Ketiganya singgah di rumah makan lesehan yang paling terdekat dengan tempat ibadah tadi. Raja langsung memesan menu spesial di sana. Ayam bakar Kalasan tulang lunak. "Kamu mau apa, Rum?" tawar Raja menyesuaikan selera Ruma. "Aku? Pingin yang pedes-pedes berkuah. Ada soto nggak di sini?" tanya Ruma memastikan. Akibat tegang dan sedikit eneg tadi menyisakan rasa yang tidak nyaman di tubuhnya. Sepertinya dia perlu amunisi yang berkuah segar dan sedikit pedas. "Iya, ada, aku pesenin ya. Kamu mau Bil?" tawar Raja pada rekannya juga. "Samain kaya Dokter saja," jawab Sabil pasrah. Sedang Ruma mengangguk mengiyakan. Sembari menunggu pesanan, Raja dan Sabil asyik mengobrol, sementara Ruma sibuk dengan ponselnya. Sampai-sampai hal itu menarik perhatian Raja. Namun, pria itu tak berani kepo sejauh ini. Taku dikira kepo dan mengganggu privasinya. Jadi, cukup diam mengamati saja. "Asyik banget Dek Rum, chat sama siapa? Itu minumnya datang sampai nggak notice," tegur Sabil cukup mewakilinya.
"Hem," sahut pria itu tidak jelas. Hatinya beristighfar banyak-banyak setiap kali ada sesuatu yang kurang pas. "Dokter ngomong apa?" tanya Ruma tidak begitu mendengar dengan baik. "Nggak apa, ayo masuk mobil lagi. Keburu pagi nanti," seloroh pria itu mengalihkan topik. Ruma yang tengah galau antara ingin ikut Dokter Raja atau tidak langsung meneliti ponselnya begitu ada notifikasi masuk. Berharap itu balasan dari Mesya. Namun, ternyata salah besar. Pesan itu dari Rasya yang sengaja mengirim pesan dengan bahasa yang cukup menakjubkan hingga membuat Ruma terbengong.Sebuah kalimat panjang dari Rasya, dengan point terakhir sebuah perpisahan. Rasya menalak dirinya lewat tulisan. "Rum, ayo! Kenapa malah bengong natapin layar ponsel.""Iya," jawab Ruma tetap merasa ada sedihnya. Walaupun ini yang diharapkan, tetap saja tidak ada perpisahan yang tidak menyakitkan. Baru mau beranjak dari sana, Mesya keluar dengan wajah kuyu. "Rum, sorry, aku ketiduran, kamu lama banget," ucap Mesya mera
"Ya ampun ... fokus Rum, fokus, istighfar yang banyak," batin Ruma memperingatkan.Dia tersadar akan kesalahannya. Bisa-bisanya dalam keadaan genting begini sampai tidak ngeh dengan pasien. Calon dokter macam apa Ruma ini?Wanita itu langsung sigap ikut menangani pasien. Baru ngeh ternyata luka Rasya sepertinya parah. Pria itu terdengar merintih kesakitan. "Rum, tensi dan hitung frekuensi tekanan jantungnya, biar aku cek yang lainnya!" titah Dokter Raja menginterupsi."Siap Dok!" jawab perempuan itu dengan sigap mengukur tekanan darah pasien."Aww ... sakit!" seru Rasya merasakan kakinya seperti remuk. Darah segar keluar dari robekan di bagian bawah lututnya. Pria itu tidak bisa menggerakan kakinya dengan leluasa dan terasa sakit sekali. Sementara Vina membersihkan luka di wajahnya. Pelipis pria itu robek akibat terkena benturan, kemungkinan kecelakaan tadi mengenai sesuatu yang keras. "Jahit lukanya, Rum!" titahnya cepat.Ruma lebih dulu membersihkan lukanya lalu menyuntikkan bius
"Mm ... ada apa, kenapa manggil?" tanya Ruma jadi tidak enak. Lebih lagi sedang ditunggu kedua sahabatnya. Jadi, merasa sedikit terburu-buru. "Tadi sih iya, sekarang udah nggak," jawab pria itu mendadak ngeselin. Sumpah demi apa, Ruma ingin hih wajahnya yang sok cool itu. Ini dokter kenapa sih mendadak sensi begini?Ruma terdiam beberapa detik, mencerna perkataan Raja yang tak biasa. Karena darinya juga tidak ada perkataan lagi, wanita itu pun memilih untuk pamit dari ruangan itu. Masih banyak urusan juga. "Kalau tidak ada urusan, Ruma permisi Dok," ucap wanita itu pada akhirnya. Wanita itu berbalik hendak meninggalkan ruangan itu tanpa persetujuannya. "Rum!" Baru mau beranjak, suara Dokter Raja kembali memanggil. Spontan Ruma berbalik."Iya kenapa, Dok?" tanya Ruma mendadak deg degan. Perasaannya mulai tidak enak. "Duduk sebentar, aku angkat telfon dulu" jawab pria itu malah ditinggal menerima panggilan yang entah dari siapa.Ruma bingung sendiri, tetapi ia menurut walau dalam ha
