Share

2. Hasna dan Tetangga

Angin dingin terasa merasuk hingga ke dalam tulang saat cuaca sedang begitu dingin. Rumah Hasna yang begitu kecil tampak seperti terombang ambing kena angin yang lumayan kencang.

Ia menutup jendelanya dengan rapat kemudian mengepel lantai yang basah kena air tetesan hujan.

Saat siang begini, Raihan dan Risa sedang tidur di kamarnya. Sedangkan Hasna tidak bisa tidur karena ia baru selesai mencuci pakaian.

Karena di luar masih hujan maka ia putuskan untuk membiarkan dulu bilasan terakhir dan ia keringkan kemudian ditaruh di atas ember yang diberi penyangga di bawahnya agar airnya bisa tersaring.

Nanti malam adalah malam pertama umat Islam melaksanakan salat tarawih bersama untuk pertama kalinya di tahun ini.

Hasna sudah menyiapkan mukena dan juga sarung yang sudah dicuci dan diberi pewangi supaya anak-anaknya lebih bersemangat lagi melaksanakan salat tarawih.

Sarung untuk Farhan juga sudah ia siapkan dan semuanya sudah bersiap-siap saat menjelang jam setengah tujuh.

Risa lebih dulu berangkat, ia ternyata sudah di jemput beberapa temannya untuk berangkat bersama.

Sedangkan Raihan, dia sedang duduk sambil memainkan robotnya sebentar untuk menunggu jam setengah tujuh tiba.

Padahal kalau ia mau sebenarnya bisa berbarengan bersama adiknya tadi.

Raihan agak sedikit sulit untuk pergi keluar sekarang. Ia lebih senang tinggal di dalam rumah. Ayahnya kadang yang menemaninya duduk dan ia pun mengajak Ayahnya untuk bermain bersamanya.

"Sarungku dimana, Bu, kenapa tidak ada di dalam lemari?"

Farhan mencolek punggung istrinya yang tampak merenung sambil memandang wajah anak lelakinya.

"Eh, iya, Yah, ini ada di atas meja,"

Mereka memanggil Ayah dan Ibu saat keduanya berada di depan anaknya. Tapi ketika sedang berdua saja, mereka memanggil dengan sebutan biasa.

"Raihan! Ayo kita ke masjid!"

Raihan yang tadinya asyik bermain, langsung seketika berhenti dan ia pun bergegas mengambil sarungnya.

Begitu juga dengan Hasna yang sudah rapi berpakaian muslim untuk pergi ke masjid terdekat.

Tapi ia pergi setelah semuanya sudah berangkat ke masjid karena dia akan segera menyusul setelah ia mengunci semua pintu dan jendela.

Ia memastikan setelah semuanya benar-benar sudah aman dan terkunci. Suara puji-pujian terdengar di speaker masjid.

Ia bergegas menuju ke masjid dan berjalan sambil menyapa para tetangga yang lewat dan berpapasan dengannya.

Semua tetangganya hampir sama ramahnya.

Itulah makanya ia menyukai lingkungan rumah yang seperti ini karena sangat nyaman meski mereka kebanyakan orang yang cukup berada.

Hasna bertemu dengan seorang tetangga belakang rumahnya yang terkenal cerewet dan juga usil.

Ia menyapanya dan tersenyum tapi tetangganya itu hanya membalas dengan ketusan dan tatapan sinis padanya.

Hasna hanya diam saja, ia melanjutkan langkahnya untuk menuju beberapa langkah lagi ke masjid.

Hanya sepuluh langkah lagi dan ia sudah sampai disana. Hasna menyimpan sandalnya di pojokan sendiri, satu tempat favorit karena menurutnya yang paling aman.

Hasna mencari tempat di shaf terdepan dalam shaf perempuan. Ia duduk sambil mengenakan mukenanya.

Banyak yang berangkat lebih awal karena hari ini adalah awal pertama puasa. Akhirnya adzan isya berkumandang.

Suasana hari pertama shalat tarawih pun bertambah ramai setelah semua warga berkumpul menjadi satu di masjid.

***

Malamnya Hasna masih memiliki sisa uang yang cukup untuk berbelanja besok saat berbuka. Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB saatnya mereka tidur, tapi tidak dengan Hasna, ia masih ada sebuah pekerjaan agar sahur nanti ia tidak terburu-buru.

Nasi yang tinggal sedikit ia kerok sampai tak bersisa, lalu ia memasak lagi beras sebanyak setengah kilogram.

Hanya segini yang bisa ia beli dan Alhamdulillah nya cukup untuk makan sahur nanti.

Tiba-tiba, saat semua sudah tidur, pintu depan diketuk seseorang.

Sebenarnya, masih tanggung Hasna dalam mencuci berasnya.

Ingin memanggil suaminya tidak mungkin dan juga anak-anaknya tidak mungkin sekali.

Akhirnya ia letakkan dulu panci magic com nya dan ia segera membuka pintu.

