Share

[7] Keputusan I

PENJELASAN SANG WALI kelas terdengar samar di telinga Airi. Dia sedang mengingatkan para murid mengenai ujian seleksi kampus yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi.

" ... mental dan pikiran. Jangan sampai rasa khawatir kalian mengganggu konsentrasi hingga merusak kompetensi diri. Kogakuen High School adalah sekolah unggulan yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi di Tokyo University ...."

Airi mengerling pada layar ponsel, memperhatikan jam digital yang menunjukkan pukul tiga lebih tiga belas menit. Dia mengembuskan napas pelan dan mengalihkan pandangan untuk melihat bentang langit kebiruan.

Bel pulang sekolah terdengar beberapa saat kemudian. Pertemuan di hari itu selesai. Kelas dibubarkan meski sang guru belum mencurahkan seluruh pidato motivasinya. Airi berberes untuk keluar. Dia sempat membalas high five Nomura dan Itsuki ketika melewati mereka.

"Kau tak mau main basket lagi?" seru Itsuki.

"Kita harus bersenang-senang sebelum ujian besar itu!" tambah Nomura.

Airi mengibaskan tangan. "Aku harus menyelamatkan nilai Matematika-ku."

"Nilai bahasamu sudah tinggi. Kau sudah pasti lulus!"

Berhenti melangkah, Airi berbalik untuk menghadap mereka.

"Aku tak punya uang untuk meninggikan nilai seperti kalian!"

Itsuki kelihatan ingin melemparinya dengan sepatu. Airi hanya menyunggingkan seringaian. Dia kembali mengibaskan tangan sebelum bergegas pergi. Perjalanan dari sekolah menuju stasiun hanya memakan waktu hingga sepuluh menit. Dia menaiki kereta dan keluar dari sana setelah sampai di tempat tujuan. Kepalanya menoleh untuk mencari seseorang. Dia mengerjap begitu mendapati seorang anak lelaki jangkung berambut hitam yang juga mengenakan seragam yang sama dengannya di balik jaket musim dingin yang dia kenakan.

"Kenapa kau bisa dapat nilai sempurna di mata pelajaran Bahasa, tapi selalu dapat nilai merah di Matematika?" Adalah kalimat yang diucapkan oleh sosok itu begitu Airi mendekat.

Foto lembar nilai rapor terpampang di layar ponsel si pemuda.

Airi mengembuskan napas lelah.

"Karena orang yang pandai Matematika tidaklah normal," kilah Airi.

"Kau hanya perlu memahami konsepnya."

"Hanya," beo Airi. Dia berdecak, kemudian merengut. "Cuma kau yang menganggap konsep Matematika sebagai hanya, Kei."

Kei memasukkan ponsel ke dalam saku. Dia memperhatikan seorang perempuan bercat rambut gelap yang mulai luntur, serta merta memperlihatkan helaian pirang di akar-akar rambutnya. Wajah Airi sedikit pucat, bibirnya agak membiru. Berbeda dengan Kei yang mengenakan jaket musim dingin, Airi hanya mengenakan seragam—yang sudah mulai mengecil sehingga roknya sedikit lebih pendek—dan sepatu bot.

Airi sedikit tersentak ketika punggung tangan Kei mendarat di pipinya. Hangat tangan itu amat kontras dengan dingin kulit Airi.

"Kau tidak punya jaket?" tanya Kei. Dia memiringkan kepala. "Mungkin nilaimu merah dikarenakan otakmu yang membeku sehingga kau kesulitan berpikir."

Tendangan ringan di tulang kering berhasil dihindari Kei.

"Ruang kelas sudah sangat hangat, Jerk," gerutu Airi.

Tanpa membalas ucapan Airi, Kei melepas syal rajut yang dipakainya dan dengan mudah melilitkannya di leher si cewek pirang. Airi hanya mengerjap. Kei telah berjalan mendahuluinya selagi mengutarakan daftar materi yang akan mereka ulas lagi sore ini.

Airi menggenggam kain hangat yang membalut lehernya. Dia mengambil napas pelan, merasakan harum familier yang selalu identik dengan Kei. Degupan jantungnya terlalu keras sampai seolah bergema di telinga. Dia menggeleng dan segera melepas syal tersebut selagi menyusul Kei dengan langkah lebar.