Mau tidak mau Ruma makan di bawah pandangan Dokter Raja. Ya walaupun sebenarnya malu, tapi calon anaknya minta diberikan nutrisi. Jadi, tetap makan walau dengan gaya sok jaim nan kalem. Keduanya makan dengan khusuk, tak ada suara sama sekali. Sama-sama menikmati nasi kotak di depannya. Ruma mengambil botol air mineral yang tersedia di meja. Namun, wanita itu mendadak kesulitan membukanya. Kenapa mendadak tidak berdaya di depan pria itu. Padahal berani sumpah dia sedang tidak meminta perhatiannya. Melihat tangan Ruma yang tengah bekerja keras, refleks pria itu merampas dari tangannya. Gerakan tangan Raja sekali putar langsung membuat seal itu terbuka. Pria itu mengembalikan ke tempat semula agar Ruma mudah meraihnya. "Makasih," ucap wanita itu lalu mengambilnya. Minum dengan hati-hati, takut kesedak karena pikirannya mendadak oleng mendapatkan perhatian lebih dari dokter pembimbingnya. "Mau nambah?" tawar Raja mana tahu perempuan yang tengah mengandung anaknya itu masih lapa
Raja terdiam, mencerna perkataan Rina yang cukup mencuri perhatiannya. Mungkin juga gegara perkataan Rina tadi membuat Ruma sedikit tersinggung. Kenapa Rina selalu berkata seolah-olah dia menatap keduanya sebagai pasangan selingkuh. Mungkinkah perempuan itu tahu sesuatu? Sangat mencurigakan. Walaupun Raja tidak bisa asal menuduh tanpa bukti akurat. "Tunggu!" seru pria itu menghentikan langkah Rina yang hampir beranjak. "Dokter manggil saya? Kenapa?" tanya wanita itu setelah berbalik dengan tatapan sinis. "Apakah menuduh tanpa bukti itu dibenarkan? Kenapa bisa menyimpulkan perkataan secetek itu. Seharusnya akan lebih baik jika Anda menjaga perkataannya." Sebenarnya Raja malas sekali meladeni jenis perempuan seperti ini. Namun, mendadak terpancing rasa penasaran yang cukup signifikan. "Dokter perlu bukti apalagi? Sudah jelas sering menghabiskan waktu berdua di luar begini. Aku yakin sekali dulu Ruma hamil juga anakmu. Ya walaupun sayang sekali harus keguguran sebelum sempat ter
"Ayo saya antar, jalan lumayan jauh loh.""Dokter kenapa ada di sini?" tanya Ruma penuh selidik. Kenapa bisa kebetulan sekali bertemu dengannya."Ya kebetulan lewat aja," jawabnya disusul seulas senyum."Mau belanja juga?" tanya Ruma demi melihatnya menuju toko biru."Iya, eh nggak jadi. Perutnya ada rasa sakit kah? Ngeflek? Atau mau sekarang aja kita ke rumah sakit," tawar pria itu terdengar khawatir."Nggak Dok, Ruma sehat. Nggak sakit perut juga. Aman," jawab Ruma cepat. Agak lain memang satu dokter ini."Kok beli pembalut?" tanya pria itu sungguh penasaran plus kepo."Dokter ngintip ya." Ruma terdengar mencebik diiringi rona malu dan dumelan kecil."Nggak, tadi kebetulan lihat pas masuk keranjang.""Lah kok bisa? Emang Dokter dari dalam? Bukannya baru ketemu tadi di depan.""Ya, maksudku di kantung kresek itu. Jelas menerawang," tunjuk Dokter Raja cepat meralatnya."Ayo naik, biar kuantar. Harus sampai kosan dengan selamat.""Nggak usah Dok, dekat kok jalan kaki aja.""Sekalian ja
"Rum, gimana? Pucet banget?" tanya Vina dan Mesya yang sudah menunggu di luar. Kedua rekannya itu sangat penasaran dengan hasilnya. Apalagi Ruma keluar dengan wajah murung.Ruma diam saja sembari berlalu meninggalkan keduanya yang sudah kepo akut. Hingga membuat keduanya menduga-duga."Jangan-jangan?" Vina dan Mesya saling bertukar pandang. Sejurus kemudian bergegas menyusulnya."Waduh, ngulang dong di Stade bedah, ngeri amat," ujar keduanya berjalan cepat mengekornya."Ruma! Yang sabar ya, nggak apa-apa kok, kadang kesuksesan berawal dari kegagalan. Jadi, mungkin ini ujian," ujar wanita itu puk-puk punggungnya ikut prihatin."Apa sih Vina, hasilnya kan masih belum tahu, cuma lagi mikir," sahut Ruma merengut. GGegara ditodong ketemu sama umminya Pak Dokter, mendadak Ruma masuk angin duluan sebelum berjumpa. Panas dingin tak karuan. Yang jelas takut sekali kalau keluarganya mengospek dirinya masalah kehamilannya. Walaupun Ruma tidak yakin kalau Dokter Raja tahu dirinya masih mengandun