Share

Hati Sang Elang

Yoboseo, ne Samchon, harus sekarang juga? baiklah aku datang.” 

Young-han menutup ponsel. Biasanya jika tidak penting pamannya tidak seserius ini sampai menelepon. Segera dia mengemudikan sepeda motornya menuju Universitas Hankuk. 

Beberapa meter di depannya, ia melihat Jingga berjalan, Young-han segera memberhentikan motornya di samping Jingga. 

Sejurus kemudian Jingga menoleh karena bunyi klakson dan deru sepeda motor yang berada di sebelahnya.

Young-han membuka kaca helmnya.

“Naik, aku mau ke HUFS!” ajak Young-han kaku. 

Jingga menundukkan setengah badannya, “Ghamsahamnida, sudah dekat kampus. Lagi pula aku sengaja jalan sambil berolahraga.”

“Dasar gadis aneh!” dengus Young-han keras. Lalu menstater motor sekencang-kencangnya, hingga suara motor menderu dengan keras. 

Jingga menggelengkan kepala, “Kau yang aneh!” gumam Jingga lirih dan tersenyum kecut.

***

Ruangan Prof. Lee.

“Kau keluar dari perusahaan?” tanya Prof. Lee, sorot matanya tak lepas dari orang yang duduk di hadapannya. 

Keponakannya ini hanya menyeringai kecil lalu balik bertanya. 

“Jun-su sudah banyak mengadu apa saja denganmu?”

 “Apa yang menyebabkan kau keluar dari perusahaan?” 

“Apa aku salah jika keluar dari perusahaan?”

“Tidak.” 

“Jika tidak, mengapa masih bertanya?”

“Hanya mengingatkan sebuah wasiat yang harus kau jalani, dan warisan yang menjadi hakmu.” 

“Wasiat, warisan, saham, atau apapun aku tidak peduli lagi!” 

Young-han mendengkus kesal, wajahnya mengeras.

“Yah, kau adalah pria dewasa yang bebas menentukan pilihan. Dengar baik-baik Young-han ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.” 

Prof Lee menghela napas berat, lalu menepuk bahu Young-han. Ia tahu, keponakannya ini hanya ingin dimengerti, hanya ingin diakui keberadaaanya, hanya ingin dihargai setiap keputusannya. 

Young-han membisu, napasnya masih memburu jika teringat Jun-su dan keluarganya.

 “Berhentilah membenci seseorang, terutama mendiang ayahmu dan Jun-su.”

Young-han tertawa pahit, “Hah…jadi ini yang ingin Samchon katakan di telepon tadi?” 

“Hmm, sudah kuduga kau tidak senang mendengarkannya, tapi apa selama ini kau pernah mengenal Jun-su lebih dalam sebagai kakakmu?”

Young-han diam, rahangnya mengeras. 

“Kim Young-han?”

Kim Young-han menarik nafas perlahan, sorot matanya tajam seperti melihat sebuah rekaman masa lalu.

“Pertanyaannya harusnya dibalik, apa dia pernah mengenalku lebih dalam? apa dia pernah memihakku dari sifat kediktatoran Appa? Apakah dia pernah menganggap keberadaanku?” tanyanya dingin.

Perlakuan diskriminatif dan dikator ayahnya menjadikannya membenci Jun-su dari ujung kaki sampai kepala. Sakit karena tamparan ayahnya masih terasa di pipi, rasa sakit hati pengusiran dari ayahnya atas keputusannya kuliah di Sorbonne juga masih terlukis jelas di depan mata. 

Hal tersebut adalah episode paling menyakitkan selama dia menjadi putra dari Kim Min-Dong, seorang presiden direktur dari perusahaan besar dan ternama di Korea Selatan. Sekembalinya dari Prancis juga dia tidak kembali ke rumah. Rumah hanya mengulik kegetiran yang pernah ia rasakan.

Prof. Lee diam, dia mengeluarkan sebotol mineral dari lemari es dan menyodorkannya kepada Young-han. 

