Share

Bab 8 Pernyataan Cinta

Tarun meletakkan tubuh Rain yang lunglai agak jauh dari goa. Terduduk di tanah. Napas Rain masih tersengal, namun dadanya yang terasa berat sudah mulai terasa enteng.

“Aku tidak mengerti….” Ucap Rain lamat lamat, “Padahal tadi semua baik baik saja. Tapi begitu masuk goa, rasanya pengap, bau, bising dan lemas.”

Tarun mengeluarkan minuman energy dari plastic yang dibawanya, menyodorkannya pada Rain.

“Minum ini.”

“Minuman energy?”

“Penambah stamina. Kalau kamu merasa lapar aku sudah sediakan roti dan cokelat. Bisa menambah stamina dan gula darah agar normal lagi.”

“Kenapa?”

“Kok kenapa. Kamu lupa kita kesini untuk latihan.” Seru tarun.

“Iya, latihan apa?”

“Latihan mengontrol kekuatanmu untuk melihat.”

“Memangnya apa yang aku lihat! Aku tidak melihat apapun.”

“Kamu yakin?”

“Tidak ada sesuatu. Goanya ramai orang, jadi tidak mungkin ada sesuatu!”

“Ramai? Tidak ada siapapun di goa itu kecuali kita!”

Deg! Jantung Rain seperti hendak meloncat.

“Maksudmu….”

“Maksudku. Kalau kau melihat orang yang banyak di goa itu. Mereka bukan orang, mereka sesuatu. Dan, ini adalah hari pasar mereka.”

“Hari pasar?”

Tarun duduk di samping Rain, menyodorkan minuman air mineral yang lansung disambut Rain tanpa basa basi.

“Yah….” Ucap Tarun sambil mengepit tangannya di dada, “Sama seperti manusia. Mereka juga memiliki hari berkumpul ramai ramai. Hari pasar namanya. Tempatnya tidak tetap, waktunya pun bisa siang bisa malam. Kebetulan hari ini adalah hari pasar mereka di sini. Maksudku mengajakmu ke sini untuk membuat kamu bisa mengendalikan kemampuanmu untuk melihat. Jadi, kamu hanya melihat saat diperlukan saja, tidak setiap waktu. Dan cara ini adalah cara yang tercepat untuk bisa mengendalikan kemampuan melihat”

Rain melayangkan tangannya dan mengebuk pundak Tarun dengan jengkel, “Bilang dong dari awal!” seru Rain kesal.

“Tidak bisa!” sergah Tarun.

“Enak saja tidak bisa. Bagaimana saya bisa bertindak. Dari awal kamu tidak pakai penjelasan!”

“Itu sungguhan, aku tidak bisa menceritakan rencana ini sama kamu. Ada dua alasan. Alasan pertama, kamu akan ketakutan dan menolak.”

“Pasti!” jawab Rain setengah teriak.

“Tuh liat. Belum apa apa kamu sudah niat nolak.” ucap Tarun.

“terus, alasan kedua?”

Tarun menggaruk garuk telinganya, “Ini berhubungan dengan masalah yang kamu ceritakan itu lho. Soal Amel.” Ucapnya, nada suaranya ragu dan hati hati.

“Iya, kenapa memangnya?”

“Iya. Kamu kan cerita bagaimana nanti berikutnya untuk menjelaskan pada Amel, ya kan? Ya kan?”

“Enggak usah diulang dua kali juga saya iyakan kok.”

“Nah itu, alasannya.”

“Maksudnya? Aduh, udah deh Tarun. Jangan berbelit belit.”

“Yah, gini….biar nanti kamu enak juga ngomong sama Amelia. Yah, kamu bilang saja kita pacaran.”

“Hah?” Rain membuka mulutnya sedikit lebar, menatap Tarun dengan sosok ingin mengigit telinga cowok tukang tidur tersebut.

“Iya, maksudku. Kita bisa mulai pacaran sekarang, disini. Jadi itu bisa jadi alasan kamu dan aku pergi bersama. Amelia tidak akan curiga dengan latihan latihan ini, dan masalahmu terselesaikan tanpa perlu menjelaskan semua ini.” Terang Tarun.

“Maksudnya?”

Tarun merasa gugup, kemudian menggerakkan jarinya kea rah Rain, lalu ke arahnya. “Ya, maksudnya begitu. Kamu dan aku.”

“Pacaran pura pura?”

“Aku sih berharap enggak pura pura.” Sahut Tarun. Wajah laki-laki berambut keriting itu tertunduk cepat.

“Kamu….sedang nembak saya?” Tanya Rain sambil menaikkan alisnya.

“Anggap saja begitu.” Jawab Tarun cepat.

“Eh, ini seriusan?” tanya Rain dengan roman memerah.

Tarun menggaruk garuk telinganya lagi. Kebingungan, tapi dia berupaya mengusir rasa bingung itu sambil meminum air mineral.

Keduanya terdiam. Rain merasa malu luar biasa. Ingin dia menutup wajahnya dan menyembunyikannya dari hadapan Tarun, namun yang bisa dilakukan Rain hanya membuang muka dan mengambil roti, menyobeknya dengan kasar dan memakannya.

Udara mulai terasa panas, desir angin menggerakkan ranting ranting pohon. Suasana hutan lindung Dago Pakar itu terasa nyaman membawa aroma kantuk yang menenangkan.

Cukup lama juga keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rain merasa tingkahnya jadi semakin gugup dan berupaya menepis pikirkan aneh aneh dalam kepalanya. Rain sedang berupaya untuk menghipnotis dirinya sendiri dan meyakinkan, seyakin yakin yang dia bisa bahwa ucapan dan ide Tarun bukan pernyataan cinta. Ungkapan itu adalah untuk menyelesaikan solusinya. Namun pada sisi lain dari hatinya ada perasaan unik yang tidak dia pahami. Perasaan malu dan bangga secara bersamaan. Perasaan itu seolah membuat daun daun terlihat lebih hijau dan sinar matahari lebih lembut.

“Yah, kamu tidak perlu jawab cepat cepat. Pikirkan saja nanti ketika perjalanan pulang. Saat ini yang penting kita lanjutkan latihan kita.” Tambah tarun setelah mereka terdiam cukup lama.

Rain mengangkat wajahnya dan tidak dapat menyembunyikan keterkejutan atas lanjutan ucapan Tarun tersebut. Dia tidak menyangka—dan semua hipnotis diri itu langsung buyar—bahwa Tarun sungguh sungguh.

Tarun berdiri, mengulurkan tangannya pada Rain. Rain menengadah menatap Tarun. Sosok Tarun tampak menjadi siluet. Rain mengambil tangan Tarun. Keduanya berdiri.

“Beritahu saya caranya untuk mengontrol kemampuan melihat.” Ucap Rain

“Iya. Sebagai gantinya, nanti tolong beritahu aku jawabanmu ya.”

“Eng…ya, kita lihat saja nanti…” sahut Rain berusaha menetralkan perasaannya yang berdebar debar tidak karuan. Rain memilih untuk sementara menepis perasaannya yang bergerak tidak karuan. Latihan yang mereka hadapi tidak bisa diremehkan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Joy Julia
menarik ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status