Share

Kontrak Non-eksklusif

"Kau sudah sadar, Aina. Tidak perlu berpura-pura seperti itu." Agam meneguk kopinya yang sudah dingin.

Hari sudah malam. Saat ini mereka sedang berada di kediaman Agam. Saat pingsan di rumah sakit tadi, Agam memang sengaja membawa istri barunya itu ke rumah miliknya, bukan rumah keluarga Aina.

Aina mengehela nafas kasar. Membuang selimut yang menutupi tubuhnya.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" 

Agam tersenyum, dia meletakan cangkir kopinya di meja. 

"Ini rumahku dan sekarang menjadi milikmu juga. Tidak ada salahnya kalau kita bermalam di sini, bukan?"

Aina mendengus sebal. Dia memang sudah sadar setengah jam yang lalu. Otaknya langsung mencerna apa-apa saja yang sudah terjadi. Kondisi Opa. Pernikahan itu. Semuanya itu nyata terjadi.

Gadis itu masih mencoba mencari jalan keluar saat Agam membuka pintu kamar dan duduk di atas sofa, mungkin menungguinya sadar. Sialnya akting pura-pura tidurnya masih minim sehingga mudah saja Agam mengetahuinya.

"Tapi kalau kau menginginkan kamar di sebuah hotel untuk malam pertama kita, aku tidak keberatan. Kita bisa-"

Bugh!

Aina lebih dulu melempar bantal. Akan tepat mengenai wajah Agam bila saja pemuda itu tidak refleks menangkap bantal tersebut.

"Bisakah kau diam?!" 

Agam tersenyum kecil. Wajah gadisnya saat marah ternyata lucu juga. Ah, gadisnya, kata itu, sekarang Agam bisa menggunakannya.

"Aku tahu kita sudah menikah, tapi kau juga tahu kalau aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini." Aina berseru tegas. Ya, dia harus menunjukkan posisinya dalam ketidaksetujuan menerima pernikahan konyol itu.

"Harus ada kontrak yang jelas di pernikahan kita. Aku akan mengajukan syarat yang harus kau penuhi."

"Syarat?"

"Kau juga boleh mengajukan syarat apapun."

"Apapun?" Agam tersenyum penuh misteri saat mengatakannya.

"Harus logis," Aina langsung menambahkan. Instingnya jelas mengatakan kalau Agam menyimpan sesuatu keinginan yang akan merugikannya.

"Sekarang aku minta pulpen dan kertas."

Agam menyiapkan pulpen dan kertas sesuai permintaan Aina. Mereka sudah pindah ke meja makan untuk mendiskusikan kontrak yang Aina maksud.

Dua puluh menit kemudian, Aina menyerahkan kertas miliknya yang sudah penuh dengan poin-poin syarat yang harus Agam penuhi.

"Baca dengan teliti dan kau harus memberikan tanda tanganmu di bawahnya."

Agam melihat nama Aina tertera di bagian paling bawah pojok kiri lengkap dengan tanda tangan miliknya. Di pojok kanan, sudah tertera nama lengkapnya dan tempat khusus untuk tanda tangannya nanti. 

"Kontrak Non-eksklusif?" Agam membaca judul yang tertera di bagian atas. 

Aina mengangguk. "Ya, kontrak Non-eksklusif. Kau boleh membuat kontrak dengan wanita lain, aku tidak peduli."

Agam tidak ambil hati penjelasan yang Aina berikan. Dia akan fokus membaca syarat yang gadis itu ajukan.

"Kontrak Pernikahan Non-eksklusif. Pertama, tidak boleh memberitahu siapapun kalau kita sudah menikah. Kenapa?"

"Karena aku tidak mau orang lain tahu kalau kita sudah menikah. Kita jelas tidak berharap kalau pernikahan ini akan berlangsung lama, bukan? Tetap merahasiakannya adalah keputusan terbaik untuk kita."

"Baiklah." Agam setuju. Dia bisa menerimanya.

"Poin ke-dua, tidak boleh ada sentuhan fisik." Agam meletakan kertas di atas meja. Itu cukup berat baginya. "Bagaimana mungkin itu terjadi, Aina?"

"Kenapa tidak? Rumah ini luas. Kita tidak harus duduk berdempetan." Aina menjawab dengan santai.

Agam mencoba memikirkan alasan lain yang lebih masuk akal.

"Bagaimana kalau itu membuat keluarga kita jadi sadar dan tahu kalau ada yang aneh di pernikahan kita?"

Benar juga. Aina melupakan poin penting itu.

"Kalau begitu, kita boleh pegangan tangan." 

Agam terkekeh. "Kau pikir mereka percaya dengan hanya melihat kita berpegangan tangan?"

"Memangnya tidak?"