“Selama ini dia tidak pernah memihak padaku, dia diam saja ketika melihatku mendapat tekanan demi tekanan dari Appa, mungkin dia menikmatinya! bahkan hari dimana aku diusir dari rumah, tak ada pembelaaan darinya sama sekali!” lanjut Young-han lagi.

Letup-letup emosi tampak jelas sekali selama dia bercerita, kemudian meneguk sebotol air mineral yang diberikan pamannya. 

Sedetik kemudian mereka sama-sama diam, bertualang dengan pikirannya masing-masing. Hening. Tak lama seorang pemuda masuk ke dalam ruangan Prof. Lee. 

“Permisi Gyusonim, lima belas menit lagi kita berangkat,” ucap pemuda tersebut setelah sebelumnya membungkukkan badan terlebih dahulu. 

Prof. Lee mengangguk, sedetik kemudian pemuda tersebut kembali keluar. Prof Lee lalu beralih lagi pada Young-han. 

“Hari ini kau sibuk?” 

“Ya, aku sedang menyiapkan pameran. Kenapa?”

“Bisa meluangkan waktu untukku?”

“Masih ada yang ingin Samchon katakan? kalau hanya tentang Appa danJu-su sebaiknya tidak usah!”

“Tidak, aku hanya ingin membuatmu rileks saja, kau tegang sekali. Jangan sampai aku memohon padamu.” 

“Baiklah aku luangkan waktu seharian ini.” 

Young-han tidak pernah bisa menolak keinginan lelaki tua di hadapannya. Dari kecil, dia lebih dekat dengan pamannya, daripada dengan ayahnya, sebab pamannya ini paling bisa diajak bicara, paling banyak mendengar dan paling mengerti akan dirinya.

“Bagus, kalau begitu hari ini kau bisa menjadi supirku?”

“Ke mana?”

“Ke situs budaya di Seoul, hari ini bagianku untuk memberi kuliah pengantar pada peserta program. Setelah itu kita mungkin bisa bicara dari hati ke hati, yang pasti bukan membicarakan ayahmu atau kakakmu.” 

 “Bagaimana Young-han, kau bersedia?” 

“Baiklah!”

“Bagus, lima belas menit lagi kita berangkat, tujuan kita adalah Gyeongbokgung (Istana Gyeongbok).” 

Prof. Lee tersenyum penuh arti.

***

Mobil Prof. Lee melaju dengan kecepatan sedang menuju kompleks istana Gyeongbok. Young-han memarkirkan mobil, tidak jauh dari kompleks istana. Sebelum turun, Prof. Lee memandang Young-han yang masih duduk di belakang kemudi dan belum melepas sabuk pengaman. 

“Tidak ikut turun?”

“Ya sebentar, Samchon duluan saja.”

“Cepat menyusul.”

Young han menanggukan kepala. 

Sepeninggal Prof. Lee, beberapa saat Young-han turun dari mobil dan masuk ke dalam kompleks istana. Memasuki sebuah gerbang utama yang dijaga oleh para pengawal kerajaan duplikat istana jaman Dinasti Juseon. 

Gyeongbokgung, sebuah istana dengan pondasi batu-batu kokoh, nuansanya didominasi warna merah bata dan sedikit aprikot. Atapnya meruncing tinggi, benar-benar terlihat kemegahannya. Batu granit menjadi sentuhan utama pada dinding-dinding batu dan teras di setiap bangunan. 

Sejak dari Prancis, Young-han tidak pernah ke tempat ini lagi. Dia mengedarkan pandangan, mencari pamannya. Terlihat pamannya sedang berbincang ringan dengan beberapa pria. Sebagian besar di lokasi tersebut adalah orang asing. 

Mereka adalah para peserta program perkenalan budaya. Sejenak Young-han berharap akan kehadiran tetangga apartemennya. Namun sampai sekarang dia belum melihat keberadaan gadis asing itu.  

Apa mungkin Jingga tidak ikut bersama rombongan mereka? Sinting! Dia mulai berharap sebuah pertemuan dengan Jingga.

