Bismillahirrahmanirrahim.
Mohon dukung karyaku dengan menekan tombol berlangganan sebelum membaca. “Dek! Ini uang belanja bulan ini ya,” ucap Bang Jun menyodorkan amplop putih ke tanganku. Lelaki itu tampak senang menyerahkan sebuah amplop ke tanganku. Tanpa ada keraguan sedikitpun terlihat di mataku. Ia pikir aku akan seneng menerima seperti biasanya.Saat itu aku tengah melipat pakaian di kamar. Aku teruskan saja melipat tanpa berniat menghentikan kegiatanku. Hanya menoleh sekilas. Aku amati amplop itu dengan sebelah mata menyipit. Sudah bisa kuterka isinya. Kubiarkan saja tangan itu mengantung di udara. Tak ada lagi mata berbinar saat menerima amplop gaji seperti dulu, saat ia memberi penuh gajinya ke tanganku. Tak ada lagi wajah ceria menunggu tiap awal bulan tiba.Tak ada lagi hari istimewa, semua hari sama saja, kini terasa hampa. Semakin ke sini semakin terasa memuakkan dan menyesakkan dada.“Kok diam saja Dek, harusnya kamu seneng. Ini-kan yang selalu kamu tunggu tiap awal bulan tiba.” Ucapnya percaya diri, saat aku diam saja tidak meraih amplop yang disodorkannya. Aku hanya mencibir masam dan kecut. Menghela napas panjang yang bisa kulakukan, mendesah kecewa. Lalu melanjutkan melipat pakaian yang sebenarnya sudah selesai kukerjakan. Senang katanya, gaji yang tak seberapa itu membuatku gembira. Membuatku jingkrak-jingkrak meluapkan rasa. Kamu mengigau Bang, mimpi disiang bolong. Dengusku dalam hati.“Ini Dek, kalau kelamaan mengambilnya aku simpan lagi nih, nanti kalian bisa kelaparan,” seru Bang Jun dengan yakinnya, menurunkan tangannya, lalu menyodorkan kehadapanku, tepat dibagian wajah.Apa? Kelaparan katanya, kata siapa? Takkan kubiarkan perut anakku kosong tanpa asupan. Akan kupenuhi semua keinginannya. Termasuk jajannya sekalipun yang kamu tahan-tahan. Mana ada orang tua di dunia ini memberi jajan anaknya hanya 2.000 perak setiap harinya.“Maaf Bang, simpan saja uangmu, aku tidak butuh lagi.” Sahutku seraya berdiri dan bergegas ke belakang, meneruskan merapikan pekerjaan yang sempat terbengkalai tadi di dapur.Duk."Aww... Aduh sakit," lirihku tertahan.Karena berjalan tidak hati-hati, kepalaku sampai menubruk lemari hingga perih terasa. Kini bukan saja hatiku yang sakit tapi kepalaku kena imbasnya juga. Mungkin didoakan lelaki bergelar suamiku itu karena lancang menolak uang pemberiannya. Biarlah derita ini kutanggung sendiri, daripada anakku menderita lebih lama lagi.Bang Jun mengikuti dari belakang, kemudian menahan langkahku."Kamu kualat itu karena menolak pemberianku.“Sekarang jelaskan, apa maksudmu!! menolak uang yang aku berikan, kamu punya uang?” tanya Bang Jun menelisik wajahku, dengan berbagai kecurigaan mungkin muncul di hatinya. Apa peduliku, biarkan saja ia berpikiran buruk sekalipun.Aku mengusap kepalaku perlahan-lahan. Nyeri masih terasa, tapi tak kalah nyeri dihatiku.“Tidak ada maksud apa-apa.”“Lalu kenapa uang ini kamu tolak.”“Untuk apa? Membiayai semua kebutuhan keluarga ini! Mana cukup segitu, Bang. Mending Abang simpan saja uang itu sendiri. Cari sendiri dan habiskan sendiri, kami tidak butuh lagi.”“Sombong kamu, lalu bagaimana caramu membiayai semua kebutuhan kalian, kalau aku jangan pikirkan, aku bisa cari sendiri di kota.”Aku mengedikkan bahu, “Ya udah Bang! Kamu simpan dan pakailah uang itu untukmu sendiri. Jangan pikirkan kami, dari pada aku bingung membaginya, apa lagi bila dikatakan boros menggunakannya. Mending tidak usah.”"Kalau terjadi apa-apa dengan kedua anakku, maka kamulah orang pertama yang aku cari." Sambung Bang Jun mulai tampak marah dan kesal, karena aku tak kunjung mengambil amplop itu."Ini ambil," titahnya lagi."Jangan khawatir Bang, aku bisa mengurus mereka dengan uangku