Agam berdecak. "Orang yang tidak menikah pun bisa saling berpegangan tangan. Apa bedanya dengan kita yang sudah menikah?"

"Dan sebuah pelukan. Itu jelas sudah lebih dari cukup, bukan?" Aina mencoba memberikan tawaran yang lebih baik menurut standar versinya.

Agam menggeleng.

"Kau jelas buruk dalam hal ini." Pemuda itu mencoret poin yang Aina tulis lantas menuliskan gantinya persis di bawahnya.

"Ini jelas lebih masuk akal." Agam menyerahkan kertas itu, membiarkan Aina membaca poin yang sudah dia revisi.

"Sentuhan fisik boleh dilakukan sesuai kebutuhan." Aina menatap Agam dengan penuh selidik. "Apa cuma aku yang merasa kalau ini terkesan merugikanku dan justru menguntungkanmu?"

"Apa maksudmu menguntungkanku, Aina?" 

"Merujuk poin ini kau jelas bisa menyentuhku sesukamu bila itu dibutuhkan. Itu jelas merugikanku." Aina menuliskan sesuatu sebagai tambahan di poin itu, lantas memberikannya kembali pada Agam.

"Atas persetujuan ke-dua belah pihak." 

Agam menatap Aina dan kertas di tangannya bergantian. Jemarinya mengetuk meja, pelan dan berulang.

"Oke, not bad," putus Agam. 

"Poin ke-tiga, tidur di kamar yang terpisah. Poin ke-empat, tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Poin ke-lima, urusan rumah tangga ditiadakan. Maksudnya, aku tidak harus menjalankan peran sebagai seorang istri dan kau tidak perlu bertingkah seolah layaknya suami."

Agam menimbang, menatap Aina yang sudah asik meminum teh hijau. Baiklah, setidaknya Agam sudah menikahi Aina. Persyaratan itu jelas hanya omong kosong saat Agam berhasil membuat Aina jatuh cinta.

"Aku akan memenuhi semua syarat yang kau ajukan." Agam membubuhkan tanda tangan dengan mantap. Dia mengembalikan kertas itu kepada pemiliknya sembari memberikan juga kertas yang berisi syarat yang dia ajukan.

Aina langsung membaca kertas milik Agam. Hanya berisi dua poin singkat.

"Sarapan dan makan malam bersama?"

Agam mengangguk. Itu poin pertama yang ia ajukan. Dilihat dari ekspresi gadis itu saat ini, dia jelas akan menolak. Untuk itu, Agam segera menjelaskan alasan logis menurut versi miliknya.

"Hanya sarapan dan makan malam, itu hal sederhana yang dua orang teman pun bisa lakukan. Kau juga tidak perlu memasak. Aku yang akan menyiapkannya." 

Aina tidak menolak juga tidak setuju. Dia memilih membaca poin syarat selanjutnya.

"Tidak boleh bercerai sebelum dua tahun?" Aina membanting kertas itu ke meja. "Itu jelas tidak masuk akal, Agam."

Agam tersenyum kecut. 

"Kalau kau melakukan pernikahan ini hanya untuk berpura-pura memenuhi keinginan Opa, maka aku tidak akan pernah menjadikan pernikahan ini hanya untuk permainan anak-anakmu." 

Aina tertegun. Satu hal kini yang ia tahu setelah mengenal Agam dua puluh empat jam belakangan. Pemuda itu, saat sedang serius, wajah dan suaranya terdengar begitu menakutkan.

"Kita sudah dewasa. Tentu kau paham kalau pernikahan singkat apalagi kurang dari dua tahun, akan membuat spekulasi jelek tidak masuk akal bertebaran. Itu bisa merusak image yang sudah aku bangun, juga bisa sangat menyakiti hati mamaku. Setidaknya bisakah kau pikirkan dari sudut pandangaku untuk satu hal itu?"

Aina tidak langsung menjawab. Ucapan Agam ada banyak benarnya, tapi dua tahun itu terlalu lama. Apakah Aina bisa bertahan selama itu?

"Hanya dua tahun Aina dan bila mengingat ucapanmu tadi siang, kau bahkan belum ada rencana untuk menikah dua tahun ke depan, bukan?"

Aina menutup mata, menghela nafas panjang. Agam membiarkannya, menunggu dengan sabar. Pun saat Aina membuka mata dan meraih pulpen dengan ragu. Agam masih diam. Hingga gadis itu sempurna menggoreskan pulpen, membubuhkan tanda tangannya di sana.

"Hanya dua tahun. Aku akan menahannya." Aina mengulurkan tangan.

Agam menyambut dengan senang hati. Itu tanda perjanjian sudah disetujui oleh ke-dua belah pihak.

Hanya dua tahun memang. Namun, bagi Agam itu lebih dari cukup untuk membuat Aina, gadisnya itu jatuh cinta.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status