Share

Bab 4

Setelah kenyang makan dan pergi dari hotel itu, David menoleh ke belakang dan melihat Prisca beserta beberapa pegawai lainnya sedang membungkukkan tubuh kepadanya. Tiba-tiba David jadi merasa dunia ini begitu indah.

Siapa itu Sarah? Kalau David mau, sekarang juga dia bisa membangun kerajaan dengan ribuan selir untuknya. Lantas, berikutnya apa lagi yang harus David lakukan? Tentu saja membeli rumah.

Dari awal David sudah muak dengan kondisi asrama kampusnya. Empat orang sempit-sempitan dalam satu kamar, tapi sekarang hanya tinggal berdua karena dua lainnya sudah tinggal di luar bersama pacar mereka. Dulu David juga sempat berpikir untuk tinggal berdua dengan Sarah di luar, tapi Sarah tidak pernah setuju dengan usul itu. Hati David kembali terasa pedih mengingat Sarah tidur dengan Joel beberapa hari yang lalu.

“Sial, kalau tahu dari awal, harusnya aku paksa saja Sarah. Sekarang dia malah jadi tidur bareng si Joel,” umpat David dalam hati.

Seketika itu tiba-tiba ponsel bekas David yang sudah gembel berbunyi. David melihatnya dan ternyata itu adalah panggilan dari Ben, teman sekamarnya. Walau sekarang Ben sudah tinggal di luar dan menjalani hidup bebas dengan pacarnya, tetap saja mereka sudah tinggal di kamar yang sama selama satu tahun lebih. Hubungan mereka berdua bisa dibilang masih sangat baik. Biaya sekolah juga masih satu paket dengan biaya asrama. Meski sudah tidak tinggal di asrama, para murid tetap diharuskan membayar uang asrama. Makanya terkadang mereka masih akan kembali ke asrama untuk bermain game bersama.

“Vid, kamu di mana? Kami bertiga lagi di klinik, tapi Dokter Joanna bilang kamu sudah pergi. Kami sudah dengar apa yang terjadi sama kamu. Kamu jangan sampai melakukan hal bodoh, ya. Yang lama pergi, masih ada yang baru. Nanti kalau perasaan kamu sudah baikan, kita bikin acara blind date. Aku cariin kamu yang lebih baik dari Sarah.”

“Kamu mikir sampai ke mana, sih, Ben? Mana mungkin aku sampai melakukan hal bodoh. Nggak usah khawatir soal aku, aku sebentar lagi pulang.”

“Serius kamu nggak apa-apa?”

“Iya!”

“Kalau begitu kasih tahu aku, kamu ada di mana sekarang? Biar kami bertiga samperin.”

“Nggak usah. Aku sudah sampai di rumah. Tenang saja, dua atau tiga hari lagi aku pasti balik!”

“Serius?”

“Iyalah!”

“Boleh juga. Pulang biar lebih tenang sedikit. Ingat-ingat sama keluarga kamu yang masih sayang sama kmau.”

“Iya, iya. Aku nggak sebodoh itu! Tenang saja! Sudah, ya. Aku tutup dulu!”

Jina International Mansion … tempat ini adalah kompleks perumahan paling mahal yang ada di Provinsi Jina. Lokasi perumahan ini juga tentu saja berada di letak yang paling strategis. Seluruh area kompleks dikelilingi oleh sungai dan hanya memiliki satu akses keluar masuk. Pemandangan yang bisa dinikmati dari kompleks ini juga tidak bercanda. Kompleks ini hanya memiliki enam gedung, dan setiap gedungnya terdiri dari 38 lantai. Model yang paling kecil areanya lebih dari 200 meter persegi, dan yang paling besar bisa mencapai 1.000 meter persegi. Di tempat inilah orang yang benar-benar kaya berkumpul. Area parkir juga terisi penuh oleh mobil-mobil mewah, membuat mobil yang harganya merakyat harus sungkem.

David mendatangi kantor pemasaran kompleks tersebut. Begitu memasuki kantor tersebut, David langsung disambut dengan area lobby yang sangat luas. Di dalam hanya ada sekitar lima sampai enam orang karyawan sales yang sedang mengobrol. Tidak ada satu pun dari mereka yang berinisiatif menyambut ketika David masuk.

Jina International Mansion sudah berdiri sejak tiga tahun yang lalu, tapi unitnya tidak pernah terjual sampai habis karena terlalu mahal. Harga rumah yang paling kecil saja sudah mencapai 20 miliar, siapa yang sanggup membelinya?

Saat baru berdiri, orang yang datang untuk melihat unit masih terbilang cukup banyak, tapi unit yang tidak terjual terbengkalai begitu saja karena tidak ada yang tertarik untuk membelinya. Oleh karena itu, orang-orang yang bekerja sebagai sales di sana pada saat baru saja buka sudah pergi semua dengan membawa pulang hasil komisi yang melimpah ruah. Harga satu unitnya bisa mencapai minimal 20 miliar, dengan komisi yang hanya 2% saja mereka sudah kaya raya. Komisi penjualannya sekarang sudah ditingkatkan lagi menjadi 10%, tapi tetap saja menjual satu sampai dua unit dalam satu tahun pun merupakan hal yang sangat sulit.

