaan gue apa? Gue asisten malaikat pencabut nyawa! Nyawa Lo mau gue anterin ke malaikat maut?!” Azlan tidak menerima penghinaan, apalagi dihadapan Nauma. Azlan langsung menggulung lengan bajunya, dan bersiap menghajar Aldo.“Sudah Kang! Sudah! Dia hanya bercanda saja, ayo! Lebih baik kita pulang saja Kang,” ajak Nauma sambil menarik lengan Azlan.“Kasian banget sih lo ditolak sama Nauma, muka jelek aja di banggain,” ucapnya kesal, Azlan masih saja memajukan tubuhnya meskipun sudah ditahan oleh Nauma, Azlan kesal sekali dengan pria yang ada di hadapannya.“Sudah Kang! Aldo! Lebih baik kamu pergi saja, aku tidak mau ada keributan di sini,” ucap Nauma.“Pria kasar seperti ini yang kamu pilih dan menolakku dulu? Aku yakin kalau hidup kamu akan berantakan jika bersama dia,” balas Aldo meremehkan Azlan."Apa lo bilang?!" bentak Azlan. Amarahnya sudah diambang batas, pria yang ada di hadapannya ini harus diberi pelajaran, agar mulutnya berhenti berucap. Azlan melontarkan tinju ke wajah Aldo, dan itu memnbuat Aldo terpental ke belakang. Bukkkk bukkk bukkk “Mampus lo! Lo pikir Lo siapa bisa merendahkan gue kayak gitu?! Hah?!” bentak Azlan setelah menghajarnya. “Akang! Sudah Kang! Ayo kita pulang saja,” ajak Nauma. Nauma menarik tangan Azlan hingga mereka sampai di samping motornya. “Kenapa kamu belain dia Neng?” tanya Azlan dengan nada kesal. “Aku tidak membela dia Kang, aku hanya tidak mau ada keributan di sini, aku takut malah Akang yang dikeroyok oleh orang pasar, Bapaknya Aldo itu preman di pasar ini Kang,” bisik Nauma. “Serius Neng? Yaudah yuk buruan pergi, kenapa kamu nggak bilang dari tadi sih?” Kalau urusannya sudah dengan preman pasar jelas Azlan mundur, dia tidak punya keahlian bela diri. Belajar saja hanya sebentar, sebelum almarhum bapakanya meninggal. Setelah mengeta
“Aku tanya kepada Akang, apakah Akang yakin bisa membawa keluarga kecil kita menjadi keluarga yang bahagia? Apakah Akang yakin kalau Akang bisa menghidupi keluarga kecil kita?” Nauma malah balik bertanya pada Azlan, jelas Azlan yakin kalau dia mampu membahagiakannya. Apapun akan dilakukan demi membuat Nauma bahagia, pekerjaan apapun akan dilakukan asalkan halal. “Tentu saja aku yakin, aku yakin bisa membahagiakan kamu, pekerjaan apapun akan aku kerjakan asal ada kamu yang selalu tersenyum kepadaku,” balasnya. “Kalau Akang yakin, maka aku juga yakin Kang, aku juga bisa membantu Akang mencari uang, siapa tahu di kota nanti ada yang membuka lowongan pekerjaan untuk wanita yang sudah menikah, jadi buruh cuci pun aku rela.” “Tidak! Aku tidak setuju kalau kamu bekerja, biar aku saja yang mencari uang, aku menikahi kamu bukan untuk membuat kamu sengsara, sudah ya Neng, kamu yakin saja sama aku. Aku janji, kalau aku akan terus membuat kamu bahagia.” Azlan tidak setuju dengan apa yang
"Tentu saja saya mau, mba. Ini adalah kesempatan emas buat saya dan istri saya," jawab Azlan dengan antusias. "Bagus kalau begitu, besok aku tunggu kamu di kantor, katakan saja kepada resepsionis kalau kamu sudah membuat janji denganku." "Terima kasih mba, besok saya pasti akan datang ke sana." Azlan merasa sangat bahagia mendapatkan kesempatan untuk menjadi artis, selama ini tidak ada bayangan sedikit pun untuk memulai karir sebagai artis. Azlan terus tersenyum saat memandangi kepergian Agnes. "Nauma pasti bahagia kalau tahu kabar ini, aku jadi tidak sabar untuk mengabarinya," gumam Azlan sambil memandangi kartu nama Agnes. Tanpa menunggu lama lagi, Azlan langsung beranjak dari tempatnya, dia berniat untuk menemui Nauma. Baru juga beberapa langkah, seorang pria bertubuh besar menahan pundak Azlan. Pria bertubuh besar itu meninju perut Azlan tanpa ada rasa kasihan sama sekali. Bugh... bugh... bugh... "Berani-beraninya lo ngambil lahan gue tanpa izin! Mau cari mati lo?!" bentak p
"Jadi kayak mana Kang? Padahal itu kesempatan emas, malah hilang gitu aja," ucap Nauma sambil mengembuskan napasnya. "Mau bagaimana lagi? Kartunya sudah hilang, sekarang kita pulang dulu, sebentar lagi sudah mau magrib," balas Azlan. Azlan juga merasa sedih karena sudah kehilangan kartu nama Agnes, kartu nama itu adalah harapan terbesarnya untuk bertahan hidup di kota besar ini. Mau tidak mau, Azlan dan Nauma harus ikhlas kehilangan kartu nama Agnes. Mereka berdua pulang ke mushola dengan langkah gontai. "Kenapa kalian lesu seperti itu?" tanya Pak ustadz. "Nggakpapa Pak ustadz, kami hanya kehilangan kartu nama saja," balas Azlan. "Memangnya kartu nama itu penting sekali ya?" "Bagi kami sangat penting Pak karena itu adalah kartu nama agensi, tadi ada yang menawariku untuk menjadi artis," jawab Azlan, wajahnya masih saja muram, dia bersedih karena tidak bisa menemukan kartu nama Agnes. "Jangan disesali, jika memang itu masih rezeki kamu, maka Allah akan mengembalikannya dengan car