Young-han menuju kawasan taman yang rindang dan asri ke dalam kompleks istana. Sampailah dia di Taman Hyangwonjeon yang terdapat sebuah paviliun mungil di tengah kolam. Ia duduk di bangku taman yang menghadap ke sebrang paviliun, menatap indahnya bangunan tersebut. Dulu, ketika kecil dia senang sekali berlama-lama di tempat ini, sambil melukis. 

Ia mengedarkan pandangan lagi, sampai dia berhenti pada satu titik, dimana dia menemukan sosok yang tengah dicari. Dialah tetangga apartemennya, Jingga. 

Dari kejauhan ia memperhatikan Jingga. Gadis ini terlihat sedang sibuk membidik objek-objek di taman, mengarahkan ke paviliun. Jingga berbeda dengan beberapa gadis yang pernah ia kenal.

Gadis tersebut mengenakan sweater berwarna biru, jilbab biru, dan rok jans. Gayanya cuek sekali untuk muslimah sepertinya. 

Karakter Jingga yang polos, cuek, dan berani. Sesekali tingkahnya membuatnya sebal, tetapi tak bisa ia pungkiri, kehadiran Jingga membuat ada sentuhan yang berbeda di hatinya.

***

Semua peserta program berkumpul untuk mendapatkan pengantar sejarah tentang istana ini dari Prof. Lee. Semua sibuk mencatat, merekam, dan menyimak penjelasan Prof. Lee, tak terkecuali Jingga. Namun saat mendengar penjelasan, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sosok yang tak asing lagi, sosok pria yang mengenakan kaos biru lengan panjang yang digulung tiga perempat, dan celana jeans, tengah duduk di salah satu bangku taman sambil menggoreskan pensil pada selembar kertas, dia mengarah ke Pavilliun Gyeonghoeru

Pria tersebut membuat Jingga tidak fokus mendengarkan penjelasan Prof. Lee, padahal dia sudah berusaha tak melihat ke arah pria tersebut, tapi lagi-lagi matanya mengarah pada sosok itu. Selesai penjelasan yang hanya beberapa menit saja, Jingga segera mendekati Young-han. Ia memberanikan diri menyapa.

“Young-han ssi, apa yang kau lakukan di sini?” 

Young-han terkejut, tak disangka gadis ini mendatanginya. Tapi ia berusaha menata hati, seolah tidak memedulikan kehadiran Jingga. 

“Seperti yang kau lihat,” jawabnya kaku, tanpa melihat ke arah Jingga. Ia terus membuat sketsa. 

“Itulah yang membuatku ingin menemuimu, aku ingin sekali lihat gambaranmu," tukas Jingga polos, kepalanya melongok ke gambaran sketsa Young-han.

“Penting?” tanya Young-han tajam. Dia sekilas menoleh pada Jingga, lalu meremas kertas yang baru ia gambar.

“Ooh, maaf aku jadi merusak mood-mu,” ucap Jingga pelan. 

Dengan gusar Young-han bangkit, ia menatap Jingga dingin. 

"Aku hanya tak terbiasa melihat orang yang ingin tahu urusanku!"tukasnya dingin.

" Oooh, oke. Kalau begitu aku permisi."

Jingga berucap ringan, seringan tatap matanya membalas tatapan dingin Young-han. Ia sama sekali tidak takut pada sinisnya seorang Kim Young-han. Ia lalu membalikkan badan, beranjak pergi.

"Kalau kau mau, kapan-kapan aku buatkan sketsa atau lukisan!" teriak Young-han, meski terdengar kaku.

Jingga menghentikan langkahnya, lalu berbalik kepada Young-han.

"Kutunggu!" jawab Jingga santai. Dia mengacungkan ibu jarinya, lalu kembali berlalu, berkumpul bersama kawannya.

Wajah Young-han seketika memerah. Ada getar tak biasa di hatinya. Setelah sekian lama, ia merasakan lagi sensasi aneh yang berdegup tak jelas pada jantungnya. 

