Share

Bab 6 Hari Terakhir Ega

Keesokan harinya, saat meeting internal, Rahma tampak sudah menyediakan banyak snack untuk kami. Namun meskipun jumlahnya banyak dan bisa mengimbangi jumlah peserta meeting, tetap saja menuai protes dari pihak Bu Angel.

“Saya dapet bonusan aja beberapa buah snack karena langganan dan sering order,” kata Rahma saat ditanya Bu Angel kenapa snack tampak lebih banyak dari biasanya.

“Awas lo ye, kalau ternyata budget snack membengkak,” timpal Bu Angel yang langsung mencomot soes fla dengan sigap.

“Tenang, Bu. Saya udah kalkulasiin kok,” sahut Rahma cuek.

Tak berkomentar apa-apa lagi, akhirnya Bu Angel membuka meeting hari itu dengan penuh percaya diri dan kharismatik, yang jujur, gue sampai tercengang melihatnya. Dia menguasai seluruh proses dan kebutuhan bank anak buahnya. Proses sampai di mana dan apa saja kendala-kendalanya. Pak Vino saja sampai berdecak kagum.

***

“Lo pasti kagum ya dengan cara Bu Angel kalau present di depan?” tanya Ega sambil berjalan bersama gue menuju parkiran motor, tempatnya memarkir motor seharian.

“Nggak juga sih, biasa aja,” kata gue berbohong.

“Nggak usah boong lo. Kalo bisa gue poto, udah gue poto muka lo yang nganga sepanjang doi present soal tim kita. Untung muka lo berubah waktu Pak Vino mimpin meeting ngomongin soal raker,” timpal Ega.

“Beneran tuh, kita bakalan diajak Kick Off Meeting di Jogja?” tanya gue mengulang informasi yang diberikan oleh Pak Vino kepada kami tadi.

“Iya. Gue sih udah pasti nggak ikut. Kan acaranya bulan depan. Gue udah cabut. Kalo lo, gue nggak tahu masih probation gitu boleh ikut nggak. Tapi pastinya sih budget buat gue masih ada, kan acara kaya gini udah direncanain 3 bulan sebelumnya. Nah pertanyaannya sekarang budget gue bakalan dilimpahin ke lo nggak,” sahut Ega.

“Terus biasanya ngapain sih acara kaya gitu?” tanya gue.

“Ya kaya tadi, Bu Angel akan presentasi ke depan tuh ngomongin rencana proyek tahun ini, target tim dan target perorangan, capaian target, mirip-mirip tadilah, cuma lebih gede aja, karena yang nyaksiin seluruh bos-bos,” jawab Ega.

“Semua karyawan ikut kick off?”

“Kayanya sih engga, biasanya cuma divisi sales, anak-anak PM (Project Manager), Engineer yang senior, Support yang senior, terusss nggak lupa semua bos, seluruh anak HRD dan markom, HRD sih karena panitianya mereka. Anak markom biasalah buat liputan acara, kan kita juga ada digital magazine tiap bulan. Sekaligus buat isi konten sosmed.”

“Kaya Rahma gitu? Ikut nggak?”

“Sudah pasti enggak. Seluruh admin nggak ada yang ikut. Mau itu Rahma, Wuri, -adminnya Veve, Olin, adminnya Pak Cokro, atau Bimo, adminnya Bu Cla. Stand by juga mereka, takutnya ada customer menghubungi atau datang ke sini. Yang paham proyek, selain sales kan mereka. Semacem karya wisata terselubunglah, karena hari terakhir biasanya bebas.”

“Terus anak-anak admin nanti jalan-jalannya kapan?”

“Hmmm, ada sih, tapi nggak rame-rame, internal tim aja. Biasanya pertengahan tahun. Tahun lalu sih divisi sales ke Anyer. Nggak tahu tahun ini. Kalo lo ada ide dan budgetnya oke, ajuin aja. Bu Angel biasanya males ngurusin masalah ginian. Dia cuma mau tahu soal opsi-opsinya aja. Nanti tiap tim ajuin satu tempat, Pak Vino yang mutusin. Nah Rahma dan yang lainnya bisa dapet kesempatan jalan-jalan ya waktu itu.”

“Oh gitu. Lo sendiri kenapa resign pertengahan bulan sih. Emang udah harus buru-buru masuk di kantor baru ya?”

Ega tertawa.

“Secret ya, antara kita aja. Sebenernya jatah cuti gue masih banyak pake banget. Ya gue ambil aja itung mundur dari akhir bulan. Pas banget tanggal 15 gue last day. Kenapa? Takut lo nggak ada gue?”

“Pede amat. Enggaklah, Ga. Terus kalo lo nanti udah nggak di sini, gue boleh WA lo nggak nanyain soal kerjaan?”

Ega menyerahkan helm cadangan yang ternyata memang selalu dipersiapkannya setiap hari itu. Menurut keterangannya, hampir setiap hari selalu ada saja yang menebeng pulang padanya.

