SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.
Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.
Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju
EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem
MEKAR BUNGA KHAS musim semi di luar sana tampak begitu indah, berbanding terbalik dengan suasana hati seorang perempuan pirang yang tengah duduk di sebuah kursi restoran makanan tradisional. Lampu lampion gantung dan dekorasi klasik berupa tumbuhan sintetis menghiasi tempat makan mahal itu. Meja dan kursi berjejer rapi, hanya terisi oleh beberapa pengunjung saja. Dinding ruangan berupa kaca, memperlihatkan mekar bunga sakura di halaman sana. Mewah dan elegan merupakan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan tempat ini. Airi akan menikmatinya kalau saja dia tidak sedang berbincang dengan sosok wanita paruh baya di hadapannya. Seolah terlahir untuk hidup lingkungan elite, sosok itu terlihat begitu cocok berada di tempat mewah nan elegan semacam ini. Rambut hitam panjangnya digelung rapi. Manik permata tersema
"PAMAN NISHIDA! KAU datang!" Seorang pria jangkung dengan rambut kecokelatan yang cukup panjang tertawa ringan. Dia menerima high five yang dilemparkan seorang pemuda dua belas tahun yang baru saja berlari menghampiri. Kacamata hitam bertengger bangga di hidung bangir si pemuda, hitam kacamatanya tampak begitu kontras dengan kulit putih pucat yang akan membuat banyak anak perempuan merasa iri. Dia kembali memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. Seringaian di wajahnya berhasil membuat beberapa perempuan di bandara itu berhenti sejenak untuk menoleh. "Bahasa Jepangmu membaik," komentar Ethan, pria yang barusan disapa oleh si pemuda. "Sekarang kau juga sudah sangat besar. Terakhir kali aku melihatmu, kau masih setinggi ini." Ethan menunjuk pinggangnya. "Aku masih bisa tumbuh. Kau tunggu saja," balas si pemuda. Dia melepas kacamata dan menggantungnya pada kerah pakaian. "Di sekolahku ada anak baru dari Kyoto. Kami bicara den
TINGGAL DI LINGKUNGAN baru tidaklah mudah. Sejak meninggalkan Tokyo dua belas tahun lalu, Airi jadi lupa seberapa disiplinnya orang-orang dari negara ini. Disiplin yang dimaksud Airi merujuk pada sesuatu yang baik. Jepang menjadi salah satu negara maju di Asia dan di dunia bukan tanpa alasan. Warga di negara ini begitu sopan dan patuh pada aturan. Di sini, kau takkan melihat orang-orang berdebat dan menyumpah satu sama lain akibat insiden lalu lintas, kau juga takkan mendapati perkelahian antar orang mabuk di sebuah gang sempit. Banyak hal yang disukai Airi dari negara ini. Namun, rasa sukanya juga sebanding dengan rasa tidak sukanya terhadap upah yang tidak setimpal, banyaknya formalitas, dan budaya senioritas yang begitu kental. Dari tiga ketidaksukaan itu, Airi telah merasakan dua di antaranya. Hari ini, dia baru saja memenuhi undangan pertemuan dengan Presdir Kage Summit Cinema, Akito Shigaki. Beliau adalah kaki tangan dari Presdir Kage Summit Studios, perusahan
MAKAN MALAM KELUARGA besar seharusnya terasa hangat, bukan memuakkan dan membuat para anggota keluarga tidak nyaman. Paling tidak, Kei selalu merasakan hal itu sejak dia kecil. Keluarga adalah omong kosong. Mereka tinggal satu atap hanya karena kesamaan genetika, sebuah garis biologis yang menyatukan, bukan karena keinginan untuk tinggal bersama. Keluarga hanya bagaikan benalu, sebuah jerat yang mengekang hidupnya. Mereka membesarkan anak-anak hanya untuk mendapatkan balasan, agar ketika besar nanti mereka bisa menuntut anak-anak itu untuk memenuhi keinginan—memenuhi ambisi dan keserakahan sang orang tua. Definisi tersebut mungkin akan sangat salah untuk sebagian besar orang. Kei mengerti. Keluarga normal takkan mengartikan sebuah keluarga dengan cara pandang ini. Namun, kata normal tidak berlaku untuk keluarga Hasegawa. Baik secara keseluruhan, maupun keluarga kecil yang dibangun sang ayah. Meja berbentuk oval di sebuah ruangan meg
AIRI TIDAK MENYANGKA bahwa proposalnya diterima dengan mudah. Penerimaan proposal memang belum menunjukkan keputusan final kerja sama. Mereka masih harus melakukan presentasi untuk memperlihatkan nilai dari proyek yang ditawarkan. Melalui presentasi tersebut, pihak yang mendapatkan penawaran akan mempertimbangkan keuntungan yang akan mereka dapat dari partner baru mereka. Airi percaya diri dengan materi presentasi yang akan dibawanya. Namun, di saat yang sama dia cukup ragu. Izanami merupakan sebuah perusahaan yang begitu berjaya. Perusahaan tersebut juga merupakan rival yang beberapa hari lalu dibicarakan Ethan. "Sudah tahu ingin sekolah di mana?" Airi bertanya pada Kazuki selagi menyiapkan sandwich untuk sarapan. Kazuki tengah duduk di belakang konter dapur. Rambutnya masih acak-acakan khas bangun tidur. Dia menelungkupkan kepala di sana, menahan kantuk yang menerpa. Berbanding terbalik dengan penampilannya, sang ibu kelihatan sud
MEREKA SALING MENGENAL setelah Airi menghabiskan waktu istirahat dengan mengunjungi loteng sekolah, tempat terlarang bagi para siswa kecuali staf sekolah dan Kei Hasegawa.Entah kapan Airi memutuskan untuk mendekati Kei. Dia tak terlalu ingat waktu pastinya. Airi mendaftar di Kogakuen High School, sebuah SMA ternama yang rata-rata diisi oleh siswa-siswi yang berlatar belakang menengah ke atas. Jika bukan karena bantuan dana dari Shizune, yang bersikeras menyekolahkan Airi di yayasan bergengsi ini, dia takkan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sana.Airi tak punya catatan akademik yang mencolok. Dia hanya memiliki nilai rata-rata, tidak terlalu tinggi ataupun rendah. Alasan dia lulus seleksi di sekolah itu hanya karena motivasi untuk membalas budi baik Shizune. Ethan, yang tak punya kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian seleksi di Kogakuen, ikut membantu Airi belajar. Selain karena dia lebih tua dari Airi, dia dapat membantu Airi karena kemampuan akademik
AIRI TIDAK BERENCANA untuk memberikan pengalaman pertama-nya pada Kei. Sudah enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal. Selama itu pula, mereka hanya akan bertemu di sekolah, dengan Airi yang menghampiri Kei di loteng. Tempat itu seolah telah menjadi persembunyian khusus mereka. Airi akan menemui Kei di sana pada lima belas menit pertama jam istirahat. Mereka juga akan kembali bertemu sepulang sekolah setelah Airi menjadikan ajang 'Kei mentraktir ramen untuk Airi' sebagai agenda rutin. Tindakan ini dilakukan karena Kei bersikeras menolak ajakannya untuk bertemu siswa-siswa lain. Dia memang menerima Airi sebagai teman, tapi bukan berarti dia mau ikut bergaul dengan yang lain. Airi mengerti. Dia tidak memaksa. Mengenal Kei lebih dekat cukup untuk mengonfirmasikan anggapan tentang Kei yang tak seburuk berita-berita di sekitarnya. Dia memang dingin, menutup diri, dan sangat jarang berinisiatif untuk mengawali pembicaraan. Namun, sebenarnya