"Pasti semalam aku kurang tidur!" gumamnya untuk membohongi perasaannya sendiri.

 Tiba-tiba saja Young-han dikejutkan dengan tangan seseorang di bahunya. 

 “Oh Samchon,” ucapnya kikuk.

Pamannya tersenyum, “Hari ini kau terlihat begitu hidup.”

“Maksudmu?”

Prof. Lee membenarkan letak kacamatanya, duduk di sebelah Young-han. Pandangannya tertuju pada peserta program yang sedang berfoto di depan salah satu pavilliun istana. Young-han masih tidak mengerti akan kalimat pamannya. 

Sejurus kemudian Prof. Lee tiba-tiba berkata lagi,

“Ketika seekor elang akan membuat sarangnya, kira-kira di mana dia akan menetap? apakah di tempat asalnya atau di sebuah tempat indah yang pernah ia lintasi saat mengepakkan sayap?” 

Young-han menghela napasnya berat.

“Elang tersebut akan terus terbang di langit biru. Belum terpikir untuk membuat sarang di suatu tempat, menurutnya semua tempat itu indah. Yang dia tahu adalah terus mengepakkan sayap untuk meneruskan hidup yang tidak mudah dilalui,” jawab Young-han datar. 

“Bukankah sejauh-jauhnya elang terbang dia pasti akan pulang kembali ke tempat asalnya?”

Pandangan Young-han menerawang ke langit biru dan menatap Gunung Inwang di balik istana yang bertengger gagah, tak menjawab pertanyaan Prof. Lee.

“Yang aku dengar seekor elang akan mengalami kesakitan di usia tertentu, bulu dan sayapnya akan terkelupas, dia akan mengalami proses metamorfosis yang menyakitkan, kemudian elang akan menyendiri di gunung untuk menyembuhkan kesakitannnya. Menurutku bagaimana pun dia butuh tempat berlabuh dan teman untuk meneruskan hidupnya yang berat, bisa jadi temannya itu akan meringankan bebannya,” kata Prof. Lee lagi.

Young-han membeku. Tatapannya kembali tertuju pada gadis Indonesia yang sedang menikmati kebersamaan dengan para peserta program yang lain. Dilihat dari dekat atau dari jauh, wajah gadis ini membuatnya kembali merasa berwarna.

“Dan hari ini kulihat wajah elang itu begitu cerah!”

Young-han terperangah, seketika dia menoleh ke wajah Prof. Lee yang sedang tersenyum menatapnya. 

“Apa perkataanku mengejutkan sang elang? siapa yang telah membuat wajahnya begitu cerah hari ini?”

Young-han tak dapat menjawab, tak juga mampu berkelit. Wajahnya memerah sempurna. Mustahil dia mengatakan penyebab yang membuatnya berbeda, semua hanya dapat dirasakan, tapi tak dapat terdefinisikan oleh kata.

Samchon, kalau urusanmu sudah selesai kuantar kau pulang!” Young-Han segera bangkit dan menghentikan pembicaraan.

“Elang itu harus bisa mendapatkan teman yang telah mengubah harinya menjadi berwarna, agar tidak hidup dengan rasa sakit dan bosan.”

“Kupikir elang tersebut sama sekali tidak sakit ataupun bosan. Ayo Samchon segera kuantar kau kembali ke kampus!” tegas Young-han lagi dan beranjak bangkit. Dia sama sekali tidak ingin lagi melanjutkan pembicaraan yang membuatnya tidak nyaman.

“Tidak kau pulang sendiri saja! Aku ada rapat di Kampus Yongin.”

“Masih ada lagi yang ingin kau bicarakan denganku?” 

“Untuk hari ini cukup, lain kali kita bicara sesuatu yang menyenangkan lagi. Titip salam pada elang, katakan padanya untuk menghilangkan dendam dan amarah, dan segera penuhi hatinya dengan cinta!"

Young-han hanya menyeringai.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hafidz MK
ditunggu cerita selanjutnya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status