Share

[1] Kembali

"PAMAN NISHIDA! KAU datang!"

Seorang pria jangkung dengan rambut kecokelatan yang cukup panjang tertawa ringan. Dia menerima high five yang dilemparkan seorang pemuda dua belas tahun yang baru saja berlari menghampiri. Kacamata hitam bertengger bangga di hidung bangir si pemuda, hitam kacamatanya tampak begitu kontras dengan kulit putih pucat yang akan membuat banyak anak perempuan merasa iri. Dia kembali memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. Seringaian di wajahnya berhasil membuat beberapa perempuan di bandara itu berhenti sejenak untuk menoleh.

"Bahasa Jepangmu membaik," komentar Ethan, pria yang barusan disapa oleh si pemuda. "Sekarang kau juga sudah sangat besar. Terakhir kali aku melihatmu, kau masih setinggi ini." Ethan menunjuk pinggangnya.

"Aku masih bisa tumbuh. Kau tunggu saja," balas si pemuda. Dia melepas kacamata dan menggantungnya pada kerah pakaian. "Di sekolahku ada anak baru dari Kyoto. Kami bicara dengan bahasa Jepang sepanjang hari. Dia sangat baik. Kurasa dia menyukaiku."

Ethan menatapnya dengan tidak percaya. Dia mengerling pada seorang perempuan pirang yang menyusul menghampiri mereka.

"Bagaimana caramu membesarkannya?" tanya Ethan dengan heran sekaligus terpukau. "Dia akan jadi player sejati."

Airi tertawa rendah. Dia merangkul putranya, Kazuki, dengan sebelah tangan. Tingginya telah mencapai leher, tinggal menunggu waktu saja sampai Kazuki mengunggulinya.

"Entah. Dia tumbuh terlalu cepat," balas Airi. Menjejerkan wajah mereka, dia berkata, "Kami sering disebut sebagai kakak-adik."

"Tiga atau empat tahun lagi dia akan dikira sebagai pacarmu."

Kazuki menimpali. "Aku tidak masalah untuk jadi pacar Ibu."

Detik berikutnya, Kazuki telah menyipitkan mata akibat jambakan di belakang kepalanya.

"Siapa yang mengajarimu tentang pacar-pacar?" ungkap Airi dengan nada sok mengancam.

"Paman Nishida baru saja mengatakannya," kilah Kazuki.

Airi membebaskan Kazuki dari jambakan ringan-nya. Isyarat familier di mata safir ibunya membuat dia berkata, "Tidak mempermainkan anak cewek. Iya, aku mengerti."

Di hadapan mereka, Ethan mendengkuskan tawa. Dia kembali menatap Airi. Ketika pandangan mereka bertubrukan, Airi segera melangkah maju dan melemparkan rangkulan erat pada Ethan. Dia sedikit berjinjit ketika merangkulkan kedua lengan di leher sosok itu.

"Aku tahu kau rindu," ejek Ethan.

Airi menendang tulang keringnya sebelum menguraikan rangkulan.

"Harusnya kau lebih sering mengunjungiku," keluh Airi. Dia menunjuk Ethan dengan jarinya. "Sebagai bayaran, ambilkan koper kami di sana. Aku dan Kazuki akan menunggu di pintu keluar."

Kazuki bersekongkol dengan ibunya. Dia mengangguk dan segera menyambar lengan Airi.

"Ide bagus, Bu," katanya dengan ringan, sama sekali tak merasa bersalah. "Selamat bekerja, Paman. Beberapa koleksi buku dan manga favoritku ada yang langsung kubawa. Beratnya tidak seberapa, kok. Tenang saja."

Ethan ditinggalkan begitu saja di tengah keramaian bandara. Embusan napas keluar dari bibirnya. Dia mendengkuskan tawa, menahan rasa lega setelah melihat keadaan Airi dan Kazuki. Mereka berdua telah melalui banyak hal. Airi telah melalui banyak hal. Senyuman dan pelukan tadi benar-benar meringankan beban di pundak Ethan.