Ketika memaksa untuk mengembalikan kain tersebut, Kei langsung menolaknya.

"Aku punya banyak di apartemen."

Airi tentu saja sudah tahu. Dia hendak membalas Kei, mengatakan bahwa tindakan yang demikian akan menyebabkan kesalahpahaman. Hanya saja, mulutnya terasa kering. Dia tak bisa berterus terang dengan memberi tahu bahwa kebaikan kecil sang teman membuatnya resah, membuatnya mengartikan hal yang sebenarnya tidak demikian.

Pada akhirnya, Airi tak jadi mengembalikan. Mereka sampai di sebuah gedung apartemen kecil, tempat tinggal yang dipilih Kei setelah memutuskan untuk tidak lagi tinggal di rumah ayahnya. Sejak kematian sang ibu empat bulan lalu, Kei semacam diberi kebebasan lebih. Dia sudah tidak lagi dibuntuti oleh orang-orang berjas hitam yang jumlahnya lebih dari lima. Permintaan Kei untuk tinggal sendiri, agar bisa lebih mandiri katanya, juga dikabulkan oleh sang ayah—meski dia harus meminta dukungan dari kakeknya.

Keputusan Kei untuk memilih apartemen biasa alih-alih apartemen mahal tampak cukup menarik perhatian Tajima Hasegawa, kakek Kei. Mungkin saja, keinginan itu mengingatkan dia pada masa-masa ketika beliau masih berjuang membangun Hasena Group.

"Kau bisa mendapatkan ramen setelah mengerjakan satu set soal trigonometri dengan benar," ujar Kei ketika mereka telah sampai.

Jawaban Airi hanya berupa gerutuan pelan. Dia mengikuti Kei masuk dan duduk lesehan di ruang tengah. Di sana, terdapat meja serta bantalan untuk duduk. Kei sendiri tengah berada di kamar untuk berganti pakaian sekaligus mengambil kertas latihan soal. Ketika dia kembali, Airi telah membuka buku tulisnya sendiri. Akan tetapi, dari sorot mata itu dia kelihatan sedang melamun alih-alih membaca.

"Ada yang ingin kautanyakan?"

Lamunan Airi memudar. Dia menoleh dengan kedua mata sedikit melebar.

"Eh?" Suaranya terdengar bingung.

Kei mengedikkan dagu pada buku tulis Airi.

"Materi bab ini, ada yang mau kautanyakan?" ulang Kei.

Apa pun kesalahpahaman di kepala Airi segera hilang. Dia menggeleng sebelum mengikuti arahan Kei untuk mengerjakan satu set soal tersebut. Konsentrasi Airi tampak tercurah pada soal-soal di hadapannya meski sebenarnya dia sedang memikirkan hal lain. Kei tak menyadarinya. Dia sedang membaca buku sendiri, mencoba memahami deretan kata yang dibaca selagi mendengarkan detak jarum jam yang menjadi satu-satunya sumber suara dalam ruangan itu.

Menit demi menit berlalu hingga suara Kei memecah kesunyian yang ada.

"Aku akan melanjutkan studi di London."

Gerak jemari Airi terhenti. Dia masih mencoba mencerna ucapan Kei ketika mendengar lanjutan dari kalimat tadi.

Kei terdengar kaku, seolah dia tak ingin membicarakan masalah tersebut.

"Keputusan ini murni dariku, bukan paksaan keluarga." Kei menatap Airi, menyadari gestur mematung darinya. Dia mengembuskan napas pelan. "Setidaknya, mereka tidak memaksaku dengan terang-terangan."

Airi masih terdiam. Reaksi tersebut membuat Kei resah. Dia beringsut mendekat. Sebelah lengannya bertumpu di atas meja yang sedang digunakan Airi untuk menulis.

"Katakan sesuatu," kata Kei pelan.

Airi mengerling. Seulas senyuman tipis hadir di wajahnya.

"Baguslah. Aku senang kau memberitahuku."

Ada yang salah dengan reaksi itu, Kei tahu. Dia segera menambahkan, "Semua saudaraku melanjutkan studi di sana. Sekarang, aku sudah memikirkan suatu tujuan, seperti yang dulu kaubilang. Untuk mencapainya, aku memerlukan banyak persiapan, salah satunya ini."

Airi mengangguk selagi mencorat-coret lembaran kertas.