Pakaian yang David kenakan tidak mencerminkan kalau dia datang untuk membeli rumah, makaya para sales masih tetap mengobrol seperti biasa tanpa sedikit pun memedulikan David. Saat itu David juga merasa sedikit canggung, bahkan orang yang berjaga di resepsionis juga tidak ada. Mau tanya pun tidak tahu harus bertanya ke siapa. Akan tetapi setelah berdiri di sana selama beberapa detik, seorang perempuan berusia kurang lebih 27 tahun yang bernama Karin keluar dari toilet. Dia baru saja bergabung ke tim sales Jina International Mansion bulan lalu berkat koneksi dari omnya. Karin berasal dari kota kecil. Mulanya dia pikir bisa menghasilkan banyak uang dengan menjual rumah di kawasan elite ini, tapi ternyata sudah sebulan lebih dia masih tidak mendapatkan satu pelanggan pun.

Dalam waktu satu bulan terakhir, jumlah pelanggan yang datang ke sini masih bisa dihitung jari. Begitu masuk, mereka langsung diserbu oleh para sales yang sudah siap menunggu, sehingga Karin tidak mendapatkan kesempatan sedikit pun. Lagi pula, dalam satu bulan ini juga tidak ada satu unit pun yang terjual.

Ketika Karin baru saja keluar dari toilet dan melihat ada anak muda yang sebaya dengannya, dia pun langsung pergi melayani berhubung para sales senior tidak ada yang peduli.

“Selamat datang, Pak. Mau lihat unit?” sapa Karin ramah.

“Iya!” jawab David.

Dalam hati Karin merasa sangat senang akhirnya dia bisa membawa pelanggan keliling melihat unit.

“Bapak mau lihat unit yang mana?”

“Ada rumah model apa saja di sini?”

Dengan sigap, Karin pun memperkenalkan semua jenis rumah yang masih tersedia untuk dibeli kepada David. Sebenarnya sisa unit yang ada di sini juga tidak banyak, jadi pilihan yang David punya pun sangat terbatas. Pada akhirnya, David memilih sebuah unit nomor 3 dengan di lantai 22 yang memiliki luas 500 meter persegi.

Karin pun mengambil kunci di meja resepsionis dan membawa David ke unit yang dia minta. Ketika mereka berdua sudah pergi, orang-orang yang masih berada di area lobby pun mulai bergosip.

“Dia mau lihat unit? Bajunya saja kayak anak jalanan, pasti gembel itu. Dia tahu nggak, sih, ini tempat apa?”

“Iya, tuh. Mau beli yang luas 1 meter persegi saja pasti nggak sanggup. Cuma anak baru kayak Karin saja yang mau bawa dia. Ini cuma buang-buang waktu doang!”

“Mungkin dia baru datang dari kampung, jadi nggak tahu berapa harga rumah di sini. Kalau dia tahu, pasti langsung kencing di celana. Hahaha!”

“Setuju. Kita lihat saja nanti pas dia sudah pilih mau unit yang mana.”

Dua jam kemudian … akhirnya David dan Karin kembali juga ke lobby kantor pemasaran. Mereka berdua duduk di kursi yang ada di samping lobby dan Karin menyajikan segelas teh untuk David.

“Gimana, Pak David. Apa unitnya memuaskan?” tanya Karin.

“Masih agak kurang. Lokasi unit nomor 3 tadi kurang bagus, unit nomor 1 masih ada sisa?”

David merasa unit nomor 1 memiliki lokasi yang paling strategis. Berhubung dia serius ingin membeli dan punya uang, sekalian saja beli yang terbaik.

“Mohon tunggu sebentar, ya, Pak. Saya cek dulu.”

Karin segera meraih tablet-nya dan mencari unit yang diinginkan oleh David.

“Pak David, sisa unit nomor 1 tinggal satu lagi. Lokasinya ada di lantai paling atas penthouse dengan model luxury duplex flat. Unit nomor 1 ini cuma ada di lantai 37 dan 38. total areanya mencapai 1.300 meter persegi. Biarpun harganya memang sedikit lebih tinggi, saya tetap menyarankan Bapak beli yang ini.”

“Oh? Aku boleh lihat-lihat lagi?”

“Boleh, sih, Pak. Tapi ….”

“Ya sudah, aku lihat saja dulu!”

“Baik, Pak David. Saya ambilkan kuncinya dulu.”

Ketika Karin baru saja mengambilkan kuncinya dan mereka berdua hendak naik untuk melihat unit, tak jauh dari sana ada seorang sales senior berusia 30-an tahun yang masih cukup menawan bertanya.

“Karin, kamu mau ke penthouse unit nomor 1?”

“Iya, Kak Anggy,” sahut Karin.

“Bukan apa, tapi unit yang di sana nggak bisa dikasih lihat ke sembarang orang, lho. Apalagi yang penthouse. Kalau sampai ada yang rusak, kamu berani ganti rugi?”

“Kak Anggy nggak perlu khawatir. Aku pasti bakal berhati-hati!”

“Karin, kamu kan masih baru, jadi kamu masih belum ngerti seberapa pentingnya pekerjaan kita. Kerja jadi sales itu harus punya daya pengamatan yang bagus. Coba lihat orang ini, memangnya dia sanggup beli?” ujar Anggy sambil menunjuk-nunjuk David tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Kak Anggy, aku percaya Pak David bukan orang kayak begitu.”

“Haish. Terserah kalau kamu nggak mau dengar. Tapi kamu harus lap bersih unitnya nanti, jangan sampai ada jejak-jejak kotor, ngerti?”

“Iya, Kak Anggy.”

Lantas, Karin pun segera membawa David ke lantai paling atas, di mana unit tersebut berada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status