Ketika bergegas ke tempat pengambilan barang, dia merasa tidak keberatan. Asal dua orang itu dapat tersenyum lebar, perkara semacam ini takkan jadi masalah buatnya.

oOo

Pada penghujung tahun lalu, kontrak kerja Airi di Manhattan telah mencapai batas akhir. Di sana dia bekerja di sebuah perusahaan hiburan, tepatnya industri perfilman. Posisi yang didapat Airi di awal usia tiga puluhnya ini cukup menjanjikan. Dia dipercaya untuk menjadi manajer bagian produksi film suatu perusahaan ternama. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan itu bisa dibilang cukup besar. Dia mampu membeli apartemen hingga mobil sendiri, padahal lingkungan tempat tinggalnya dulu bisa dibilang cukup eksklusif.

Selama perjalanan menuju apartemen baru, Airi menceritakan tawaran kerja baru yang telah didapatnya. Salah satu kolega kerjanya di Manhattan telah merekomendasikan sebuah perusahaan film ternama di Jepang. Aplikasi kerja Airi langsung diterima dan tak tanggung-tanggung, dia langsung ditempatkan di posisi tinggi.

"Eksekutif Produser," kata Airi pada Ethan. "Posisi yang mungkin cukup setara dengan CEO di perusahaan film. Pengalaman kerjaku baru sekitar sepuluh tahun, tapi mereka langsung menawarkan posisi ini. Gila. Sangat gila."

Selagi menyetir, Ethan membalas, "Perusahaan apa yang menerimamu?"

"The Kage Summit Cinema," jawabnya. Dia meluruskan kedua kaki. "Kami melakukan wawancara daring. Terus tiba-tiba aku langsung dilemparkan ke salah satu cabang perusahaan yang bernama Hiraishin Picture. 'Kau akan menjadi CEO perusahaan ini,' katanya. 'Tolong selamatkan mereka.'"

Ethan tertawa. Nada suara Airi ketika meniru logat orang lain terdengar amat menggelikan.

"Kage Summit memang salah satu perusahaan hiburan terbesar di Jepang. Tapi, divisi perfilman mereka sedang sedikit terancam."

Airi menoleh. "Kenapa?"

"Karena persaingan," jawab Ethan dengan pendek.

Airi menanyakan saingan yang dimaksud oleh pria di sampingnya.

"Silakan cari tahu sendiri, Nyonya CEO."

Airi hanya berdecak. Mereka melanjutkan percakapan dengan berbicara tentang kegiatan sekolah Kazuki. Yang dibicarakan tidak mendengar dua orang dewasa di kursi depan karena kedua telinganya sedang disumpal earphone.

Setibanya di gedung apartemen, seorang petugas ikut membantu membawakan barang Airi. Mereka naik ke lantai lima belas, lantai di mana apartemen pesanan Airi berada. Ruang sewaan itu memiliki dua kamar utama dengan sebuah kamar mandi. Furnitur dan desainnya terbilang modern dibanding rata-rata apartemen di Tokyo. Ukuran tempat ini juga lebih luas dan besar. Langit-langit ruangannya didesain tinggi, tak seperti kebanyakan apartemen di Tokyo yang bergaya minimalis.

Melepas sepatu dan melangkah masuk, Airi menoleh ketika mendengar komentar Ethan.

"Aku tak tahu kau sudah jadi orang kaya."

Ethan mendaratkan diri di sebuah sofa panjang nan empuk. Permukaan sofa itu terasa begitu halus dan nyaman. Maniknya menatap lampu gantung yang indah di langit-langit ruangan.

Airi melepas jas panjangnya dan ikut duduk di samping Ethan.