"Assalamu'alaikum, untunglah belum tidur,"

"Iya, Bu Inah, ada apa, saya sedang mencuci beras,"

"Ini, Mbak Hasna, ada titipan dari Bu Hajah Sidik, mohon diterima, maaf seharusnya saya berikan sore tadi tapi malah kecapean, jadi dilanjut malam,"

"Ya Allah baik sekali, Bu Hajah, terima kasih Bu Inah,"

"Iya, Mbak, sama-sama, mari saya permisi dulu,"

"Iya, Bu Inah, hati-hati di jalan!"

Hasna menerima dengan hati yang gembira, pemberian barang berupa sembako itu.

Isinya cukup beraneka macam, ada beras seberat 5kg, telur kira-kira setengah kilogram, gula pasir setengah kilogram, kecap berukuran sedang dan juga ada teh dan kopi

"Alhamdulillah, Ya Allah," ucap Hasna dengan penuh syukur.

Untuk beberapa hari kedepan, ia tidak perlu lagi memikirkan membeli beras dan lauk karena ia sudah mendapat semua itu.

Ia melanjutkan lagi mencuci beras setelah itu dia meletakkannya pada magic com kemudian mencolokkan listriknya.

Hasna mematikan lampu dapur kemudian lampu di ruang tengah, ia pun pergi tidur agar besok bisa bangun lebih awal.

***

Sementara itu di tempat Bu Sadi masih belum tidur beberapa orang yang tinggal di rumahnya.

Mereka semuanya hanya fokus pada ponselnya saja dan tidak mengajaknya bicara padahal ia sudah memancing salah satu anaknya untuk mengobrol.

Ia belum bisa tidur karena belum mengantuk dan masih memikirkan keadaan Farhan anaknya.

Kesemua anaknya mengatakan bahwa Farhan dan istrinya sedang mendapatkan karma karena perbuatan mereka sendiri.

Bu Sadi sangat mengenal anaknya itu, tak pernah sekalipun melukai hatinya ataupun adik-adiknya dan juga kakaknya.

Farhan termasuk anak yang baik ia juga pendiam serta selalu menerima apapun yang ia miliki.

Berbeda sekali dengan saudaranya yang lain Farhan senantiasa diam jika ia menginginkan sesuatu.

Hampir tiga bulan ini ia tidak melihat Farhan datang ke rumahnya terakhir saat akan datang kemari adik-adiknya tidak memandangnya sama sekali ataupun mengajaknya bicara.

Bu Sadi hidup hanya bersama anak-anaknya selama 20 tahun terakhir ini. Ia telah ditinggalkan oleh suaminya saat anak-anaknya masih kecil dan butuh perhatian dari bapaknya.

"Ella, Ibu minta nomor adikmu,"

Ella mendekat ke arah ibunya, menanyakan adik siapa yang ibunya maksud.

"Adikmu mu, ya si Farhan,"

Ella pun diam saja saat Ibunya menyebutkan nama Farhan di depannya. Tak ada gerakan untuk memberikan nomor adiknya itu kepada ibunya sama sekali, ia hanya diam dan malah pergi ke kamarnya.

Bu Sadi menghela napas panjang membuat seorang anaknya lagi yaitu adiknya Farhan yang bernama Luna mendekat ke arah ibunya.

"Ada apa, Bu?" tanya Luna.

"Kamu punya nomornya, Kak Farhan?"

Sama halnya dengan Ella, Luna juga diam saja ia bahkan tidak ingin mengatakan apapun meski ibunya bertanya lagi.

Akhirnya Bu Sadi pun diam saja, ia pun tidak akan menanyakan lagi kepada mereka ataupun menanyakan keadaan Farhan pada anak-anaknya yang lain.

Bu Sadi akhirnya memilih untuk bangkit dari duduknya dan masuk ke kamarnya sambil terisak tanpa suara.

Ia memikirkan keadaan Farhan tetapi ternyata anak-anaknya malah menganggap Farhan sebagai kakak yang buruk.

Terakhir kali ia bertemu dengan anaknya itu saat anaknya kena PHK dan mengadu kepadanya.

Namun ternyata masih anak-anaknya yang lain Farhan dianggap sebagai orang yang telah kena karmanya karena menikah dengan Hasna yang bukan dari golongan orang kaya.

Hampir semua anak-anak Bu Sadi menganggap Farhan seperti itu hingga akhirnya kini dia baru menyadari bahwa Farhan memang sendirian dan tidak ada teman untuk mengadu.

Farhan hanya memiliki keluarganya saja, yaitu anak dan istrinya.

Ia hampir salah kemarin, saat akan menuduh Hasna yang mengambil cincinnya saat ia selesai berwudhu.

Hampir saja ia akan menuduh menantunya itu kalau ia tidak melihat saat masuk ke kamar shalat, ketika ia mengambil mukena ternyata cincin itu ada di sana.

Kini ia baru menyadari jika keluarga anaknya itu sedang mengalami permasalahan ekonomi yang cukup sulit.

Hingga kini saat anak-anak yang lain berkumpul mereka pun tidak terlihat sendiri.

Ia merindukan tawa riang kedua cucunya, yaitu Risa dan Raihan.

