Hai teman-teman terima kasih sudah mampir di cerita terbaru aku. semoga suka
"Mas tolong janganlah maarah, aku sudah mengatakan sejujurnya. Katamu tadi kan, meski pahit kejujuran itu harus di utarakan. Ini juga untuk kebaikan semua Mas, jadi aku mengatakan semuanya sekarang kepadamu," kataku sambil memegang tanganya.Mas Ridwan masih saja diam, menatap kedepan tanpa memperhatikan ku. Aku tahu ini pasti berat baginya, tak mudah pula bagiku menerima jika aku berada di posisinya."Mas, tak ada yang lain lagi dalam hati ini selain namamu. Meski siapapun yang datang, tak akan pernah merubah perasaanku kepadamu. Adalah suatu hal yang bodoh, jika aku menduakanmu hanya untuk kembali kepada laki laki pengecut seperti dia. Percayalah kepadaku Mas." kataku sambil menangis dan mencium tangannya.Sesaat kemudian, dia merengkuh aku ke dalam pelukannya dan kembali menciumi pucuk kepalaku."Astaghfiruahaladzim. Maafkan aku ya Dek, yang tadi sempat terbawa emosi, karena jujur rasa cemburu dan takut kehilanganmu, itu seketika merasuki kepalaku. Sebenarnya sungguh sulit bagiku m
"Sejak kapan kamu punya tekevisi di kost?" tanyaku lagi."Eh itu Kak, maksudku di kamar kost nya Santi, temanku itu lo Kak, hehehhe. Lagi ngerjain tugas sambil nonton televisi," katanya yang kurasa sedikit janggal."Oooo. Mas Ridwan besok ingin bertemu dengan Adit, bisa kan kamu sampaikan kepadanya? Atau kamu ngomong sendiri saja sama Mas Ridwan?" Aku tak ingin tanya panjang lebar lagi kepada Vania, tentang dimana dia saat ini. Ada yang lebih penting saat ini, toh sebentar lagi dia kuga sudah menikah dan akan menjadi tanggung jawab orang lain."Ku kirim nomer teleponnya Mas Adit saja ya Kak. Biar Mas Ridwan bicara sama dia aja. Ku kirim lewat chat ya Kak. Teleponnya aku matiin ya," katanya sepertinya sedang tergesa gesa.Vania mematikan sambungan telepon kami, tanpa mengucapkan salam. Selang satu menit dia sudah mengirimkan nomer telepon Adit, dan aku pun meneruskan pesan itu kepada Mas Ridwan, dan dia pun langsung meneleponnya.Dan panggilan itu segera di jawab olehnya, dan Mas Ridw
"Dek, nanti aku akan pulang agak telat ya, soalnya kan nanti langsung nemui si Rama alias Adit itu. Dan jangan lupa doakan agar hari ini uang gaji itu sudah turun ya, Dek." kata Mas Ridwan sambil mengenakan sepatunya di teras."Iya, Amiiin Mas. Aku yakin Mas Ridwan bisa menjaga emosi demi kebaikan kita semua. Ingat juga, Mas. Di hatiku saat ini dan nanti hanya ada kamu saja." kataku sambil mengedipkan mata."Iya, Dek. Aku tahu kok, hehehe. Gita, sudah belum, Nak? Sudah pukul tujuh kurang lima belas menit loh ini." teriaknya.Setiap pagi, memang Gita akan berangkat ke sekolah bersama Ayahnya, meskipun arah mereka berbeda, tapi Mas Ridwan selalu mengantar Gita dahulu, kemudian berbalik arah ke tempat kerjanya. Saat pulang sekolah, aku lah yang gantian akan menjemputnya. "Gita sudah siap kok, Yah. Bun, Gita berangkat dulu ya. Assalamualaikum." kata Gita sambil mencium tanganku."Waalalaikumsalam, hati hati ya, Nak. Jangan jajan sembarangan ya. Dan ingat, tetap disekolah saja ya, hingga
Pov AuthorSepulang kerja pukul empat sore, Ridwan langsung menuju sebuah taman yang telah di tentukan sebagai tempat nya bertemu dengan Rama alias Adit. Setealah menunggu di kursi taman sekitar sepuluh menit, dia pun sepertinya mulai tak sabar lagi menunggu, dan menelepon Adit."Asallamualaikum, Dit. Kamu dimana sih? Aku sudah menunggumu disini sejak sepuluh menit yang lalu!" katanya melalui handphone sambil sedikit emosi."Waallaikumsalam, Mas Ridwan. Tenang Mas, ini aku sudah sampai di parkiran. Aku akan segera berjalan menuju tempatmu duduk. Maaf ya Mas." jawab Adit, sepertinya sambil tergesa gesa.Kemudian panggilan telepon itu pun di akhirinya, tanpa ada salam penutup terucap. Demi melihat sosok Adit yang datang berjalan kaki kearahnya, tanganya mengepal, sangat ingin sekali dia menghajar laki laki itu. Sosok laki laki yang dulu menghancurkan hidup istrinya, dan kini merenggut masa depan adik iparnya pula."Maaf ya, Mas. Tadi jalanan sempat macet, kan barengan sama orang orang p
