Namaku Abel, umurku 25tahun. Aku bekerja sebagai staff administrasi di perusahaan cukup ternama di kotaku. Biaya hidup membuatku menjadi pekerja keras. Aku bekerja banting tulang sendirian menghidupi suamiku yang pengangguran beserta Ibu dan adiknya.
Baru satu tahun menikah dengan suamiku badanku menjadi kurus kering karena banyak tekanan. Dulu saat pernikahanku menginjak 7bulan aku sempat kabur dari rumah karena sudah tidak kuat dengan keluarga benalu ini.
Aneh bukan? aku kabur dari rumahku sendiri. Rumah peninggalan kedua orangtuaku yang sudah meninggal. Seharusnya mereka yang pergi, tapi berkali-kali ku usir, tetap saja mereka tak mau pergi. Aku yang frustasi dengan keluarga muka tembok ini memilih pergi. Berharap setelah kepergianku dari rumah, mereka merasa tahu diri kemudian menyusul pergi jauh-jauh dari rumahku. Namun takdir berkata lain, saat sedang semangat-semangatnya ingin menggugat cerai suamiku, aku terpaksa mengurungkan niat karena hamil. Kini aku masih aktif bekerja diusia kandunganku yang menginjak 5bulan. Mau bagaimana lagi, kalau menganggur, siapa yang akan memberiku uang untuk makan.
Aku punya ibu mertua yang sangat unik. Disaat aku baru gajian, dia memperlakukanku seperti menantu kesayangan. Dia akan mengomeli anak lelakinya jika sedikit saja membuatku marah. Dia akan terus memujiku tentang beruntungnya hidupnya punya menantu sabar sepertiku. Namun jika tanggal tua datang, dia sering membanting-banting barang di rumah dan menyindirku seolah aku menantu paling buruk di dunia. Dia tak sadar kalau dia hanya menumpang. Harusnya aku yang melakukan semua itu padanya. Karena meskipun aku tulang punggung di rumah ini, aku juga yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mas Putra tak mengijinkan ibunya sedikitpun membantuku soal pekerjaan rumah. Pembelaan suamikulah yang makin membuat ibu mertuaku besar kepala.
Seperti biasa, rutinitasku setiap pagi sebelum berangkat kerja yakni memasak dan membereskan semua pekerjaan rumah. Meski dalam keadaan hamil, tetap saja semua pekerjaan aku yang harus melakukannya. Mereka tak punya kesadaran sedikitpun tentang kondisiku saat ini.
Saat tak sengaja menyentuh saku celana kotor suamiku yang masing tergantung di belakang pintu kamar, ku dapati sebuah kotak kecil berisi cincin emas cantik. Aku tersenyum melihat cantiknya cincin itu. Hari ini adalah hari jadiku, pasti Mas Putra akan memberikan cincin ini sebagai kejutan untukku.
Ternyata Mas Putra bisa romantis juga. Meski dia menganggur dan sering membuatku geram karena mencuri uangku, tapi dia bisa membelikanku cincin emas secantik ini. Aku sangat-sangat bahagia membayangkan kejutan indah yang akan dia berikan padaku hari ini. Segera ku kembalikan cincin itu ke tempat semula, agar Mas Putra tak curiga kalau aku sudah tahu hadiah apa yang akan dia berikan untukku.
Jam 12 siang, aku ijin pulang. Rencanaku hari ini ingin merayakan hari jadiku bersama Mas Putra. Pasti dia juga akan sangat senang nanti saat tahu aku pulang lebih awal.
Karena ingin cepat sampai ke rumah, aku pulang menggunakan taksi. Ku lihat di halaman rumahku ada sebuah mobil merah entah milik siapa. Tamu Mas Putra nggak mungkin. Karena setahuku teman-temannya sama tidak jelasnya dengan suamiku. Hampir semuanya pengangguran.
Pintu tidak terkunci, aku langsung masuk kedalam. Di rak sepatu, kulirik sepasang High heels ada disana. Aku makin penasaran karena saat menoleh di ruang tamu, tak ada siapapun disana.
Dengan pelan aku mulai masuk menuju kamarku. Ku ambil kunci dari dalam hand bag. Saat aku berhasil membuka pintu, betapa terkejutnya aku saat melihat pemandangan yang amat sangat menjijikan. Suamiku sedang berzina dengan wanita lain di ranjangku, di rumah warisan dari orangtuaku. Dia hanya menumpang hidup di sini, berani sekali mengotori rumahku dengan perbuatan bej*dnya.