"Siapa lo berani ngelarang gue?!" bentak Codet. "Gue Agnes! Gue bisa menjarain lo sekarang juga atas tuduhan pemerasan!" balas Agnes tak kalah membentak. Agnes adalah wanita yang menolong Azlan, dia mencari Azlan di tempat mereka bertemu kemarin. Agnes sangat tertarik pada Azlan dan dia mau Azlan menjadi artis di agensinya. Wajah tampan Azlan merupakan aset berharga baginya dan juga perusahaannya. Menurut Agnes, Azlan bisa mendapatkan ketenaran dengan wajah tampannya. "Pergi nggak lo dari sini!" usir Agnes. Codet merasa dirinya terancam karena Agnes sudah siap menelpon polisi. Penampilan Agnes juga sangat meyakinkan kalau dia mampu memenjarakan Codet. Tampilan layaknya pengusaha kaya raya, stelan jas dan juga kaca mata yang dikenakannya menambah kesan mewah. "Brengsek! Awas lo ya! Lo masih ada urusan sama gue!" bentak Codet, tangannya menunjuk wajah Azlan. Codet dan anak buahnya pergi karena takut dengan ancaman Agnes, Agnes berhasil merebut uang yang di rampas oleh Codet. Dia me
"Tapi Kang-" "Sudah jangan dipikirkan, ingat, ada aku di sini, aku yang akan bertanggung jawab dengan hidup kita, kamu tenang saja ya sayang," ucap Azlan memotong perkataan Nauma. Dia memeluk Nauma dan membelai rambut panjangnya. Nauma masih saja terisak, dia masih belum rela uang yang selama ini dikumpulkan dirampas begitu saja oleh Codet. Azlan juga sebenarnya merasa bingung, disaat kesempatan emas datang lagi, uang hasil tabungan mereka yang dirampas. Mau tidak mau, Azlan berpikir keras bagaimana caranya agar besok bisa menemui Agnes? Malam hari Azlan tidak pergi ke parkiran, dia menemani Nauma di kamar mushola. Dia takut Codet datang lagi dan mencelakai istrinya. Naumatidur dalam kesedihan, Azlan memeluk Nauma dengan sangat erat, bahkan dia sudah menahan pintu kamar mereka dengan lemari yang disediakan Pak ustadz. Azlan tidak bisa tidur, dia terus saja siaga karena ketakutannya. Apapun bisa terjadi kepada mereka disaat mereka lengah. Azlan mengusap-usap kepala Nauma, "Maafkan a
"Tidak! Tidak! Bagaimana mungkin saya menyembunyikan status istri saya sendiri? Mba sudah menjebak saya," ucap Azlan sambil menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak percaya dengan kebodohan yang baru saja dilakukannya. "Saya sudah memperingatkan kamu untuk membacanya terlebih dahulu, tetapi kamu sendiri yang menandatangani tanpa membacanya," balas Agnes menyalahkan Azlan. "Sudahlah Kang, aku tidak masalah, sudah terjadi juga, lagi pula kita tidak memiliki uang untuk membayar dendanya," timpal Nauma, dia merangkul lengan Azlan. "Tetapi kami masih diperbolehkan tinggal satu rumah 'kan?" tanya Azlan memastikan. "Tentu saja boleh, tetapi publik tidak boleh mengetahui status kalian yang sebenarnya," jawab Agnes. "Baiklah kalau begitu, kontrak ini berlangsung berapa lama?" "Dua tahun, selama dua tahun kamu harus mengaku single, setelah kontrak ini selesai, kita akan perbaharui lagi kontraknya, itupun jika kamu masih mau menjadi artis." Azlan dan Nauma hanya terdiam, sudah tidak ada ka
"Bukankah begitu, Azlan?" tanya Agnes. Mata coklat Azlan menatap Agnes dengan penuh kemarahan, dia melirik Nauma. Mata Nauma membola saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut Agnes. Azlan tidak menyangka kalau Agnes akan menganggap Nauma sebagai pembantunya. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Azlan melangkahkan kalinya, tetapi Nauma menghentikannya. Nauma menggelengkan kepala untuk mencegah perbuatan yang akan Azlan lakukan. "Baiklah kalau begitu, maafkan perbuatan kami," ucap petugas keamanan dengan wajah penuh sesal. Azlan memalingkan wajahnya, tidak menjawab permohonan maaf penjaga yang ada di dekatnya. Azlan menatap wajah Nauma, dia melihat ada kesdihan di matanya. 'Kenapa jadi aku yang menjadi penyebab kesedihannya?' batin Azlan. Tidak berselang lama, para pengawal pergi meninggalkan luka di hati dan tubuh mereka. "Kenapa mba ngomong gitu? Kenapa mba memposisikan Nauma sebagai pembatu saya?" tanya Azlan, matanya juga menunjukkan kemarahan yang teramat sangat. "Memang