Share

Bab 5 Kenapa Kau Begitu Misterius?

“Hei…” bisik Amelia, sambil menyenggol lengan Rain

“Heh?”

“siapa yang kamu lihat?”

“Eh—tidak ada…”

“masa? Kulihat ada yang menarik di belakang?” Amel menengok, lalu mengulum senyum. “Kamu lagi lihat si tukang tidur ya?”

“Enak aja…”

“Oh…” Amel mengangguk, “Tapi—“ potongnya, “Tarun sedang melihat kemari kayaknya. Tumben…”

“Jangan dipedulikan,” sahut Rain berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Apa terjadi sesuatu?” bisik Amel tidak mau berhenti penasaran.

“Enggak ada.”

“Oh….”

Kembali keduanya diam, tapi tidak dengan pikiran Rain. Dia masih sibuk menganalisis. Yang mula-mula dia analisis, adalah ucapan Tarun tentang “dia tahu”. Dan kemudian seolah di paksa mengakui sesuatu, Rain sadar bahwa dia harus berbicara kembali dengan Tarun. Masalahnya, Rain merasa enggan.

Pelajaran bergerak dengan alur lambat. Guru berganti dan semua jadi terasa membosankan. Ada sebagian dirinya yang ingin terbang segera menuju Tarun dan menjejali cowok rambut keriting tersebut dengan ragam pertanyaan, namun sebagian dirinya yang lain enggan membahas, ataupun berbagi kesulitannya. Bagian mana yang kemudian akan lebih condong, Rain masih harus menunggu sampai pelajaran ke enam usai dan lonceng pulang berdentang, dan itu masih dua jam lagi.

**

Rain bersusah payah menahan kantuk yang teramat sangat di lima belas menit pelajaran terakhir. Rasa lelah mendera dan kantuk terus menghujam matanya. Beberapa kali Rain hampir jatuh tertidur, namun dia  berusaha bertahan.

Tepat ketika akhirnya dia menyerah untuk bertahan tetap tersadar, bel usai pelajaran berdering nyaring dan bersemangat. Disertai desah lega anak anak sekelas yang berbunyi serentak seperti koor nyanyian lagu acapela. Rain mendapatkan kembali kesadarannya dan kemudian bersemangat. Dia sudah membereskan barang barangnya dengan cepat cepat.

“Rain, ke Gramedia dulu yuk. Hari ini ada komik baru terbit!” bisik Amelia.

“Hah? Oh, sekarang Rabu ya…”

“Iya.”

“Ah…anu Mel, maaf..anu, itu…kayaknya saya enggak bisa nemenin.”

“kenapa? Biasanya kamu semangat juga mau lihat komik terbaru.”

“Hari ini, kayaknya aku ada perlu. Gimana kalau besok saya temenin ke gramedianya. Hari ini libur dulu.”

“Oh..” Amel sedikit kecewa.

“Ya sudah, yuk deh kita pulang.”

“Ah, itu juga. Kamu duluan saja.”

“Kenapa?”

Rain agak bingung, tapi dia berupaya mencari alasan yang paling masuk akal untuk teman sebangkunya tersebut. “Saya ada perlu dulu. Jadi untuk sementara di sekolah dulu.” Terangnya, pikirannya terus berputar mencari alasan.

Kelas sudah mulai kosong, kini yang tersisa tinggal Rain, Amel, Tarun yang masih tertelungkup tidur, Adrian, yang duduk paling belakang dan masih sibuk mencorat coret bukunya, serta Rais yang masih berkemas-kemas pada barangnya.

Amel sedikit ragu untuk berdiri, dia memandangi sahabatnya. Rain hanya memberi isyarat dengan bahunya. Amel menghela napas, lalu kemudian mengangkat tasnya dan keluar dari bangku. Amel meninggalkan kelas, diikuti dengan Rais yang sudah selesai berkemas, kini tinggal Adrian yang masih sibuk dengan bukunya dan enggan pergi, serta Tarun yang masih menelungkup.

Rain bergerak dari bangkunya, keluar dan segera menghampiri meja Tarun. Tarun masih tertelungkup dengan suara nafas yang teratur. Rain mengetuk meja di dekat tangan Tarun. Suara ketukan yang lembut tersebut tidak membuat Tarun menengadahkan wajahnya. Laki-laki berambut keriting pendek itu masih terlihat tertelungkup.

Rain mengetuk meja lagi dengan perasaan gelisah dan sedikit jengkel. Usahanya berhasil, Tarun menggeser wajahnya dari tangan dan mengangkatnya perlahan. Sebelah matanya terlihat di antara dua lengannya yang masih bertumpuk di meja.

“Saya ingin berbicara…” bisik Rain.

Tarun menegakkan sedikit wajahnya, Menunggu. Rain sedikit gelisah.

“Secara Pribadi…” ucap Rain kembali. Tarun menelengkan kepalanya di samping tangannya. Menunggu kembali, Rain menjadi kesal,lalu membuat isyarat bahwa mereka tidak berdua, tapi ada orang lain di dalam kelas tersebut.

