Belum juga pertanyaan soal dari mana Gatan tahu alamat tempat budidaya ikan terjawab, sekarang aku harus penasaran tentang dari mana Ibu tahu rumahku. Mengapa bisa wanita itu muncul di depan rumah sepagi ini, dengan wajah merah padam?"Ibu?"Gatan baru berkata begitu, aku sudah melihat Ibu berjalan cepat menghampiri. Aku tahu marabahaya sedang mendekat, jadi aku ambil ancang-ancang untuk lari. Namun, usahaku gagal.Ibu berhasil menjangkau kepala dan menarik sejumput rambutku. Ditariknya kuat, sampai aku terjatuh ke belakang, bokong menyentuh tanah, lalu nyeri mulai menyebar."Tega sekali kamu berselingkuh dengan suami adikmu, hah! Dasar perempuan liar!"Ibu memberikan pukulan seperti orang kerasukan. Tenaganya kuat sekali. Kepala, wajah, bahu, punggung, semua bagian tubuhku kena pukul. Beruntung aku masih sanggup memeluk perut dan melindungi area itu dari tepukan telapak tangan Ibu yang kencang."Lelah Ibu menasihati kamu, Anesya
Gatan yang baru masuk langsung berdecak dengan tatapan tajam ke arah dada. Aku ikut menatap ke sana, lalu sadar kalau kancing piyama terbuka dan dadaku kelihatan. Ini pasti karena tergesa-gesa bertukar baju dan ingin cepat-cepat tidur.Setelah merapikan pakaian, gantian aku yang berdecak. Memasang wajah kesal atas kehadirannya ini. Kenapa pria itu harus datang lagi? Apa dia kurang puas melihatku harus sampai berakhir di rumah sakit karena digebuki Ibu?Dua hari lalu, aku demam sehabis dipukuli Ibu dan kehujanan. Gatan membawaku ke rumah sakit, dokter menyarankan untuk dirawat dua hari. Aku sudah senang karena sejak kemari Gatan enggak menampakkan batang hidung, eh, sore ini dia timbul."Jangan kira aku suka lihat kamu." Gatan duduk di samping ranjang yang aku baringi sembari beberapa kali berdeham. "Aku datang untuk lihat dan tahu keadaan anak aku."Aku mencibir enggak peduli. "Besok pagi aku pulang. Habis itu, tolong, jangan datang lagi."
Untuk Anakku yang paling cantik sedunia, Anesya.Membaca selarik pembukaan surat yang ditinggalkan Ibu kemarin, aku langsung tahu jika surat ini pasti dari Rudi, ayahku. Belum apa air mata sudah jatuh bercucuran.Anesya anaknya Rudianto. Anakku. Saat kamu baca surat dari Ayah ini, pasti keadaanmu tidak sedang baik dan Ayah tidak lagi bersamamu. Pertama, Ayah minta untuk tidak terlalu banyak menangis. Anes tidak cantik kalau banyak menangis. Ayah lebih suka kalau Anes tersenyum.Ayah hanya berharap Ibumu mau membagi ceritanya dengan cara baik."Baik apanya?" sungutku seraya mengusut air mata. "Ibu bilang aku pelac*r kemarin, Ayah. Dia bilang harusnya aku dib*nuh aja pas masih dalam kandungan."Kamu memang bukan darah daging Ayah.Dadaku sesak, berdenyut nyeri, seolah baru saja ada batu besar yang ditaruh di sana. Jadi, benar aku bukan anak Ayah?Kamu sudah bersama Ibumu saat Ayah bertemu kalian. Waktu itu, sore-sore pula
Rahisa yang sudah sadar dari koma membawa pengaruh baik untuk hidupku. Sekarang, apa-apa aku punya orang yang bisa ditanyai. Kalau aku lupa, ada yang mengingatkan. Dan kalau aku salah, ada Rahisa yang akan mentertawakan.Seperti sekarang. Perempuan yang sudah boleh pulang dari rumah sakit itu sedang terbahak-bahak sesudah melihat dan membaca wishlist yang kubuat. Dia mengataiku maniak, setelah membaca salah satu dari lima hal yang masih bisa kulakukan, meski lagi hamil."Siapa, sih, yang kasih inspirasi ke kamu, Anes? Punya keinginan kok, ya muluk tenan?"Rahisa menaruh buku catatanku ke atas kasur. Tawanya masih sesekali terdengar, saat dia mendekat padaku yang duduk bersandar ke kepala tempat tidur."Dibayanganmu, siapa yang akan lakuin wish nomor lima itu ke kamu?" Mata Rahisa memicing, aku kesal melihat sorot mengolok di sana.Aku membuang wajah. "Mana aku tahu!""Halah!" Dia mendengkus. "Aku bisa baca isi kepalamu tahu. Past
