Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
"Carikan seorang suami untukku!"Tak ada hujan, tak ada petir, pernyataan sekaligus perintah mutlak itu membuat suasana ruang kerja CEO wanita mencekam. Dialah Rhein Edith. Wanita bernetra dark grey, berhidung mancung dan tinggi semampai, berambut coklat ikal yang berkilauan saat diterpa sinar matahari bak aktris Bollywood itu memang memiliki aura yang begitu memancar. Setiap Rhein melangkah, lenggak-lenggok pinggulnya yang ramping serta kakinya yang jenjang membuat mata pria lelaki normal pasti terpana. Puluhan pria konglomerat berlomba-lomba mencari perhatian demi bisa mempersunting Rhein. Namun sayangnya, wanita mandiri itu tak berniat untuk terikat dengan pria manapun. Rhein terlalu nyaman hidup sendirian hingga usianya berada di ujung angka 20 tahun."S-Suami?" Celia, Sekretaris sekaligus orang kepercayaan Rhein, mendadak tercekat karena tak percaya, ketika mendengar perkataan bosnya. "Anda sudah ingin menikah, Miss?"Rhein menganggukkan kepalanya dengan yakin, membuat kerutan di
“Rumah sakit?”Rhein bertanya-tanya, siapa gerangan yang membawanya ke rumah sakit? Seingatnya, ia tak sempat menelepon orang rumah semalam. Lagi pula, bukankah dia seharusnya masih di pinggir jalan, di dalam mobilnya? Tak lama, pintu kamar rawatnya terbuka. Suara lembut yang begitu dihafalnya kemudian menyapa. "Sudah bangun?""Mami?""Hm. Memangnya kamu berharap siapa lagi yang akan menjagamu selain Mami? Kamu bahkan belum punya suami!" gerutu Veronica, dengan tangan terlipat di dada.Mendengar kata suami membuat bulu kuduk Rhein seketika berdiri. Kata itu ibarat phobia yang membuatnya sesak napas tiap kali dibahas."Kenapa aku ada di sini? Siapa yang membawaku?""Tuh, kan! Bahkan kamu nggak ingat kejadian terakhir yang kamu alami. Sudahlah, memang keputusan yang terbaik buat kamu adalah menikah!"Rhein memutar matanya malas. Apa-apa dijawab maminya dengan satu kata yakni menikah. "Kenapa bahas menikah terus, sih!" protes Rhein jengkel. "Aku pasti nikah, Mi. Tapi nggak sekarang juga
[Dia mengenakan kemeja hitam.]Malam itu, setelah Celia mengirimkan biodata serta foto calon suami sewaannya, Rhein langsung menyetujui. Wanita itu bahkan meminta sang sekretaris untuk mengatur pertemuannya dengan sang kandidat segera. Dan, di sinilah Rhein, di depan sebuah kafe dengan jantung yang berdegup cepat. Matanya memindai, memperhatikan ciri-ciri teman kencannya sesuai dengan instruksi Celia. Saat ia memasuki kafe, seorang pria yang berdiri di pojok ruangan dan melambaikan tangannya, membuat tatapan Rhein segera tertuju padanya.‘Itu … dia, kan?’ batinnya memperhatikan penampilan sang teman kencan.Kemeja hitam lengan panjang yang dilipat hingga ke siku dan celana jeans baby blue, cocok dengan keterangan sang sekretaris. Sambil berjalan menghampirinya, Rhein menilai penampilan pria tersebut dan tersenyum tipis.Ia menyukai pria ini dari penampilannya yang tampak sederhana. Wajahnya juga tak terlalu buruk untuk dipamerkan pada maminya. Dan oh, senyumannya yang menampilkan lesu
“Mami kenapa masih nangis? Kan, harapan Mami sudah Rhein kabulkan.”Jawaban atas pertanyaan Veronica akhirnya terlaksana satu bulan berikutnya. Meskipun terkesan mendadak, akan tetapi Rhein berhasil meyakinkan maminya bila ia sudah tak sabar untuk segera menikah dengan kekasih palsunya. Dan prosesi pernikahan berlangsung dengan khidmat sejak pagi. Hanya sebuah pesta sederhana yang intim dengan jumlah tamu terbatas. Rhein sengaja beralasan pada Veronica bahwa ia ingin pesta yang bisa dikenang seumur hidup bersama orang-orang yang ia sayangi.Melihat putri kesayangannya kini telah resmi menjadi istri, membuat Veronica menangis sepanjang acara. Semua berjalan begitu cepat dalam ingatannya, terasa masih kemarin ia menyusui Rhein dan mengantarnya sekolah TK. Kini, anak gadisnya itu telah menjadi wanita cantik yang mapan.Sang mami hanya mengangguk sambil mengulas senyuman. Ia memperhatikan anak dan menantunya yang kini sedang sungkem padanya."Mami nitip jaga Rhein ya, Sean. Jangan pernah