sendiri.""Bagaimana caramu mengurus mereka, sedangkan kamu tidak bekerja. Dapat uang dari mana untuk membiayai semua kebutuhan kalian.""Nanti aku akan bekerja.""Kamu pikir cari kerja itu gampang, apalagi hanya mengandalkan ijazah SMA.""Tidak ada yang sulit Bang, asal mau berusaha." Sanggahku cepat."Jadi benar kamu menolak uang ini," pungkas Bang Jun memastikan.Aku mengangguk. "Bagaimana kamu biayai hidup mereka.""Ada Allah, serahkan saja padanya."Bersambung...Bismillahirrahmanirrahim.Beberapa bulan sebelumnya.Bang Jun suamiku tengah berkemas, setiap hari Sabtu ia pulang ke rumah. Minggu pagi ia pergi lagi bekerja menjadi sopir keluarga kaya di kota. Pekerjaan itu dilakoninya semenjak satu tahun yang lalu. Selama satu tahun itu pula kami terpisah jarak. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, aku menerima saja dengan lapang dada, meskipun harus hidup berjauhan. Aku pasrah saja. Apa yang bisa aku lakukan, selain menerima. Aku hanya ibu rumah tangga yang tidak punya penghasilan. Hidupku tergantung padanya.Aku juga tidak memiliki keahlian apapun, selain masakan ku yang dibilang orang enak. Bang Jun telah selesai berkemas dan bersiap untuk pergi ke kota tempat ia mencari nafkah. Untuk berkemas pun, bang Jun selalu melakukannya sendiri. Katanya, aku tidak bisa mengurusnya, ada saja arang yang ketinggalan katanya. Terlihat ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan uang dan menyerahkan padaku.“Dek, ini uang belanja untuk bulan ini.” Bang Jun meny
Bismillahirrahmanirrahim.“Halah... Jangan banyak alasan, kamu saja yang tidak becus mengaturnya. Jangan-jangan uang itu kamu sisihkan sebagian untuk ibumu. Benarkan dugaanku," seru Bang Jun menuduhku tanpa bukti. Whats? Sisihkan untuk ibu? Mana pernah aku memberi uang pada ibu, justru ibu yang sering memberi Nisa dan Dio secara diam-diam. Aku malu pada ibu, tidak pernah menyelipkan uang ke tangannya. Setiap kali ibu datang, selalu tangan keriputnya itu menyelipkan uang ke tangan cucunya. Alih-alih untuk jajan cucu katanya, padahal ibu tahu aku sering kekurangan. Sering aku tolak, ibu malah sedih. Sejak saat itu aku tidak pernah menolak lagi bantuan dari ibu.Sekarang, dengan seenak perutnya, Bang Jun menuduhku menyisihkan sebagian uang itu untuk ibuku. Sungguh kejam dan terlalu kamu Bang. Pikiranmu sungguh sempit Bang!“Jangan menuduh sembarangan Bang, kapan aku kasih uang ke ibu? Untuk memenuhi kebutuhan kita saja masih kurang, Terus bagaimana caraku kasih ibu! Jangan menuduhku se
Bismillahirrahmanirrahim.“Jangan lupa klik tombol berlangganan ya.“Baiklah mulai besok Mama mau jual gorengan. Nisa mau bantu Mama tidak?”“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang. Gadis kecil itu loncat-loncat kegirangan. Aku tersenyum lebar, kebahagiaannya pelipur lara bagiku. Hilang rasanya semua beban berat yang kupikul. Bagiku, kehadiran Nisa itu ibarat oase di gurun pasir. Menyejukkan dan menentramkan hati yang sedang gundah gulana.“Emang Nisa tidak malu punya Mama penjual gorengan?” tanyaku memastikan. Aku tidak mau nanti Nisa rendah diri, lalu mengurung diri di kamar akibat rasa malu. Apalagi bila ada temannya yang melihat pekerjaanku.Nisa menggeleng cepat. “Untuk apa malu, temanku ada yang jualan di sekolah.”“Hah! Benarkah, jualan apa?” tanyaku tidak percaya.“Itu, pembatas buku,” sahutnya menatapku, seraya mengedipkan mata.“Pembatas buku-kan beda sama gorengan, lebih bersih gak ada noda minyak.”“Kan yang jualan Mama, bukan aku, kenapa pusing, kenapa harus malu. Kalau mama menc