"Tadi siang kebetulan aku sudah bicara dengan Papa dan juga Mama. Dan aku pun jujur kepada mereka tentang keadaan Vania saat ini, dan juga tentang hubunganya dengan Siska. Meskipun awalnya Mama sedikit menolak, namun akhirnya mereka setuju. Apalagi Papa saat ini sering sakit sakitan, dan sangat menginginkan kehadiran seorang cucu." kata Adit, dengan menunduk."Tapi, apakah kamu yakin, kalau kejadian seperti dulu tak akan terulang lagi?""Tidak, Mas. Aku sudah mengantisipasi semuanya. Besok malam, aku dan keluarga akan ke rumah Mas Ridwan, untuk meminang Vania, dan menentukan hari pernikahan.""Oke, aku percaya padamu. Secepatnya pernikahan itu harus terlaksana Dit." tambah Ridwan."Iya, Mas. Pasti. Setelah menikah nanti aku sudah menyiapkan rumah mungil untuk kami tempati bersama, dan juga aku akan memberi kebebasan pada Vania, seandainya dia ingin tetap melanjutkan kuliahnya lagi.""Baguslah kamu bisa menghargai Vania. Sebenarnya aku kuramg percaya kalau kamu itu lelaki pengecut dan b
Setelah mengantarkan pesanan kue, aku pun mampir ke toko buah, untuk membeli beberapa macam buah untuk tambahan suguhan acara lamaran nanti, kebetulan aku tadi sudah membuat beberapa kue. Kemudian, aku pun balik ke rumah, karena masih pukul sebelas siang, masih terlalu lama juga jika menunggu Gita disekolah. Lebih baik pulang dulu, untuk beres beres.Saat berbelok di tikungan terakhir menuju rumahku, kulihat ada sebuah mobil pajero hitam, berhenti tepat di depan rumahku. Mobil siapa itu? Aku pun menghentikan motorku, di depan sebuah kebun kosong yang terletak disamping kanan rumahku, sepertinya orang di dalam itu,tak melihat kehadiranku. Dari kaca spion sebelah kiri, terlihat seorang laki laki dengan rambut klimis dan kaca mata hitam, usianya kurasa sudah sekitar tiga puluhan, dan tangan kananya di julurkan keluar mobil sambil menjepit sebatamg rokok disela jarinya.Aku sangat kaget, karena ternyata kemudian, Vania keluar dari mobil itu. Kemudian dia melambaikan tangan kepada pengemud
"Jangan berkata seperti itu, Mas. Justru, Ayah dan Ibu akan sangat berterima kasih, atas semua pengorbanan yang Mas berikan untuk membesarkan dan menyayangi Vania. Aku sangat tahu kamu sudah berusaha sebaik mungkin, namun Vania sendiri lah yang tak bisa menjaga diri, dan memang juga sudah takdirnya Vania memang seperti ini, Mas. Seperti katamu tempo hari, tak ada yang perlu disesali lagi. Yang penting saat ini kita harus mendoakan untuk kebahagiaan Vania kedepannya. Dan mempersiapkan hari bahagianya." kataku sambil memegang tanganya."Iya benar semua katamu, Dek. Vania sebentar lagi akan mempunyai anak. Kita akan menjadi Pakde dan Bude, namun sebenarnya aku lebih seneng kalau nanti anak Vania memanggilku Kakek. Hahahha." katanya sambil tertawa."Hemmmm ngawur saja kamu itu, Mas. Masih belum pantes lah kamu dipanggil Kakek. Suamiku belum setua itu kali." Dua buah mobil sedan mewah berwarna putih dan hitam metalik memasuki pekarangan rumahku yang tak seberapa luas itu. Pasti mereka adal
"Dek, tolong doakan ya, Dek. Soalnya di tempat kerjaku sekarang situasinya lagi memburuk, nasabah banyak sekali yang menunggak, dan sulit sekali ditagih. Mungkin juga memang karena kondisi saat ini yang serba sulit, jadi berdampak pada perekonomian. Sedangkan anaknya Pak Bos juga kemaren mengalami kecelakaan lalu lintas, dia menabrak seseorang dan terus meninggal. Karena usaha beliau kan hanya tinggal itu, jadi ya mau tidak mau ngambil uangnya ya dari situ. Kalau tetap begini terus, aku rasa akan ada pengurangan karyawan. Kemaren saja marketing dan juga debt collector, sebagaian sudah di rumahkan." Itulah kata kata yang semalam di ucapkan oleh Mas Ridwan sebelum kami tidur. Semoga semuanya lekas membaik ya Allah, agar tak berimbas juga pada karyawannya. Ku pandangi motor yang membawa dua irang yang sangat kucintai itu, hingga berbelok di tikungan, pagi itu. Dimanapun dan kapanpun selalu lindungi mereka ya Allah.Aku pun kembali masuk ke dalam rumah, beres beres. Dan kemudian akan me