Share

Kunjungan ke Rumah Opa

"Opa!"

Aina berlari kecil lantas memeluk Opa yang sedang menyiram tanaman. Opa bahkan sempat terdorong mundur ke belakang karena Aina memeluknya dengan terlalu semangat.

"Aina kangen banget sama Opa." Aina melepas pelukan, sekilas bening air mata terlihat dari sudut matanya. "Opa baik-baik saja, kan? Atau masih ada yang sakit?"

"Opa baik-baik saja, Aina." Opa mengusap lembut rambut Aina. "Jauh lebih baik."

"Itu Agamnya gak disuruh masuk?" Mama keluar dari dalam rumah. Mungkin karena mendengar suara keributan kecil yang sudah Aina ciptakan.

"Pagi, Ma!" Agam inisiatif menyapa lebih dulu. Berjalan mendekati Mama untuk mencium tangannya. "Bagaimana kabar Mama?"

"Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi melihat menantu kesayangan Mama berkunjung," ujar Mama dengan senang.

"Dari mana kau tahu kalau aku suka mangga, Agam?" Opa mendekat, ikut bergabung.

"Aina yang mengatakannya Opa. Jadi, kami membelinya sedikit. Agam pikir Opa akan menyukainya."

"Opa akan selalu suka apapun yang kamu bawa."

"Ayo, masuk. Kebetulan Mama sedang membuat kue coklat. Kau harus mencobanya. Itu kue kesukaan Aina. Dia bisa menghabiskan satu loyang penuh," seru Mama sembari merangkul Agam. Pemuda itu dengan alamiah mengikuti. Seolah itu hal yang biasa.

"Kau sedang memikirkan sesuatu?" Opa menepuk bahu Aina. Wajahnya sudah jauh lebih baik dari terakhir kali Aina melihatnya. Sepertinya Opa memang sudah baik-baik saja.

Aina menggeleng. "Bukan hal yang penting Opa."

Opa tertawa kecil. Jenis tawa yang Aina kenali.

"Kau pasti sedang memikirkan kenapa Agam bisa dengan mudah berbaur dengan keluarga kita, bukan?" tebak Opa.

Selalu saja. Opa bisa menebak dengan benar apa yang kerap Aina pikirkan. Apa memang yang ia pikirkan selalu se-transparan itu?

"Bukan begitu, Opa. Hanya saja-"

"Dia sungguhan mencintaimu, Aina," potong Opa. Aina menatapnya dengan alis terangkat. Agam ... mencintainya? 

"Sebagai sesama pria, Opa bisa melihatnya, Nak. Kau juga pasti bisa melihatnya kalau kau mengamatinya dengan baik. Walaupun Opa yakin, Agam akan menunjukkannya padamu dengan jelas," imbuh Opa sembari membawa Aina masuk ke dalam rumah.

"Kau mungkin belum menyukainya sekarang, tapi Opa percaya, kalian bisa saling mencintai suatu hari nanti. Saat itu datang, kau akan berterima kasih kepada Opa karena telah menikahkan kalian." 

Apa suatu hari itu sungguhan akan datang? Hati miliknya jelas sudah dimiliki oleh pemuda lain dan itu bukan Agam. 

"Opa, a-"

"Sayang, cobain deh kue buatan Mama. Enak banget."

Sayang?

Agam mengulas senyum lebar. Dia membawa potongan kecil kue dan menyuapi Aina yang masih terkejut dengan panggilan sayang yang tiba-tiba dari Agam.

"Enak, kan?"

Aina mengangguk. Dia jelas lebih dari tahu kalau kue coklat buatan mamanya enak. Yang aneh justru tingkah Agam. Sebenarnya apa yang tengah dia rencanakan?

"Mama bilang akan memberikan resepnya. Jadi, kita bisa coba bikin sendiri nanti." Kali ini Agam menyeka sudut bibir Aina yang belepotan oleh coklat. 

"Pengantin baru emang beda ya, vibesnya," goda Mama, membuat Aina tersadar dan menjauhkan tangan Agam dari bibirnya. Opa hanya terkekeh kecil.

"Gak harus banyak kok, Na. Mama rasa, Mama akan cukup dengan satu putri kecil dan pangeran tampan."

"Ma!" 

Semua orang tertawa, kecuali Aina. Tawa bahagia pertama dalam keluarga setelah kembalinya Opa dari rumah sakit. Keluarga mereka kembali hidup. Seolah kejadian saat Opa dilarikan ke rumah sakit tidak pernah terjadi. Bedanya, ada Agam dalam keluarga mereka saat ini.