Mereka anak-anak yang baik yang telah ia miliki karena sangat penurut dan juga rajin mengaji.

Bu Sadi akhirnya tidur terlelap karena ia kelelahan.

***

Pukul 03.00 pagi Hasna sudah bangun alarm di ponselnya berbunyi dan baru dia yang mendengarnya sementara yang lain masih tidur.

Hasna berlanjut untuk menyiapkan makanan sayur dari sore hari juga masih ada ya pun menghangatkannya dan ia menggoreng dua buah telur untuk digoreng dadar.

Akhirnya setelah jam 03.30 berlalu Hasna membangunkan kedua anaknya dan juga suaminya untuk sahur.

Di awal sahur ini, keduanya anaknya sangat susah sekali untuk dibangunkan. Mereka malas-malasan untuk bangun, namun akhirnya Risa baru sadar kalau ternyata ia dibangunkan untuk sahur.

"Oh, ya Bu, Risa lupa kalau hari ini sahur maafin bisa ya, Bu,"

Hasna tersenyum pada anak perempuannya itu, yang terlalu lupa bagaimana tadi malam ia sangat antusias untuk bangun ternyata malah pagi ini saat dibangunkan sedikit susah.

"Kak, Kak Raihan, bangun Kak! Ayo kita sahur, Kak!"

Risa mencoba ikut membangunkan kakaknya tetapi kakaknya bergeming tidak bergerak sama sekali membuat Risa harus bangun kemudian pergi ke belakang.

Ternyata Risa ke belakang untuk mengambil sedikit air dan mencipratkan nya ke wajah kakaknya.

Hasna pun membangunkan Farhan suaminya agar bangun juga untuk sahur.

Dalam sekejap Farhan pun bangun dan ia langsung duduk. Sedangkan Raihan ia marah sekali karena Risa telah menciptakan air sedikit ke wajahnya dan itu sangat mengganggunya.

"Risa, apa-apaan ini?!"

Hasna yang melihat itu pun segera menyuruh kedua anaknya untuk segera mencuci wajah dan juga menyiapkan diri untuk sahur karena semua makanan sudah siap.

Tetapi Risa berteriak kegirangan saat ia melihat paket sembako yang diletakkan Ibunya di atas meja dekat dengan rak piring.

"Ibu! Ini dari siapa, Ibu pasti ini bukan beli, kan?"

Hasil tersenyum sedangkan ayahnya hanya menggelengkan kepalanya saja tapi dia menanyakan barang itu kepada Hasna.

"Tapi, benar kata Risa, itu dari siapa tidak mungkin kan kamu membelinya?"

"Itu memang tidak beli, tetapi diberi oleh ibu Inah titipan dari ibu Hajah Sidik, semalam Bu Inah datang kemari sekitar jam 09.00 malam, Mas"

"Syukurlah kalau begitu, ternyata Ibu Hajah di sini semuanya sangat baik, dan mau berbagi kepada para tetangganya termasuk kita yang seperti ini keadaannya,"

"Iya, Mas, alhamdulillah,"

"Kita tinggal mencari uang untuk bisa ditabung sedikit demi sedikit agar di hari kemudian kita tidak kekurangan lagi, agar bisa berbuka dan sahur nantinya,"

"Iya, ini juga masih ada pegangan yang kemarin baru Mas beri, masih utuh,"

"Syukurlah!"

Risa Dan Raihan yang mendengar kedua orang tua yang sedang berbicara itu, ikut senang.

Mereka juga ikut bersyukur karena ternyata masih ada rezeki yang bisa mereka dapatkan tanpa perlu mengeluarkan uang.

"Jadi uangnya bisa ditabung, ya Bu, nanti lebaran kita beli baju, ya?" tanya Risa.

Ayahnya kemudian menimpali pertanyaan anak perempuannya itu dan mengatakan bahwa untuk membeli baju baru sepertinya harus dipikirkan lagi.

"Lebih baik kita memikirkan untuk membeli makanan dulu, Risa,"

"Iya, Risa, kamu jangan seperti itu.

Kasihan Ayah, kerjanya kan sekarang suka kepanasan dan kehujanan, kita harus banyak bersyukur sudah bisa makan,"

Raihan menasehati artinya supaya tidak banyak menuntut untuk membeli baju kepada Ayah dan ibunya.

Mereka pun menyelesaikan sahur mereka sampai waktu imsak tiba.

Saat buka puasa di hari pertama mereka berbuka dengan sayuran oseng kangkung Hasna masak.

Kedua anak Hasna begitu gembira saat mereka berbuka dan melihat menu yang ada di atas meja.

Farhan bertanya pada istrinya mengenal bumbu dan kangkung yang Hasna beli.

"Alhamdulillah, tadi bumbunya beli secukupnya saja sedangkan untuk kangkung tadi dapat jatah Jumat berkah dari warung Bu Inah, Mas,"

Akhirnya semuanya menikmati berbuka hari ini dengan sederhana.  Hasna sangat bersyukur karena mereka tak pernah protes dengan apa yang ia masak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status