“Boleh, selama satu bulan pertama selepas gue pergi, lo boleh tanya apa aja sama gue. Tapi bulan-bulan berikutnya, gue BIG NO ya. Gue pengen move on. Gue juga butuh fokus di kerjaan baru kan. Tapi kalo selain masalah kerjaan, lo boleh-boleh aja nge-WA gue. Misal mau curhat soal Bu Angel atau nggosip soal Bu Cla juga boleh.”

“Hah? Kok bisa Bu Cla? Kenal banget juga nggak!”

“Hehehe, dia itu target utama pergosipan di kantor kita sebenernya. Lo aja yang belum tahu. Atau soal Pak Cokro? Hahahaha, tua bangka itu juga selalu bikin lo kesel nantinya. Tanya aja sama Veve atau si Nana kalau nggak percaya.”

“Lah, kan Veve sama Nana anak buah Pak Gandha, kok bisa nyambung ke Pak Cokro?”

“Lo udah pernah ketemu Pak Cokro belum sih?”

“Belum. Pak Gandha juga cuma nebak-nebak dari jauh soalnya ada sosok bapak-bapak yang sering kasih kerjaan sama Veve dan Nana.”

“Hahaha, ya udah. Besok Jumat, lo akan liat. Sekaligus itu hari terakhir gue. Tanggal 15 nya kan jatuh di hari Minggu kebetulan.”

“Hah? Cepet banget, Ga.”

“Iya, nggak berasa ya. Akhirnya gue bebas dari sini.”

“Kok gitu ngomongnya, Ga? Emang lo selama ini nggak happy di sini?”

“Mau tahu aja! Yang pasti masa-masa happy itu ada. Masa-masa menyedihkan juga sering. Pesen gue cuma satu. Lo harus tegas dan berani di sini.”

Gue tersenyum getir sambil membonceng Ega. Pertemuan gue sesingkat itu dengan manusia ini. Tapi gue masih belum tahu apa alasan utama dia mengajukan resign. Ya, gue tahu Bu Angel itu bisa membuat percikan api di sana-sini. Tapi, gue selalu merasa, bukan hanya itu satu-satunya alasan.

***

Tak terasa, hari Jumat pun tiba. Undangan Sales Meeting sudah dikirim di hari Rabu. Karena pesertanya cukup banyak, kami memakai ruang meeting Sansekerta, ruang meeting terbesar di perusahaan ini. Ruang meeting ini bisa menampung hingga 200 orang dengan posisi semuanya duduk sejajar (teater). Dan 100 orang jika dibuat dalam bentuk banquet atau board room.

Gedung ini terletak di luar gedung kantor sebenarnya. Saat hari Jumat, selalu difungsikan sebagai masjid dadakan oleh karyawan sekitar gedung, bukan hanya karyawan ini saja. Namun karena hari itu ada meeting besar, solat jumat dipindahkan ke basement gedung. Beberapa mobil harus dipindahkan sementara.

Padahal kami tak sampai 50 orang. Seluruh divisi sales yang masing-masing beranggotakan 4-5 orang, admin-admin mereka, perwakilan dari divisi PM, petinggi FA, perwakilan engineer serta dari pihak Pak Vino sendiri. Memang sih ada tambahan dari beberapa C level. Pak Adnan selaku CEO atau Presiden Direktur dan Pak Marjan selaku Wakil Direktur. Serta Bu Agatha, sebagai CFO baru yang masuk dan bergabung ke perusahaan beberapa bulan sebelum gue join. Termasuk sekretaris mereka masing-masing.

Sales Meeting bulanan ternyata sebesar ini. Kata Ega, weekly Sales Meeting biasanya hanya Divisi Sales doang. Dan biasanya yang datang dari C level cuma Pak Marjan saja. Namun kali ini karena akan membicarakan kick off yang sudah diinfokan oleh Pak Vino sebelumnya, maka diadakan secara besar-besaran.

Dulu, di bank tempat gue bekerja, gue hanya bisa melihat informasi mengenai CEO dan C level lainnya melalui email atau website. Tapi di perusahaan ini, C level bergabung dengan para bawahannya untuk meeting bersama-sama. Mungkin karena besarannya jumlah karyawan juga mempengaruhi. Apakah itu terlihat nyaman buat gue? Kita lihat saja nanti.

Deretan depan kursi diisi oleh para C level, namun beberapa team leader kami menemani mereka. Pak Marjan tampak duduk bersebelahan dengan Bu Cla dan Bu Angel. Pak Vino tampak mengobrol akrab dengan Pak Adnan. Gue bisa lihat sekarang bahwa Pak Adnan tak lebih tua dari Pak Vino. Bahkan mungkin seumuran. Untuk Pak Marjan sendiri, beliau tampak lebih tua dari kami semua. Meskipun gue yakin belum menyentuh angka 50.