"Abel? kenapa pulang nggak kasih tau Mas dulu?" suamiku menghentikan aksi panasnya. Dia mulai memunguti satu persatu bajunya yang terlempar di sembarang arah. Sedangkan wanita itu langsung menutupi tubuh t*lanjangnya dengan selimut. Ku lihat di jari manis wanita itu terpasang cincin cantik yang aku pikir untukku. Jadi cincin itu bukan untukku, melainkan untuk gundik suamiku? Hatiku seperti di remas-remas melihat kenyataan ini. Sejak kapan suamiku main serong dengan perempuan ini? Aku sedang hamil anaknya, tapi dia tega main serong dibelakangku.
"Siapa wanita ini, Mas? kenapa kalian berzina di rumahku?" teriakku murka sambil mencari barang disekitarku untuk kulemparkan kearah lelaki tak punya perasaan itu.
Ku dapati pot bunga yang ada di rak bunga depan dinding kamarku lalu ku lemparkan kearah suamiku. Aku siap masuk penjara jika seandainya pot bunga ini tepat sasaran dan menghancurkan kepala Mas Putra ataupun gund*knya. Sayangnya mereka berdua lihai sekali menghindari seranganku. Aku gagal membuatnya mati di tanganku hari ini.
"Hentikan, Abel! Dia calon madumu. Kamu pasti akan bangga mempunyai madu yang lebih muda dan lebih cantik darimu. Yang paling utama, madumu ini jauh lebih kaya darimu. Hartanya cukup untuk keturunan Putra tujuh turunan. Nanti kamu nggak usah kerja lagi." sela ibu mertuaku makin membuatku darah tinggi.
"Calon madu? memangnya siapa yang mau dimadu, huh?" aku melototi ibu mertuaku yang sudah lama sangat ku benci ini. Perempuan paruh baya itu tak kalah sadis dalam menatapku. Kami seperti singa dan harimau yang siap saling menerkam satu sama lain.
"Apa susahnya memberi ijin suamimu menikah lagi. Perempuan ini kaya dan sempurna. Kau tak perlu lagi bekerja jika kau memberinya izin menjadi madumu."
"Kaya ibu bilang? kalau dia kaya kenapa dia tak mampu menyewa kamar hotel saat ingin tidur dengan suamiku. Kenapa dia mau melakukannya dirumah jelekku ini, huh?"
"Aku yang menyuruhnya melakukannya disini. Buat apa mereka ke hotel, kalau di rumah ini saja ada kamar kosong."
Kedua tanganku mengepal mendengar omong kosong ibu mertuaku.
"Ibu lupa siapa pemilik rumah ini? Dan kamar ini tidak kosong, ini kamar milikku. Kenapa ibu lancang sekali menyuruh mereka berzina di kamar ini. Ibu tak takut ikut kena sial?"
"Kamu yang lancang, berani memaki mertuamu kasar seperti ini. Niat ibu baik, disaat kamu lairahan nanti, kamu pikir siapa yang akan mencukupi kebutuhan di rumah ini. Ibu sudah menjelaskan kondisi kita ke Dita. Dia mau menolong keluarga kita nanti. Jadi kamu nggak usah takut lagi tak bisa makan setelah lahiran. Cukup mulai sekarang iklaskan hatimu berbagi suami, maka hidupmu akan tenang."
"Berbagi suami? mending aku mati kelaparan dari pada harus mengikuti ide konyol ini." tolaku mentah-mentah.
"Yang ibu bilang benar, Bel! ini semua demi kebaikanmu." sahut suamiku yang sudah selesai memakai baju, di belakang punggungnya bersembunyi sang pelakor. Anak ingusan itu tak punya nyali sedikitpun meski sekedar menatap wajahku.
"Mau di kasih makan apa calon istri keduamu, Mas, sedangkan makanmu dan keluargamu saja aku yang menanggung?" ucapku tegas. Mas Putra terlihat menghela nafasnya sebelum menjawab.
"Kan tadi ibu sudah jelaskan. Harta wanita ini takan habis tujuh turunan. Jadi aku gak perlu susah-susah kerja. Kamu juga nanti berhenti kerja setelah aku menikahi wanita ini!"
"Jadi kalian ingin menjadikan wanita ini mesin atm kalian, sama sepertiku? Dan wanita ini setuju begitu saja mendengar permintaan konyol kalian? Aku jadi penasaran sama wanita ini, apa dia waras? benarkah otaknya ada di tempatnya sebagaimana mestinya, tidak bergeser atau nyangkut di bagian lain?" cercaku membuat ibu mertuaku makin tak terima.
"Kau yang tak punya otaķ, sudah miskin tapi belagu. Kau harusnya merasa beruntung karena di nikahi oleh 'Putra' anak tampanku."
