“Aira?” gumam Gunawan ketika melihat siapa yang masuk ke ruangannya.“Iya, Pa, ini Aira. Apa kabar, Pa? Papa sehat kan?” sapa Aira ketika ia masuk ke ruangan kerja Gunawan, papanya Alan.Siang ini, waktu jam istirahat, Aira sengaja mendatangi Gunawan di kantornya. Karena Aira tahu, Biasanya Gunawan jarang keluar kantor ketika istirahat siang. “Alhamdulillah, ayo duduk.” Gunawan beranjak dari kursinya dan duduk di sofa tamu berhadapan dengan Aira.“Bagaimana Kenzo? Sehat?” tanya Gunawan.“Alhamdulillah, Pa. Sehat.”“Kalau kamu kerja, siapa yang mengasuhnya?”“Ada tempat penitipan anak, kebetulan satu gedung dengan tempat tinggal saya, hanya beda lantai saja.”“Oh, syukurlah.”“Kamu sudah makan siang?” lanjut Gunawan.“Sudah, Pa.”“Beli makan dimana?”“Saya biasa membawa bekal dari rumah. Biar nggak repot-repot cari makan.”Gunawan mengangguk-anggukkan kepalanya.Setelah berbasa-basi, akhirnya Aira menyampaikan tujuannya datang menemui Gunawan.“Pa, saya kesini mau memberitahu Papa ka
“Kamu itu bikin malu saja!” Bara berkata dengan pelan pada Firda, tapi masih terdengar oleh Aira dan Irwan. Aira melihat ke arah Firda dan tersenyum sinis seolah mengejek Firda.“Awas kamu Aira,” gumam Firda.“Firda, kamu pulang saja. Aku masih banyak pekerjaan,” kata Bara.“Tapi aku mau disini menemanimu.”“Nggak usah sok peduli kamu.” Bara berbisik di telinga Firda, Firda merah padam karena marah. Bara berjalan menuju ke ruangannya, ia kesal dengan kelakuan Firda yang mempermalukan Aira. Ia tahu kalau Firda itu memiliki dendam terhadap Aira.Sementara itu di ruangan Irwan, Aira tampak tertunduk.“Terima kasih, Pak,” kata Aira dengan pelan.“Untuk apa?”“Karena sudah menyelamatkan saya dari amukan Bu Firda.”“Saya hanya kasihan melihat Bu Aira dimaki-maki di depan umum. Bu Aira tahu kan kalau Bu Firda itu memiliki dendam kesumat dengan Bu Aira?”“Iya, Pak. Saya tahu, karena itu saya diam saja, tidak membalas ucapannya. Karena apa pun yang saya ucapkan pasti salah. Lebih baik mengala
“Ada apa? Kok malah diam saja?” Hendrawan berdecak kesal melihat anak dan menantunya.“Begini, Pa….” Belum selesai Bara berbicara, Firda langsung menyela.“Kami mau bercerai, Pa.” Firda berkata dengan mantap. Hendrawan memegang dadanya, ucapan Firda terasa menusuk jantungnya. Ia syok, tidak menyangka kalau Firda akan berkata seperti itu. Hendrawan mencoba untuk menarik nafas panjang. Bara menjadi kasihan melihat mertuanya.“Kenapa mesti bercerai?” tanya Hendrawan.Firda terdiam.“Kamu masih selingkuh dengan Alan?” Firda tetap diam.“Jawab!” teriak Hendrawan.Bara dan Firda kaget mendengar teriakan Hendrawan. Begitu juga dengan Linda dan Malvin, mereka berdua langsung mendekati Hendrawan.“Ada apa, Pa?” tanya Linda sambil memegang tangan Hendrawan.“Tanyakan pada anakmu itu.” Hendrawan berkata dengan pelan.“Papa kenapa?” tanya Malvin, ia tampak cemas melihat papanya seperti tidak berdaya.“Ada apa, Firda? Bara?” tanya Linda sambil menatap Firda dan Bara secara bergantian.“Maafkan s
Drtt..drtt, ponsel itu masih berdering.“Diangkat nggak ya?” gumam Aira, ia bimbang melihat siapa yang menelponnya.Dering ponsel pun berhenti, Aira bisa bernafas lega. Tapi rupanya Aira hanya lega untuk sesaat. Ponsel itu pun berdering lagi. Akhirnya Aira menerima panggilan itu.“Halo,” sapa Aira.“Aira, kamu pindah kemana? Aku ke rumahmu, ternyata orang lain yang menempatinya. Pindah kok nggak bilang-bilang.” Tanpa membalas salam dari Aira, suara orang di seberang langsung nyerocos.“Maaf Mbak, memangnya Mbak ada disini?” Aira sudah paham dengan watak si penelpon.“Iya, aku dan Mas Fariz sedang ada kegiatan di kota ini. Share loc sekarang ya?”“I-iya, Mbak.” Panggilan pun diakhiri.“Waduh, gawat. Mbak Amel pasti akan banyak bertanya.” Aira merasa sangat cemas.“Bagaimanapun juga, harus aku hadapi. Tidak mungkin masalahku ini aku sembunyikan. Semangat Aira.” Aira menyemangati diri sendiri, kemudian ia mengirim lokasinya pada Amel, kakak perempuannya.Aira mengajak Kenzo untuk keluar