"Itulah kenapa kubilang bagus." Dia masih mematrikan perhatian pada lembaran kertas. "Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Gunakan waktumu sebaik mungkin. Mungkin kau juga bakal memakai waktu liburanmu? Semacam untuk magang atau membantu proyek penelitian dosen maupun pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Kalau memang begitu, lakukan saja. Tak perlu mengkhawatirkanku."

Tak ada yang salah dari ucapan Airi. Dia tidak keberatan atau melarangnya. Airi tahu betul mengenai prioritas. Dia sendiri ingin Kei meraih tujuan itu. Dia tak mau menjadi beban yang hanya akan menghalanginya.

Kei memandang Airi lekat, memperhatikannya yang seolah tidak peduli pada pernyataan tadi. Airi sendiri sadar akan tatapan itu. Sorot mata Kei selalu tajam. Tak jarang, dia kelihatan terlalu intens sampai membuat Airi seolah terbakar.

Sekarang adalah salah satu momen itu.

Degup jantung Airi kembali bertalu-talu tak karuan. Dia mendengar Kei yang memanggilnya. Tanpa melihat langsung, dia tahu intensi Kei, sebab mereka sudah sering melaluinya. Mereka sudah terlalu sering mengalami ketegangan di udara yang hanya akan meluruh dengan melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan oleh mereka yang sekadar teman.

Pulpen yang digenggam Airi menggelinding jatuh ke atas lantai. Airi tak terlalu tahu kapan dia menoleh. Yang dia rasakan hanya harum maskulin teman lelakinya, dingin lantai kayu di punggung, serta hangat bibir yang tengah mengecapnya. Kepala Airi serasa pening oleh sensasi yang familier. Dia memikirkan kedekatan mereka, waktu-waktu yang telah dihabiskan bersama, rasa percaya Kei padanya, hingga rasa baru yang mulai tumbuh dalam dirinya.

Degup jantung Airi masih menggila oleh campuran emosi yang tak dapat dia definisikan. Dia tahu bahwa kedekatan dan intimasi ini takkan berarti lebih. Dia tahu bahwa di antara mereka terdapat dinding tak kasat mata yang tak boleh dihancurkannya. Dia sangat tahu. Oleh karenanya, dia mencengkeram bahu Kei dan mendorongnya pelan, memintanya berhenti.

Napas hangat Kei menerpa leher Airi. Dia sedikit menarik diri guna menatapnya.

"Lembar soal itu takkan ke mana-mana."

Airi mencoba mengeluarkan kalimat yang menolak untuk dikatakan.

"Bukan itu." Dia menarik kepalanya ke samping saat Kei hendak kembali menciumnya. "Kita harus menghentikan ini." Mengambil napas pelan, dia melanjutkan, "Tak hanya sekarang, tapi untuk seterusnya."

Jeda pada respons Kei mengindikasikan ketidakpercayaan.

"Kenapa?" Suara tidak terima itu semakin memperjelasnya. "Apakah karena yang tadi kukatakan?"

Airi menoleh. Dia mendorong pelan bahu Kei selagi berusaha untuk kembali duduk. "Tidak. Aku tak—"

"Liburan nanti akan kugunakan untuk kembali. Aku takkan di sana sepanjang tahun," potong Kei. "Jadi, kau tak perlu khawatir—"

"Bukan itu maksudku," tandas Airi, suaranya sedikit meninggi. Dia mengepalkan tangan dengan lemah, menahan tubuh yang mulai gemetar oleh rasa takut yang baru dia sadari. Takut jika semuanya hancur jika ....

"Kenapa?" tanya Kei lagi. "Semua itu bukan karena kau yang tiba-tiba mulai menaruh rasa padaku, 'kan?" Dia mengatakannya dengan nada seolah kemungkinan tersebut sangat mustahil untuk terjadi. "Kau selalu yakin untuk tak menyukai orang sepertiku. Kau juga tahu, sekarang aku takkan bisa memberimu lebih—"

Airi memalingkan wajah, menolak untuk menjawab. Reaksi yang demikian amat berbeda dengan yang diharapkan Kei. Dia sedikit tersentak. Nada tak percaya sangat kentara di suaranya ketika dia berkata, "Sangkal ucapanku, Ai. Jangan membuatku berpikir bahwa kau memang merasakan itu."

Mulut Kei mengatup akibat Airi yang masih menolak bicara.