Andai saja yang menikah dengannya saat itu adalah Bintang. Kebahagiaan ini mungkin akan jauh lebih baik. 

Aina memilih pergi ke kolam ikan di belakang rumah, meninggalkan Agam dengan mamanya di dapur. Opa kembali ke depan, lanjut menyiram tanaman. Dia memang sangat suka bersentuhan dengan alam. Pecinta lingkungan.

"Pasti sulit beradaptasi dengan Aina kan, Agam?" Mama bertanya sembari memotong wortel. Dia sedang menyiapkan makan siang.

"Apa Agam boleh jujur, Ma?" Agam inisiatif menawarkan diri untuk membantu mengupas kentang.

"Tentu. Kau sudah jadi bagian dari keluarga ini."

Agam mengangguk. Dia menghela nafas kecil sebelum berkata, "awalnya mungkin akan sedikit sulit, Ma. Kemarin saja Agam kelepasan sedikit. Agam tidak bermaksud memarahi Aina hanya saja situasinya begitu Ma."

Mama tersenyum kecil. Balas menatap Agam dengan sejenis tatapan membesarkan hati. "Kau selalu boleh menegur Aina saat dia membuat kesalahan Agam. Dia sudah menjadi tanggung jawabmu sekarang. Mama tebak kalau kemarahanmu kemarin murni karena kesalahan Aina, bukan?"

Agam menjelaskan kejadian Aina dan Nay. Dari mulai kedatangan Nay hingga saat Aina memarahi gadis itu hingga menangis. Mama mendengarkan dengan seksama. Sesekali tersenyum kecil.

"Aina memang begitu. Sedari kecil, dia tidak suka barang miliknya disentuh apalagi dirusak oleh orang lain. Dan karena tidak mempunyai adik, Aina kurang peka terhadap perasaan anak-anak. Juga mungkin itu karena pengaruh masa kecilnya yang kurang menyenangkan," jelas Mama. Ada sedikit raut sedih yang bisa Agam tangkap dengan jelas dari sana.

"Kalian baru saja menikah. Jadi, wajar kalau belum terlalu mengenal satu sama lain. Mama harap kau bisa sedikit lebih sabar saat sudah mengenal Aina lebih dalam, Agam. Dia gadis yang baik. Mama mengatakannya bukan karena dia anak Mama. Aina hanya masih suka bertingkah kekanak-kanakan. Masih suka seenaknya dan ah, kita mungkin bisa menghabiskan waktu satu hari penuh untuk menceritakan kekurangan Aina."

Agam tertawa sopan. "Agam sudah melihatnya beberapa, Ma."

"Ya, begitulah gadis itu. Untung kalian sudah menikah. Jadi, kau tidak bisa mendadak berubah pikiran, bukan?" 

"Tentu, Ma. Agam bahkan punya banyak alasan untuk tetap mempertahankan, Aina," tegas Agam. Karena baginya, menikahi Aina dan hidup bersama gadis itu selamanya adalah hal mutlak yang ingin dia perjuangankan. 

"Kalau begitu, kau susul-lah Aina ke belakang."

"Tapi ma, Agam kan mau bantuin Mama masak," tolak Agam dengan halus. Dia juga tidak mungkin menyusul Aina sekarang. Gadisnya bisa marah karena sudah memanggilnya sayang tadi.

Mama menolak dengan tegas. "Mama bisa masak sendiri, Agam. Mama sudah melakukannya puluhan tahun. Lebih baik kau susul saja, Aina. Sejauh yang Mama tahu, Aina akan lebih mudah dekat dengan seseorang setelah sering banyak mengobrol."

Mengobrol? Agam menggigit kecil bibirnya. Antara dirinya dan Aina jelas lebih sering ada adu mulut dibandingkan mengobrol.

"Percaya sama Mama, Agam." 

Agam meneguk ludah lantas memilih menuruti nasehat dari ibu mertuanya. Baiklah, dia akan mencoba. Tidak ada salahnya juga.

"Awas!"

Byur!

Terlambat. Agam yang baru menginjakkan kaki di area belakang rumah sempurna basah kuyup. Bukannya membantu, Aina justru tertawa riang mendapati tubuh Agam terjatuh ke dalam kolam ikan. 

"Makanya jalan tuh pake mata! Makan tuh air kolam."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status