"Bukan orang kaya," katanya. Senyuman puas merambat di bibir. "Tahun lalu, aku menanam investasi di sebuah perusahaan besar. Akhir tahun kemarin aku mendapatkan hasilnya." Tiba-tiba dia tertawa. "Dan kau tahu? Gajiku jauh lebih rendah dibanding hasil investasi itu. Upah kerja di Jepang juga sangat parah. Aku berani mengambil risiko untuk tinggal lagi di sini karena telah mendapatkan deviden. Apartemen ini juga kusewa karena aku sedikit ingin menikmati hidup."

Ethan mendengkus.

"Kau mengejekku?" Dia menghela napas panjang. "Ah, aku akan tidur di sini setiap hari. Sofa ini bahkan jauh lebih nyaman dibanding tempat tidurku."

Mengambil sebuah bantal, Airi melemparnya pada Ethan.

"Sebaiknya kau mengumpulkan keberanian kacangmu agar dapat membuka bar sendiri. Tak ada keuntungan tanpa pengorbanan, Pemalas." Airi berdiri dan merenggangkan badan. "Lagi pula, apartemen ini masih di bawah satu juta yen. Fasilitas seperti ini takkan bisa kudapatkan di New York. Tokyo memang terbaik!"

"Lihat, siapa yang baru saja mengeluhkan gaji minimum Jepang dan sekarang menjilat ludahnya sendiri."

Suasana hati Airi sedang terlalu cerah untuk meluapkan kejengkelan. Dia menarik koper ke dalam kamarnya dan memanggil Kazuki untuk makan malam. Yang dipanggil baru saja berkeliling ruangan. Ekspresi datar tergambar di wajahnya, berbanding terbalik dengan kalimat yang dia ucapkan.

"Menakjubkan." Dia melayangkan tangan, menunjuk ruangan dan perabotan yang dimaksud. "Pemanas otomatis di bak mandi, ruangan dengan lantai kayu, dan pintu-pintu geser. Menakjubkan."

Airi mengerutkan kening sebelum berbalik dan berjalan ke ruang tengah.

"Aku tak tahu apakah kau sedang sarkastis atau tidak."

Kazuki menyusulnya dengan langkah lebar.

"No. I'm serious, Mom."

"Boy, look at your face. Wajahmu tak menyuarakan hal yang sama dengan ucapanmu."

Kazuki mengerang lelah, tak lagi ingin membalas candaan Airi.

"It just how my face looks like." Dia menjejeri Airi dan dengan kasual berujar, "Mungkin kau harus mulai mencari pacar biar tidak lagi meledekku, Bu."

Ketika Airi menoleh dari layar ponsel, Kazuki telah mengayunkan kaki untuk berlari. Dia menghampiri Ethan dan bersembunyi di belakangnya, menjadikan lelaki itu sebagai tameng.

Pemandangan yang demikian menambah rasa heran Ethan.

"Kalian benar-benar ibu dan anak?" tanyanya heran.

Suasana hati Airi sedang baik. Dia membiarkan Kazuki bebas. Dengan lugasnya dia berkata, "Dia adalah teman hidupku."

Ethan tak bisa menyangkal ucapan Airi. Sebagai putranya, Kazuki memang telah hidup bersama dengan Airi selama dua belas tahun. Dia memang teman hidup Airi. Tapi ... kalimat di atas tetap terdengar ambigu.

Ekspresinya mungkin terpampang jelas di mata Airi. Ethan berjengit ketika kembali mendapatkan tendangan ringan di tulang keringnya.

"Jangan berpikir macam-macam," ancam Airi. "Aku tak butuh pria," tambahnya.

Mereka berjalan ke pintu keluar. Airi tengah menekan sandi apartemen ketika Ethan berujar, "Kau baru saja meminta bantuan seorang pria untuk menjemputmu di bandara."

Masih memunggungi lawan bicaranya, dia membalas, "Kau bukan pria di mataku."