Bismillahirrahmanirrahim.Seminggu pun berlalu, daganganku selalu habis bahkan cenderung kurang. Aku harus tambah dagangan, supaya tidak mengecewakan pelanggan. Tapi aku tidak bisa mengerjakan sendiri, aku butuh bantuan tenaga orang lain. Aku tidak menyangka daganganku laris manis. Mungkin inilah rezeki Nisa dan Dio, yang tidak bisa dipenuhi oleh ayahnya. Asal mau usaha, pasti ada hasilnya. Senyumku merekah seketika.Nantilah aku pikirkan sambil jalan. Cari pegawai yang jujur juga tidak mudah. Perlu kehati-hatian, supaya usahaku tidak gulung tikar. Meskipun jualan remeh, bagi pandangan sebagian orang. Tapi bagiku sangat menyenangkan. Tapi tidak perlu berkecil hati, yang penting halal.Besok adalah waktunya Bang Jun pulang. Aku segera memasukkan meja ke dalam, biar Bang Jun tidak curiga. Kalau Bang Jun tahu, ia bisa marah besar. Tak lupa aku tarok pengumuman, bahwa hari Sabtu dan Minggu libur. Supaya tidak ada pelanggan yang datang keesokan harinya. Jadi jualannya 5 hari saja, dari
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah jarak. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Duduk menemaninya sambil minum teh yang aku suguhkan.Bila tidak ingat Nisa dan Dio kehilangan sosok ayah, rasanya aku mau berpisah saja dengannya. Untuk apa bersama, kalau hanya makan hati dan sakit hati serta lelah hayati.Aku lebih banyak diam. Sedangkan Nisa dan Dio tidak berhenti berceloteh melepas kangen dengan ayahny
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah cukup lama. Seminggu itu bukan waktu yang pendek untuk menjalani kehidupan terpisah sebagai pasangan suami istri. Harusnya kerinduan itu berpusat padanya. Harusnya kami melepaskan hasrat yang tertahan sekian hari. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Ia mengikuti dari belakang. Aku langsung duduk supaya dia tidak curiga, duduk menemaninya sambil minum teh yang aku
Bismillahirrahmanirrahim.“Nanti ibu dijemput si Zaki, kamu tenang saja, tidak perlu khawatir. Apa kamu tidak sebaiknya ikut ibu pulang. Nanti menginap di sana selama seminggu. Biar ibu minta Juna menjemput kalian ke sana. Sudah lama juga-kan kalian tidak menginap di rumah sana."Tuh benar dugaanku, ibu pasti mengajakku serta. Duh jadi tambah ribet, ditolak gak enak, diterima, juga bermasalah. Bagaimana dengan daganganku yang baru saja dimulai, bisa-bisa aku mengecewakan pelanggan. Belum apa-apa, sudah main tutup saja."Mau Ma, mau," sahut Nisa tiba-tiba. Aku mengerti Nisa pasti kangen kakeknya. Sejak Bang Juna kerja di kota dan pulang satu kali dalam seminggu, kami tidak pernah lagi menginap di rumah ibu. Aku tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan ibu, bagaimana dengan usaha yang baru saja kurintis. Masa ditutup, kasihan pelanggan dong kalau begitu.“Maaf Bu, aku mau saja ikut ibu. Tapi Nisa-kan sekolah. Tidak mungkin minta izin meninggalkan sekolah selama seminggu. Aku nanti jeng
Bismillahirrahmanirrahiim.Jangan lupa klik tombol berlangganan ya, terima kasih atas pengertiannya.Selamat membaca.“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”“Pasti Bu Marni, saya percaya, ibu tentu bisa menjaga rahasi-...” Perkataanku mendadak terjeda, ketika tiba-tiba terdengar seperti benda jatuh, spontan aku dan Bu Marni menoleh ke asal suara.“Jangan-jangan ada yang menguping pembicaraan kita Bu Arini. Jika benar, kalau nanti rahasia ini terbongkar, tolong jangan salahkan saya,” pinta Bu Marni khawatir sekaligus takut.“Baik Bu Marni, aku percaya ibu 100 persen. Tapi siapa yang berani mengintip kita ya. Lagian ini juga sudah malam.”“Buruan cek Bu Arini, siapa tahu orangnya belum jauh.” Perkataan Bu Marni menyadarkan ke-bengonganku. Meskipun terlambat tidak apa-apa, siapa tahu benar orang itu belum jauh.Aku segera berlari mengecek ke luar, mau lihat siapa yang berani menguping percakapanku dengan Bu Marni. Sesampainya di pintu tidak ada siapa-siapa. Tapi kembang dekat teras