Tarun bangkit, agak malas. Dia mengambil tasnya dan menyeret tas tersebut berikut tubuhnya keluar dari meja, seolah tubuh tersebut berat sekali untuk dibawa. Rain segera berjalan lebih dulu dari Tarun.

Mereka berdua keluar kelas. Setiap ruangan sudah mulai sepi dari murid. Rain tengah memutuskan akan memilih tempat yang bisa bicara berdua, namun rupanya Tarun punya pemikiran sendiri, dia melangkahkan kakinya ke arah yang berbeda dari Rain. Dengan sedikit gusar dan penuh tanda Tanya, giliran Rain yang terpaksa mengikuti Tarun.

“Kita kemana?” Tanya Rain sambil melangkah dibelakang Tarun.

“Kamu ingin tempat yang bisa bicara secara pribadi kan?”

“Iya, tapi kok malah ke luar?” sergah Rain karena arah jalannya tarun malah menuju pintu keluar sekolah.

“Yah, kamu bisa bertanya sambil jalan pulang kan?”

“Tapi bukan begitu maksud saya..”

“Kenapa? Justru pembicaraan sambil pulang malah lebih wajar.”

“Memang…tapi…”

“Kamu pulang ke arah selatan kan? Aku juga ke sana." Sahut Tarun santai.

Rain sedikit mengedikkan bahunya, dia merasa tidak nyaman. Rasanya berjalan dengan Tarun seperti tersedak makanan dan tidak menemukan minuman.

“Jadi? Pembicaraan apa yang ingin kamu bicarakan padaku?” Tanya Tarun ketika posisi jalan mereka sudah sejajar.

“Soal pembicaraan kita tadi waktu di wastafel…” ucap Rain.

“Soal aku memperhatikanmu?”

“Bukan yang itu—yah, yang itu juga—tapi bukan itu maksud saya…”

“Kenapa berbelit belit? Yang benar yang mana?”

Rain menggaruk kepalanya, “Jangan membuat saya bingung dong..” Rain menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Matanya tertumbuk pada sosok nenek tua yang berdiri di sebuah batang pohon di seberang jalan, lima meter di depannya. Nenek itu tubuhnya agak ke abu-abuan, menggunakan kain carik lusuh. Tubuhnya bungkuk sambil memegang tongkat yang beralur tidak beraturan.

Tarun ikut berhenti, lalu berkata dengan tegas, “Jalan saja, jangan dipedulikan apa yang kamu lihat!” serunya berbisik.

“Kamu lihat?” Tanya Rain

“Ya.”

Tarun berjalan, kali ini langkahnya lebih cepat dari Rain. Rain sudah membuang rasa tidak nyamannya dan mengejar langkah Tarun agar posisi jalan mereka sejajar.

“Apa yang kamu lihat?” kejar Rain.

“Nenek tua dengan warna abu-abu.”

Mata Rain berbinar, kali ini pertama kalinya Rain bisa berkata sejajar dengan seseorang tentang sesuatu. “Kamu benar benar bisa melihatnya!” pekik Rain bahagia.

“Sst, “ Tarun menyampingkan ujung telunjuknya pada tengah bibir, “Ya, dan melihat reaksimu nona, sepertinya kamu menahan beban terlalu berat.” Ujarnya, suaranya terdengar sedikit sinis.

“Hei…” Rain sedikit tersinggung. Terlebih, ucapan Tarun mengena.

“Kapan kamu bisa melihat? Sudah lama atau baru baru ini? Mereka itu hantu ya, atau setan?”

“Hei-Hei…satu satu non…” potong Tarun.

“Oke….” Rain menarik napas, “Kamu kapan bisa melihat?”

“Sudah lama.”

“Seberapa lama?”

“Cukup lama.”

Rain menggeram jengkel, “Saya serius!”

“Daripada kamu bertanya kapan aku bisa melihat, sebaiknya kamu bertanya kenapa kamu bisa melihatnya.”

“Kamu tahu kenapa saya bisa melihat yang seperti itu?”

“Tidak tahu.”

Rain menggeram lagi. “Serius dong Tarun!!” pekik Rain jengkel.

“Akh, akhirnya kamu memanggil namaku juga…” Tarun menyeringai, tampak senang.

Rain memukul keningnya, perasaannya campuran antara jengkel, marah dan keki.

“Baiklah,” ucap Rain, “Saya ganti pertanyaannya. Itu sebenarnya apa?”

“Yah, seperti yang sudah kukatakan tadi, orang biasa menyebutnya, hantu, setan, penampakan, roh halus dan lain-lain, tapi aku menyebutnya jin.”

“Oo. Katakan seperti ini, saya memiliki indra ke enam?”

“Yah, kira kira seperti itu.”

“Mereka bisa mengganggu kita?”

“Tergantung. Pada beberapa kasus mereka sangat mengganggu, namun pada hal lain, mereka acuh saja.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status