Dengkusan tawa Kazuki semakin menambah penderitaan Ethan. Saat melihat Kazuki, dia tengah menepuk dada selagi berekspresi kesakitan, seolah jantungnya baru saja ditusuk tombak.

Seulas seringaian kemudian hadir.

Kepala Ethan terasa berdenyut-denyut.

"Aku menyesal sudah menjemput kalian."

Airi menoleh untuk memandang Kazuki, bertanya hal apa yang sekiranya menimpa Ethan.

Kazuki hanya mengedikkan bahu. Dia menyusul Ethan keluar dan merongrongnya untuk mentraktir makanan. Airi menutup pintu dan ikut berjalan. Dari belakang mereka, dia mengulum senyuman saat melihat keduanya berbincang seru, beberapa kali tertawa dan bercanda.

Selama ini, Airi khawatir jika putranya kesepian. Hari-hari Airi banyak dihabiskan di kantor. Dia takut melewatkan keperluan putranya. Dia takut jika Kazuki melampiaskan kesendiriannya pada hal lain yang tidak Airi inginkan.

Terkadang, anak itu bisa sangat diam dan tak ingin diajak bicara. Mereka hanya akan makan bersama. Dia hanya akan menjawab pertanyaan Airi dengan seperlunya. Sejauh ini, mereka belum pernah bertengkar hebat, Kazuki juga tak pernah meninggikan suara sampai membentak. Airi mengajarinya untuk tak terhayut oleh kemarahan dan emosi lain yang berlebihan. Dia mengajari Kazuki untuk mengatur emosi.

Didikan Airi memang membuahkan hasil. Kazuki tak pernah terlibat masalah di sekolah. Dia memiliki banyak teman dan juga disukai para guru meskipun bukan untuk urusan akademik. Meskipun demikian, tak jarang Airi merasa takut jika putranya memutuskan untuk menutup diri darinya. Dia tak ingin Kazuki merasa kurang karena hanya memiliki seorang ibu.

"Aku sedang memikirkan teori dari buku yang baru saja kubeli," katanya suatu saat ketika Airi sudah tidak tahan dengan sikap diam Kazuki. "Jangan khawatir, Bu. Aku tahu kau bakal mendengarku. Aku baik-baik saja."

Pagi harinya, Airi membaca buku sekolah Kazuki. Buku itu berisi tugas untuk membuat video bakat dari ayah masing-masing siswa. Ketika sore tiba, Airi mengajaknya bicara. Dia ingin Kazuki mengerti dan anak itu memang mengerti. Dia jauh lebih dewasa dan pengertian dibanding anak-anak sepuluh tahun lain.

"Ibu sudah cukup buatku. Asal minggu ini kau menjadi lawanku sebelum aku mengambil ujian kenaikan sabuk hitam."

Kekhawatiran Airi langsung menguap. Senyuman bangga tak bisa lagi ditahan.

"Kau sudah direkomendasikan untuk mengambil ujian itu?"

Kazuki mengangguk. Dia menepuk-nepuk pundak Airi akibat pelukan yang terlalu erat. Ketika pelukan terurai, dia berucap, "Sebenarnya aku sedang mencemaskan ujian itu, bukan memikirkan tugas sekolah. Untuk masalah tugas, aku sudah minta Paman Nishida untuk membuatnya. Sepertinya dia kesal karena aku menyuruh dia melakukan atraksi dengan botol-botol anggur."

Ingatan itu membuat Airi mendengkuskan tawa. Dia mempercepat langkah untuk menyusul dan menarik masing-masing lengan mereka, lanjut berjalan selagi mempertahankan gandengan.

Hari pertamanya di Tokyo terasa hangat. Airi harap, suasana ini akan terus bertahan. Dia harap, kehawatiran dan ketakutannya terhadap kota ini akan sirna. Sekarang dia sudah baik-baik saja. Lukanya telah sembuh dan dia takkan lagi disudutkan oleh rasa takut terhadap masa lalu. []

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status