"Aku rasa kamu enggak perlu pindah lagi, deh."Pada Rahisa yang bicara aku memberi tatapan putus asa. Saat ini kami ada di ruang tamu rumahku. Rahisa datang satu jam lalu. Perempuan itu sudah membantu membereskan pekerjaan rumah dan memasak sejak tadi.Niat untuk pindah itu terpikirkan kemarin malam. Setelah puas menangis karena mengingat Ayah, aku mengira harus pindah lagi.Ibu sudah tahu tempat ini. Gatan juga. Bukan enggak mungkin Inara juga akan segera datang. Bisa bahaya kalau sampai Inara tahu aku hamil. Dia pasti mendesak untuk diberitahu siapa ayah bayiku.Lain denganku yang berpendapat pindah adalah jalan baik, Rahisa malah menentang."Sampai kapan kamu mau menghindar? Selama Ibu sama Gatan menyimpan ini, Inara pasti enggak akan tahu soal kehamilan kamu."Wajahku tertekuk sewaktu berbalas tatap dengan Rahisa. "Seenggaknya, kalau aku pindah, mereka enggak akan datang. Aku capek diganggu. Aku rasa butuh tenang dan fokus sama si Bayi sampai dia lahir."Bagaimana kalau Ibu memaks
Rahisa masuk ke kamar saat aku baru saja hendak menutup mata. Perempuan itu memberi senyum teduh, kemudian duduk di tepian ranjang. Memeriksa suhu tubuh dengan menaruh telapak tangan di dahi, lalu menanyakan apa ada yang sakit, lalu menawarkan makanan.Dia sudah begitu sejak tiga hari lalu. Sejak aku memutuskan untuk enggak pergi dari ranjang, kecuali untuk ke kamar kecil. Rasanya aku masih enggak punya selera untuk melakukan apa pun. Semua terlihat berantakan, gelap dan suram.Bahkan, meski sangat ingin ke rumah Ayah, aku enggak berani melakukannya."Dia datang lagi," kata Rahisa pelan dan hati-hati.Mataku memicing. "Kan aku udah bilang. Enggak mau ketemu dia. Suruh dia pulang."Gatan kemari kemarin sore. Aku minta tolong Rahisa untuk mengusir lelaki itu. Aku enggak mau ketemu dia lagi. Sudah cukup urusan kami. Kalau dia memang mau bertanggungjawab soal anaknya, bisa kirim uang lewat transfer."Dia kelihatan melas banget, Nes."Aku menggeleng enggak peduli. Itu pasti hanya akal-akal
Pak Sardi subuh-subuh sudah menelepon. Pria berumur itu meminta dengan sangat agar aku datang ke tempat budidaya dan mengontrol proses panen mujair seperti biasa. Tadinya, aku menolak.Dengan alasan kondisi tubuh yang masih kurang bugar, pun suasana hati yang belum juga membaik, aku menolak datang dan berkata Pak Sardi bisa mengatur semuanya sesuka hati. Namun, lelaki itu tetap membujuk."Kami di sini tahunya cuma rawat ikan, sama nganter, Mbak. Yang tahu lebih banyak itu Mbak Anes."Begitu kata beliau ketika akhirnya aku tiba di tempat budidaya pukul sembilan pagi."Apa, sih, Pak?" gerutuku sambil berjalan malas ke saung. "Kan alamat rumah makan sama pedagangnya sudah saya kasih ke Bapak. Tinggal antar ke sana."Pak Sardi menggeleng dengan senyum sungkan. "Tetap ada yang kurang kalau si Bos ndak ada."Aku memajukan bibir sembari duduk. Padahal, kalau ditilik lagi, yang paling banyak kerja itu ya mereka-mereka. Aku cuma tukang perintah dan tukang mencatat pesanan pelanggan."Hengki ma
Kata Ibu, dia ketahuan oleh Inara menangis di kamar. Sayangnya, Inara juga mendengar saat Ibu meratap pada foto Ayah soal aku yang bukan anak kandung. Tersudut, Ibu akhirnya menceritakan soal asal usulku.Ditambah ... tentang kehamilan ini. Namun, pada Inara Ibu berkata aku enggak memberitahu siapa bapak anakku. Meski sedih, meski merasa disudutkan sendiri, aku tetap sedikit lega.Biar saja hanya aibku yang dipertontonkan pada Inara. Jangan borok suaminya, atau kalau enggak, perempuan itu akan mati berdiri.Beberapa hari setelah kedatangan Inara, hidupku cukup tenang. Enggak diganggu Ibu dan ... Gatan benar-benar enggak pernah muncul lagi.Sebenarnya, aku senang karena bisa sendirian. Namun, kadang-kadang ada rasa sedih yang begitu besar. Saat malam datang dan aku cuma sendiri di rumah, gelisah dan kecewa itu datang.Aku gelisah memikirkan masa depan kami. Aku dan anakku. Apa sungguh aku siap menjadi orang tua? Ini yang pertama, pun aku harus menjalaninya sendirian.Dilihat ke belakan