"Aku miskin? lalu ibu dan anak kebanggaan ibu memangnya punya apa? kalian lebih miskin dariku, kalian menumpang hidup denganku. Kalian benalu tak tahu diri!"
"Cukup, Bel. Jangan hina aku dan ibuku. Kalau tidak--"
"Kalau tidak kenapa? Kau akan menceraikanku? Kau pikir aku takut?"
Kubusungkan dadaku, kutatap nyalang suamiku. Aku siap melawannya jika seandainya tangannya akan menyerangku seperti biasa. Kali ini aku takan tinggal diam.
"Aku tak bisa menceraikanmu. Kau sedang hamil anakku. Aku tak tega." ucapnya beralasan.
"Kau tak tega menceraikanku atau takut menjadi gelandangan setelah bercerai denganku?"
Plak!
Tangan kotor suamiku berani menamparku. Lelaki ini, benar-benar tak tahu diri.
"Kau berani menamparku? pergi sekarang juga kau dari rumah ini. Bawa beserta gund*k dan keluarga benalumu!" usirku sambil menunjukan jari telunjukku kearah pintu keluar.
"Kami takan pernah keluar dari rumah ini. Kau sedang hamil, kita takan pernah bercerai."
Aku kehabisan akal mengusir keluarga benalu ini. Jika aku melawannya dengan keadaan fisiku yang tengah hamil, aku takut menyakiti janin yang tak bersalah di perutku ini.
"Kalau begitu aku akan penggilkan pak Rt dan warga untuk mengusir kalian dari rumah ini!" ancamku sambil melangkah pergi. Namun tangan ibu mertuaku langsung meraihku. Dibantu suamiku, mereka menyeret tubuhku ke dalam kamar. Mereka tega melemparkan tubuhku secara kasar padahal aku sedang mengandung.
"Diamlah di sini. Kau jangan kur*ngajar. Ini rumah kami juga, jadi sampai kapanpun kami takan keluar dari rumah ini." ucap Ibu mertuaku.
"Bel! mengalahlah demi kebaikanmu. Izinkan Mas menikah lagi. Mas janji akan adil pada kalian berdua."
Aku yang tengah menangis diatas lantai karena perlakuan mereka mulai mempunyai kekuatan lagi untuk bangkit.
"Keadilan seperti apa yang kau tawarkan? kau bisa makan juga karena belas kasianku. sekarang katakan keadilan seperti apa yang kau maksudkan tadi, huh?"
"Istri lancangmu ini, aku tak sabar membungkam mulutnya!" Ibu mertuaku mengangkat tangannya ingin memukulku, namun sayang tangannya hanya bisa menggantung di udara karena aku berhasil menangkapnya sebelum mendarat di pipi mulusku.
"Jangan sentuh saya lagi, Bu. Atau akan kubuat kalian mati kelaparan. Wanita pelakor yang ibu banggakan itu bukan kaya hasil kerja kerasnya. Dia masih anak ingusan yang minta uang sama orangtuanya. Aku tidak yakin dia bisa mengenyangkan perut kalian setiap hari seperti apa yang selama ini aku lakukan pada kalian."
Nyali ibu mertuaku ciut mendengar ancamanku. Bagus aku mulai bisa menguasai keadaan.
"Hey pelakor! apa kau yakin mau masuk dalam keluarga benalu ini? Kau tak takut nasibmu sama buruknya sepertiku?"
Wanita yang berumur 20tahun itu mulai berani menatapku.
"Aku cinta mas Putra apa adanya. Aku siap menerima semua resikonya. Ayahku kaya, uang bukan masalah bagiku."
Aku tertawa geli mendengar ucapan wanita labil itu. Uang memang bukan masalah baginya karena selama ini semua kebutuhannya masih di cukupi orangtuanya. Cinta telah membutakan hati dan akal sehatnya. Aku jadi penasaran, bagaimana perasaan orangtuanya jika tahu anak perempuan kebanggaannya mau menjadi istri kedua seorang suami pengangguran seperti Mas Putra.