"Katakan bahwa aku salah," ucapnya lagi, masih meminta Airi bicara. "Tertawakan apa yang kukatakan. Beri tahu bahwa ucapanku tadi hanyalah lelucon konyol."

Airi hanya diam dengan tangan mengepal, dengan sekuat tenaga mengharapkan kata 'tidak' untuk keluar dengan mudah dari mulutnya. Menggeleng bahkan terasa sangat berat. Dia menoleh dan menatap Kei. Kedua matanya memanas kala melihat ekspresi tak percaya di mata itu, seolah dia baru saja dikhianati.

"Aku tak menyukaimu."

Dan pernyataan tersebut sia-sia saja karena Kei telah menangkap kebohongannya.

Airi melihat Kei mengembuskan napas kasar. Dia melihat raut berkonfliknya dan dia jelas-jelas mendengar nada frustrasi Kei saat berucap, "Kita hanya bermain-main. Kenapa kau—"

Entah apa kelanjutan ucapan itu. Telinga Airi berdengung. Kedua matanya juga telah memanas. Dia seolah bergerak sendiri saat mengemasi barang-barang dan bergegas keluar. Panggilan Kei diabaikan. Dia mempercepat langkah selagi menahan agar cairan yang mengumpul di kedua matanya tak segera tumpah.

"Aku ada janji dengan teman," katanya dengan nada rendah, menahan isak yang ingin terselip keluar. "Jangan menghalangiku," tambahnya, menoleh pada Kei yang hendak menarik tangannya.

Begitu berkata demikian, Airi keluar dari apartemen. Dia merasa kebas saat buliran salju datang menyambut. Sepanjang langkah yang diambil, dia masih mampu menahan tangis. Tapi, ketika memori itu terulang di kepalanya, dia menghentikan langkah. Airi berpegangan pada dinding sebuah gang. Mulutnya mengatup rapat. Panas air mata mengaliri pipi, menyaingi dingin buliran salju yang menghujani.

Airi diam di jalanan sepi itu entah sampai berapa lama.

Kenapa dia harus memperjelas penolakannya?

Telapak tangan Airi mengepal.

Jantungnya serasa diremas kuat-kuat sampai remuk. Ketika dijauhi, diolok, dan dikucilkan, dia tak pernah merasa se-jatuh ini. Jadi, kenapa sesak yang sekarang dia rasakan melebihi sesak ketika dia dijauhi? Kenapa penolakan yang sudah biasa dia dapat dari orang lain terasa lebih sakit ketika terucap dari mulut Kei? Kenapa dia membiarkan Kei terlalu memengaruhinya seperti ini?

Keesokan harinya, dia tidak masuk sekolah karena demam. Berdiri terlalu lama di bawah guyuran salju jelas-jelas bukan keputusan cerdas. Emosi manusia memang sangat mendominasi otak sampai membuat seseorang sulit berpikir jernih. Airi pernah membaca buku Neurologi milik Shizune, di sana disebutkan bahwa bagian otak manusia yang mengatur emosi memang akan lebih cepat bereaksi dibandingkan bagian yang mengatur proses penalaran. Jadi, pantas saja dia menjadi lebih bodoh ketika termakan kesedihan.

Untuk ke depannya, akan sangat merepotkan kalau dia terus-terusan tak bisa berpikir jernih karena nalarnya dibutakan emosi. Airi memandang kosong langit-langit kamar. Ponsel yang tergeletak di atas nakas tampak mati. Airi tak punya keinginan ataupun motivasi untuk mengaktifkannya. Dia sedang menyelami nasib tak mujur akibat daya tarik Kei Hasegawa yang sangat tidak manusiawi.

Kenapa dia hanya berteman denganku sampai aku tak bisa membandingkan perilakunya dengan orang lain?

Airi menenggelamkan wajah pada bantal.

Kenapa juga dia selalu sok perhatian? Ethan bahkan cuma menyuruhku berjalan lebih cepat biar tidak kedinginan. Kenapa dia malah memberikan dan dengan entengnya memakaikan syal sialan itu?

Ai, Ai, Ai. Kenapa dia harus menggunakan nama panggilan itu waktu menyebutku, seolah kami sudah sangat dekat? Selain itu, apakah dia terlalu bodoh untuk tahu arti kata ai? []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status