Harusnya hari ini aku menjenguk Rahi. Namun, ternyata acara penen ikan enggak bisa rampung lebih cepat, karena kami masih harus menyortir juga memilih pesanan pelanggan mana yang harus didahulukan, karena persediaan ikan terbatas.Semua pekerjaan baru bisa rampung pukul delapan malam. Aku baru akan memesan taksi, saat mendengar suara klakson enggak asing mendekat. Mataku menyipit ketika cahaya dari lampu sorot terarah ke muka.Aku sempat memejam sebentar, sebelum membuka mata dan menemukan Gatan baru turun dari mobil. Decakan langsung lolos dari mulutku."Kamu ngapain lagi?"Seharusnya aku enggak menyetujui tawarannya kemarin. Dalam pikiranku, dia sungguh mau membantu. Mungkin, dia iba atau merasa bersalah. Ternyata, lelaki itu menyimpan banyak muslihat.Kubilang, uang untuk membeli segala keperluan hamil ditransfer saja. Namun, lelaki itu mengantarnya secara langsung."Kalau aku transfer ke rekening kamu, bakal mencurigakan. Kamu mau ketahuan Inara?"Alasannya masuk akal. Namun, teta
Perutku kenyang setelah menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Gatan. Ternyata, dia bisa memasak. Kukira, nasi goreng buatannya akan terlalu asin atau malah hambar.Gatan sibuk membereskan perlengkapan makan, aku tersenyum-senyum menontoni ombak kecil yang terus-terusan mendatangi bibir pantai. Saat mendongak, kerlip dari bintang-bintang yang bertaburan menyambut.Berkemah di tepian pantai memang sesuatu.Meski ada rasa kesal karena harus membiarkan Gatan ikut, aku berusaha enggak mengacaukan liburan ini. Kemping di pinggir pantai adalah keinginanku sejak dulu.Dulu, beberapa kali aku merencanakan melakukan hal ini dengan teman SMA. Namun, selalu ketahuan Ibu. Alhasil, karena Inara enggak boleh diajak, aku juga dilarang bersenang-senang.Ketika lulus SMA, aku sibuk kuliah, lalu setelahnya sibuk mencari uang. Enggak punya waktu untuk bersenang-senang dan jalan-jalan. Pun, Ibu masih melarang aku melakukan hal-hal yang kusukai karena enggak mau Inara cemburu.Jadinya, baru bisa dilakuk
Belum juga pertanyaan soal dari mana Gatan tahu alamat tempat budidaya ikan terjawab, sekarang aku harus penasaran tentang dari mana Ibu tahu rumahku. Mengapa bisa wanita itu muncul di depan rumah sepagi ini, dengan wajah merah padam?"Ibu?"Gatan baru berkata begitu, aku sudah melihat Ibu berjalan cepat menghampiri. Aku tahu marabahaya sedang mendekat, jadi aku ambil ancang-ancang untuk lari. Namun, usahaku gagal.Ibu berhasil menjangkau kepala dan menarik sejumput rambutku. Ditariknya kuat, sampai aku terjatuh ke belakang, bokong menyentuh tanah, lalu nyeri mulai menyebar."Tega sekali kamu berselingkuh dengan suami adikmu, hah! Dasar perempuan liar!"Ibu memberikan pukulan seperti orang kerasukan. Tenaganya kuat sekali. Kepala, wajah, bahu, punggung, semua bagian tubuhku kena pukul. Beruntung aku masih sanggup memeluk perut dan melindungi area itu dari tepukan telapak tangan Ibu yang kencang."Lelah Ibu menasihati kamu, Anesya
Gatan yang baru masuk langsung berdecak dengan tatapan tajam ke arah dada. Aku ikut menatap ke sana, lalu sadar kalau kancing piyama terbuka dan dadaku kelihatan. Ini pasti karena tergesa-gesa bertukar baju dan ingin cepat-cepat tidur.Setelah merapikan pakaian, gantian aku yang berdecak. Memasang wajah kesal atas kehadirannya ini. Kenapa pria itu harus datang lagi? Apa dia kurang puas melihatku harus sampai berakhir di rumah sakit karena digebuki Ibu?Dua hari lalu, aku demam sehabis dipukuli Ibu dan kehujanan. Gatan membawaku ke rumah sakit, dokter menyarankan untuk dirawat dua hari. Aku sudah senang karena sejak kemari Gatan enggak menampakkan batang hidung, eh, sore ini dia timbul."Jangan kira aku suka lihat kamu." Gatan duduk di samping ranjang yang aku baringi sembari beberapa kali berdeham. "Aku datang untuk lihat dan tahu keadaan anak aku."Aku mencibir enggak peduli. "Besok pagi aku pulang. Habis itu, tolong, jangan datang lagi."