"Hey pelakor! apa kau yakin mau masuk dalam keluarga benalu ini? Kau tak takut nasibmu sama buruknya sepertiku? Lihat nasibku sekarang, sudah diperas habis-habisan kemudian diduakan!" Wanita yang berumur 20tahun itu mulai berani menatapku. Aku ingin tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya. Usianya masih terlalu muda untuk jadi seorang pelakor. Meski aku sangat membencinya, aku tak mau dia terjerumus ke dalam kejamnya keluarga benalu ini."Aku cinta mas Putra apa adanya. Aku siap menerima semua resikonya. Ayahku kaya, uang bukan masalah bagiku."Aku tertawa geli mendengar ucapan wanita labil itu. Uang memang bukan masalah baginya karena selama ini semua kebutuhannya masih dicukupi orangtuanya. Cinta telah membutakan mata dan akal sehatnya. Aku jadi penasaran, bagaimana perasaan orangtuanya jika tahu anak perempuan kebanggaannya mau menjadi istri kedua seorang suami pengangguran seperti Mas Putra."Aku kira, akulah satu-satunya wanita bodoh yang mau dengan suami tak bergunaku
Setelah selesai makan, sengaja ku buang bekas bungkusan dari makanan yang sudah kuhabiskan ke dalam tong sampah didapur. Berharap setelah ibu mertua melihatnya darah tingginya langsung kumat dan langsung dibawa ke rumah sakit. Itu caraku mengusirnya secara halus. Jika tidak mempan juga, aku akan gunakan cara kasar. Tapi sepertinya aku ingin bermain-main dengan keluarga benalu ini sebentar lagi. Biar mereka tersiksa sama tersiksanya sepertiku selama setahun tinggal bersama mereka. 3 Langkah...2 Langkah...1 Langkah..."Dasar menantu kurangajar, makan sendiri enak-enak. Buat suami dan mertua cuma sayur sisa tadi pagi!" belum juga langkahku berhasil keluar dari dapur sudah mendapat omelan dari ibu mertua. Senyumku mengembang melihat ekspresi wajah marahnya. Imut sekali!"Bersyukur saja deh, Bu. Dapat makanan geratis. Dari pada tak makan." balasku santai. Dulu aku tak berani sekasar ini dengannya, namun makin lama sikapnya padaku makin semena-mena. "Aku nggak butuh sayur sisa!" Ibu mer
Keesokan paginya aku sudah bersiap. Sisil bilang, akan menjemputku. Dia menyuruhku membawa barang-barangku pagi ini juga, tak perlu menunggu pulang dari pengadilan Agama.Demi aku, Sisil dan suaminya izin tak berangkat kerja. Sahabatku itu sangat baik padaku. Sudah sejak lama dia menasehatiku untuk keluar dari rumah ini namun aku bandel. Untuk sementara dia juga melarangku mengontrak rumah. Karena dia takut keluarga benalu ini akan menggangguku di kontrakan. Aku menurut untuk tinggal dirumahnya untuk sementara waktu.[Bel, aku sudah ada didepan rumahmu!] ucap Sisil lewat panggilan telepon.[Ok, aku keluar sekarang!][Aku bantu angkat barang-barangmu, ya!] ucap Sisil.[Tidak perlu. Aku cuma bawa baju seperlunya saja, kok] balasku, kemudian mematikan telepon.Ku edarkan pandanganku ke setiap sudut ruangan kamarku. Banyak sekali kenanganku di kamar ini. Jujur aku sangat tak tega menjual rumah peninggalan orangtuaku ini. Banyak sekali kenanganku bersama mereka. Mataku basah saat sadar aku
Pov Ibu MertuaNamaku Tuminah. Orang di kampungku kebanyakan memanggil aku Situm. Aku seorang janda beranak dua yang ditinggal menikah lagi oleh suamiku sejak anak Pertamaku 'Putra' masih berumur 10tahun.Menjadi Janda tak punya rumah dan tak punya penghasilan tetap, membuatku sangat tersiksa saat itu. Aku selalu hidup berpindah-pindah tempat, numpang rumah dan numpang makan mengharap belas kasihan saudara-sauadaraku. Tak jarang aku akan berkelahi dengan pemilik rumah karena mereka cerewet sekali yang protes bajuku numpuk belum dicucilah, kamar yang aku tempati berantakanlah. Beginilah nasib orang yang numpang, selalu disalahkan dan tidak bisa hidup bebas. Aku benci kehidupan yang seperti ini.Saat Putra mulai dewasa ku paksa dia kerja. Namun susah sekali membujuknya merantau. Aku sudah sangat risih melihatnya menganggur, pergi ngluyur tidak jelas bersama teman-temannya. Bahkan dia sering pulang dalam keadaan mabuk.Karena ulah Putra yang sering pulang mabuk, kami diusir oleh keluarga