Saat itu pulalah gue bisa melihat Pak Cokro, topik gue dan Ega semalam. Beliau tak lebih dari bapak-bapak berusia 40-an biasa dan berkacamata tebal. Tak banyak yang bisa gue nilai. Dia tampak ramah pada karyawan yang duduk di dekatnya. Terlalu akrab malah. Yah, mungkin tipikal atasan yang tak punya dinding batasan dengan bawahannya. Mungkin.

Pak Gandha, datang paling terakhir. Dia beralasan macet dan akses dekat rumahnya ditutup karena banjir. Sehingga dia harus jalan memutar cukup jauh. Pak Gandha sendiri orang yang tidak terlalu supel. Namun dari Veve dan Nana, gue bisa lihat bahwa Pak Gandha mungkin orang yang tidak memiliki perangai emosional seperti bos gue, si Nenek Lampir.

Pak Vino maju ke depan, kemudian berpidato salam pembuka dan menyapa seluruh karyawan di ruangan itu satu-satu. Bahkan beliau sempat memperkenalkan gue, sebagai AM terbaru di situ. Dan beliau pun bahkan menyuruh gue untuk memperkenalkan diri secara lantang. Tak banyak yang benar-benar memperhatikan perkenalan singkat gue. 

Setelah gue selesai, Pak Vino memberikan informasi bahwa hari ini akan menjadi hari terakhir Ega bergabung di perusahaan. Ega diminta membuat farewell speech yang akan diungkapkannya saat acara Sales Meeting selesai. Untuk sementara, kami semua diminta untuk fokus pada presentasi masing-masing tim. Termasuk tim gue, yang akan dipresentasikan oleh Bu Angel.

Menurut info dari Ega, saat Bu Angel presentasi ataupun leader lainnya melakukan hal yang sama, setiap AM harus siap sedia saat disebutkan customer yang dipegangnya. Bahkan bagaimana progress perkembangannya, meskipun hanya secara garis besarnya saja. Mereka nggak akan segan-segan menanyakan progress terakhir yang seharusnya setiap AM tahu. Untuk itulah kenapa selalu ada daily report, weekly report dan monthly report.

Pasti adakalanya salah satu atau beberapa AM yang tidak sempat melakukan update, dan itu akan membahayakan dirinya sendiri sekaligus timnya jika dia tidak pandai memilih kata. Dan sepertinya itu yang sedang terjadi pada Veve. Sektor swasta yang dibawanya memang cukup menguras effort. Hampir seluruh AM di timnya harus mencari peluang baru. Dan itu tidak mudah. Bagaikan dua sisi mata uang, sekstor swasta proyeknya bisa kecil-kecil dan banyak seperti uang receh atau sekali tapi langsung memenuhi target lo dalam satu tahun.

Berbeda dengan bank yang sudah pasti akan memakai produk perusahaan gue, tinggal bersaing harga saja dengan perusahaan sebelah, kadang menang dan kadang kalah. Produk yang dijual di tim Veve agaknya tak selalu bisa semulus itu jalannya. Kebanyakan hanya maintenance customer lama. Dia selalu mengeluh, Pak Gandha selalu saja menyuruhnya untuk mencari peluang baru bersama Nana, namun Pak Gandha sendiri tidak pernah bisa tegas jika mengambil keputusan.

Kadang, peluang-peluang baru sering ditolak oleh Pak Vino karena kurangnya data dan project yang terbilang tidak terlalu menguntungkan. Padahal itu bisa saja diterima jika Pak Gandha bisa mendukung tim Veve dan Nana untuk mengambil margin lebih. Hanya saja, kekakuan Pak Gandha dan sikapnya yang terlalu “yes, man” terhadap para atasan namun di sisi lain selalu menekan timnya agar bekerja lebih keras lagi. Kurang lebih itulah yang pernah diceritakan Veve dan Nana saat mereka breakfast di rooftop.

Pak Adnan adalah orang yang selalu lebih percaya angka dan hasil akhir, bukan proses. Berbeda dengan Pak Marjan yang lebih luwes. Hal-hal itu sering membuat mereka berselisih pendapat. Tapi menurut Ega, Pak Marjan selalu tidak bisa banyak mengambil keputusan akhir, meskipun dia membela kami mati-matian. Pak Adnan lah yang selalu menjadi penentu akhir seluruh project yang didapatkan divisi gue.

Pandangan gue yang jenuh dengan presentasi tim Pak Gandha yang menimbulkan pertanyaan di sana-sini akhirnya melayangkan pandangan ke arah lain. Tak sengaja gue bertatapan dengan Pak Cokro, leader sales untuk BUMN itu, ternyata telah memperhatikan gue sejak tadi. Gue ingin membuang muka namun awkward juga karena secara nyata gue berpandangan dengannya cukup lama. Dia melambaikan tangannya pada gue dan mengedipkan mata kanannya dengan genit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status