“Mas Fariz nggak mungkin selingkuh, apa kurangnya aku? Aku bisa merawat diri dan melayani Mas Fariz dengan baik. Mas Fariz sangat mencintaiku.” Amel berkata dengan angkuhnya. Ia tersenyum bangga, sedangkan Fariz merasa tidak enak dengan kelakuan Amel. Ia hanya tersenyum kecut.“Itulah, Mbak, yang dulu aku pikirkan tentang Mas Alan. Aku rela keluar dari kerja demi merawat Kenzo dan supaya bisa mengurus rumah tangga dengan baik. Selalu menyambutnya pulang kerja, memberikan perhatian lebih padanya, memasak yang enak-enak. Tapi nyatanya apa? Begitu ia bertemu dengan masa lalunya, semuanya langsung berubah.” “Tapi seharusnya kamu memaafkannya.” Amel masih saja menyalahkan Aira. Ia masih beranggapan kalau perceraian Aira itu karena kesalahan Aira.“Aku sudah memaafkannya dan memberinya kesempatan. Bahkan ketika ia membuatku keguguran, aku tetap memaafkannya. Tapi ketika ia berselingkuh lagi dan lagi dengan orang yang sama, bahkan sudah berkali-kali berhubungan badan, apakah aku harus tetap
“Rumah itu disewakan, uang sewanya untukku. Alhamdulillah, untuk tambahan biaya hidup kami berdua. Mas Alan memang belum memberi nafkah untuk Kenzo….”“Kamu harus memperjuangkan nafkah untuk Kenzo! Jangan keenakan dia, sudah selingkuh, melakukan penganiayaan, tidak mau menafkahi anaknya. Laki-laki seperti itu yang dulu kamu perjuangkan pada Ayah dan Ibu?” Lagi-lagi Amel nyerocos dan selalu menyalahkan Aira.“Ma, sudahlah. Jangan selalu menyalahkan Aira. Ia sudah cukup menderita hidupnya, jangan ditambahi dengan ucapan yang semakin menyakiti hatinya.” Fariz berusaha mengingatkan Amel untuk tidak menyalahkan Aira.“Pa, Alan ini harus diberi pelajaran supaya tidak meremehkan Aira. Kalau sampai aku bertemu dengannya, aku maki-maki dia!” Aira hanya diam, entah apa yang ia rasakan saat ini. Apakah ia bahagia karena Amel membelanya, walaupun tadi sempat menyalahkannya? Yang jelas, ia sudah tidak peduli dengan apa yang dipikirkan oleh Amel dan orang tuanya. Ia ingin fokus pada kehidupannya d
“Kenzo, sini sama Ayah,” kata Alan sambil mengulurkan kedua tangannya. Kenzo tampak ragu-ragu.“Peluk Ayah,” kata Aira pada Kenzo, Kenzo pun mendekati Alan dan kemudian memeluknya. Alan terharu sampai mata berkaca-kaca, ia tetap memeluk Kenzo dengan eratnya.“Kenzo sudah besar ya? Jangan nakal, nurut sama Ibu,” kata Alan sambil melepaskan pelukannya.“Kenzo sudah makan?” tanya Alan.“Sudah,” jawab Kenzo.“Sama apa?”“Sop.” Kenzo menjawab dengan singkat. Ia masih terlihat kaku di dekat Alan, karena memang sudah hampir dua bulan mereka tidak bertemu. Aira memang sengaja membatasi pertemuan dengan Alan dengan Kenzo. Waktu itu Aira dan Alan masih bersengketa di pengadilan, takutnya Alan akan berbuat nekat.“Kapan-kapan kita jalan-jalan ya?” kata Alan pada Kenzo.Kenzo bingung mau menjawab apa, ia pun menatap ibunya.“Iya, nanti Kenzo bisa jalan-jalan dengan Ayah.” Aira menjawab keraguan Kenzo, Kenzo pun mengangguk.“Aku senang melihat kalian berdua sehat. Maafkan aku belum bisa memberi y
Ciiit…. Tiba-tiba Fariz mengerem mendadak. Amel syok, untung saja ia memakai sabuk pengaman, jadi kepalanya terhindar dari benturan dengan dasbor mobil.Amel langsung menoleh ke arah Fariz, butuh mobil menepi dan berhenti. Fariz masih fokus menatap ke depan, nafasnya terengah-engah sepertinya ia sedang menahan amarah.“Pa, apa Papa mau membuat kita mati kecelakaan? Apa yang Papa pikirkan? Oh, pasti Papa memikirkan Aira kan?” Amel langsung mengomel lagi.Fariz menarik nafas panjang.“Ma, bisa nggak sih Mama itu berpikir positif, jangan selalu berpikir negatif tentang Aira. Ingat ma, ucapan itu adalah doa. Apa yang Mama ucapkan bisa saja suatu saat jadi kenyataan.” Fariz berkata dengan perlahan.“Oh, jadi Papa punya niat mendekati Aira ya? Iya?” bentak Amel.“Ma, Papa tidak pernah berpikir sedikitpun untuk menduakan Mama. Apalagi dengan mendekati Aira. Tapi Mama sudah menuduh yang enggak-enggak, seolah-olah Papa ini laki-laki hidung belang. Selama ini Papa selalu mengalah dengan segala