Pov PutraTok...tok...tok...Suara ketukan pintu terdengar, aku enggan beranjak dari tempat tidur. Dita sangat liar di ranjang membuatku cukup kewalahan. Aku cape, aku ingin istirahat. Hanya dengan melayani Dita aku berharap bisa mendapatkan semua yang ku inginkan. Wanita haus sentuhan itu pasti akan memberikan semua hartanya untukku pelan-pelan.Dita bangkit memakai bajunya kemudian membuka pintu kamar."Iya, Bu. Ada apa?" suara lembut Dita terdengar menyapa ibuku."Ibu cuma mau minta uang. Stok makanan didapur habis semua.""Owh uang, ya? Aku jarang bawa uang cash, Bu. Soalnya orang kaya sepertiku selalu bawanya kredit card kemana-mana. Aku nggak suka bawa uang cash karena takut kerampokan."Jawaban Dita membuatku terbelalak kaget. Rasa kantukku jadi hilang. Bisa-bisanya setelah kupuaskan dia malah pelit banget sama ibuku. Nggak ada niatan sema sekali dia balas budiku. Awas kamu, Dita!"Masa uang 100ribu pun tak ada?" Ibuku masih memaksanya memberikan uang. Kasihan ibuku, dia pasti
Pov Author"Mas, Putra!"Suara teriakan Dita seakan menimbulkan gempa bumi di rumah yang keluarga benalu itu tempati. Putra enggan beranjak dari tempatnya, dia tahu kesalahannya yang telah mencuri perhiasan milik istri barunya."Mas Putra!"Suara Dita makin keras, membuat emosi sang mertua."Kenapa diam saja. Istrimu panggil itu. Sakit telinga ibu mendengar teriakannya. Baru sehari jadi istrimu tapi sudah berani-beraninya teriak-teriak seperti itu. Harusnya yang boleh teriak cuma ibu. Ibu yang paling berhak dirumah ini, bukan anak ingusan itu!"Kepala Putra makin mau pecah mendengar repetan ibunya."Dita pasti sudah tau perhiasannya aku curi, Bu. Gimana ini?""Owh, kamu tak menyahut panggilannya karena takut dia marah. Tadi gaya-gayaan mau rampok rumahnya, sekarang baru denger teriakannya saja nyalimu sudah ciut seperti ini. Geli ibu lihat tingkahmu! kamu lelaki mental kerupuk!" oceh Situm."Bukan aku takut dia marah, Bu. Tapi kita kan masih butuhin dia. Pelit-pelit gitu dia masih ada
Pov Abel"Kamu yakin akan menjual rumahmu? kamu tak sayang, rumah itu kan satu-satunya kenanganmu bersama orangtuamu?" tanya Sisil ketika kami makan siang bersama di rumahnya. Sisil kurang setuju jika aku harus menjual rumah peninggalan orangtuaku."Tidak ada cara lain untuk membuat para benalu itu keluar rumah, Sil. Meskipun nantinya aku berhasil mengusir mereka, mereka akan tetap kembali jika tahu aku yang masih memiliki rumah itu." jawabku frustasi."Kamu tak perlu menjualnya, Bel. Kamu kontrakin saja rumah itu pada orang lain. Nanti para benalu itu pikir pasti kamu sudah menjualnya dan enggak akan pernah berani datang lagi ke rumah itu." Mas Heru ikut menyahut obrolan kami."Tapi bagaimana caranya aku mengusir mereka. Mereka terlalu bandel dan keras kepala. Bukan sekali dua kali aku usir mereka, sudah puluhan kali. Tapi enggak mempan sama sekali.""Kamu percayakan saja semua urusan itu padaku kali ini, Bel. Aku akan menyewa pereman untuk mengusir para benalu itu." ucap Mas Heru ke
Pov HeruSudah hampir maghrib, keributan terjadi di depan rumah. Aku, istriku dan Abel sudah bisa menebak siapa yang datang. Satu jam lalu aku menyuruh pereman mengusir para benalu dirumah Abel. Agaknya mereka tak terima kemudian langsung menuju ke rumahku.Sesuai dugaan, yang datang benar-benar ibu mertua Abel. Tapi perempuan yang bersamanya tak kusangka ikut muncul di depan pagar rumahku. Kenapa bisa dia ada bersama mertua Abel? Apa dia pelakor yang diceritakan Abel, hingga Abel memilih keluar dari rumahnya?"Mas Heru?""Dita?"Keributan tertunda karena semua mata fokus padaku dan Dita. Seolah meminta penjelasan padaku kenapa bisa aku mengenal perempuan bernama Dita itu."Siapa wanita itu? kenapa kamu mengenalnya, Mas?" Sisil mulai menodongku dengan sebuah pertanyaan yang membuatku gugup."Dia anak salah satu peminjam dikoprasi milik, Mas." jawabku lancar. Untunglah istriku percaya begitu saja."Owh, gitu. Kirain siapa tadi.""Kamu masuk sekarang, ya. Bawa Abel kedalam. Orang hamil