Untuk Anakku yang paling cantik sedunia, Anesya.Membaca selarik pembukaan surat yang ditinggalkan Ibu kemarin, aku langsung tahu jika surat ini pasti dari Rudi, ayahku. Belum apa air mata sudah jatuh bercucuran.Anesya anaknya Rudianto. Anakku. Saat kamu baca surat dari Ayah ini, pasti keadaanmu tidak sedang baik dan Ayah tidak lagi bersamamu. Pertama, Ayah minta untuk tidak terlalu banyak menangis. Anes tidak cantik kalau banyak menangis. Ayah lebih suka kalau Anes tersenyum.Ayah hanya berharap Ibumu mau membagi ceritanya dengan cara baik."Baik apanya?" sungutku seraya mengusut air mata. "Ibu bilang aku pelac*r kemarin, Ayah. Dia bilang harusnya aku dib*nuh aja pas masih dalam kandungan."Kamu memang bukan darah daging Ayah.Dadaku sesak, berdenyut nyeri, seolah baru saja ada batu besar yang ditaruh di sana. Jadi, benar aku bukan anak Ayah?Kamu sudah bersama Ibumu saat Ayah bertemu kalian. Waktu itu, sore-sore pula
Rahisa yang sudah sadar dari koma membawa pengaruh baik untuk hidupku. Sekarang, apa-apa aku punya orang yang bisa ditanyai. Kalau aku lupa, ada yang mengingatkan. Dan kalau aku salah, ada Rahisa yang akan mentertawakan.Seperti sekarang. Perempuan yang sudah boleh pulang dari rumah sakit itu sedang terbahak-bahak sesudah melihat dan membaca wishlist yang kubuat. Dia mengataiku maniak, setelah membaca salah satu dari lima hal yang masih bisa kulakukan, meski lagi hamil."Siapa, sih, yang kasih inspirasi ke kamu, Anes? Punya keinginan kok, ya muluk tenan?"Rahisa menaruh buku catatanku ke atas kasur. Tawanya masih sesekali terdengar, saat dia mendekat padaku yang duduk bersandar ke kepala tempat tidur."Dibayanganmu, siapa yang akan lakuin wish nomor lima itu ke kamu?" Mata Rahisa memicing, aku kesal melihat sorot mengolok di sana.Aku membuang wajah. "Mana aku tahu!""Halah!" Dia mendengkus. "Aku bisa baca isi kepalamu tahu. Past
"Aku rasa kamu enggak perlu pindah lagi, deh."Pada Rahisa yang bicara aku memberi tatapan putus asa. Saat ini kami ada di ruang tamu rumahku. Rahisa datang satu jam lalu. Perempuan itu sudah membantu membereskan pekerjaan rumah dan memasak sejak tadi.Niat untuk pindah itu terpikirkan kemarin malam. Setelah puas menangis karena mengingat Ayah, aku mengira harus pindah lagi.Ibu sudah tahu tempat ini. Gatan juga. Bukan enggak mungkin Inara juga akan segera datang. Bisa bahaya kalau sampai Inara tahu aku hamil. Dia pasti mendesak untuk diberitahu siapa ayah bayiku.Lain denganku yang berpendapat pindah adalah jalan baik, Rahisa malah menentang."Sampai kapan kamu mau menghindar? Selama Ibu sama Gatan menyimpan ini, Inara pasti enggak akan tahu soal kehamilan kamu."Wajahku tertekuk sewaktu berbalas tatap dengan Rahisa. "Seenggaknya, kalau aku pindah, mereka enggak akan datang. Aku capek diganggu. Aku rasa butuh tenang dan fokus sama si Bayi sampai dia lahir."Bagaimana kalau Ibu memaks
Rahisa masuk ke kamar saat aku baru saja hendak menutup mata. Perempuan itu memberi senyum teduh, kemudian duduk di tepian ranjang. Memeriksa suhu tubuh dengan menaruh telapak tangan di dahi, lalu menanyakan apa ada yang sakit, lalu menawarkan makanan.Dia sudah begitu sejak tiga hari lalu. Sejak aku memutuskan untuk enggak pergi dari ranjang, kecuali untuk ke kamar kecil. Rasanya aku masih enggak punya selera untuk melakukan apa pun. Semua terlihat berantakan, gelap dan suram.Bahkan, meski sangat ingin ke rumah Ayah, aku enggak berani melakukannya."Dia datang lagi," kata Rahisa pelan dan hati-hati.Mataku memicing. "Kan aku udah bilang. Enggak mau ketemu dia. Suruh dia pulang."Gatan kemari kemarin sore. Aku minta tolong Rahisa untuk mengusir lelaki itu. Aku enggak mau ketemu dia lagi. Sudah cukup urusan kami. Kalau dia memang mau bertanggungjawab soal anaknya, bisa kirim uang lewat transfer."Dia kelihatan melas banget, Nes."Aku menggeleng enggak peduli. Itu pasti hanya akal-akal