"Apa maksud Mbak? Apa Mas Priyo sudah menikah kembali dengan Mbak?" tanyaku, ingin meminta kejelasan kata-katanya yang kontroversial.
"Kata siapa?" jawabnya.
Lho, gimana sih ini orang? Bicaranya mencla-mencle.
"Kok lagi-lagi jawaban Mbak 'kata siapa' sih? Saya butuh klarifikasi, apakah status Mbak sekarang masih sebagai mantan istrinya Mas Priyo, atau sudah menikah lagi? Mohon dijawab," tanyaku meminta kepastian.
"Ya kamu tebak aja sendiri. Pokoknya saya cuma mau peringati kamu, kalau si pembantu itu tidak boleh dekat-dekat Mas Priyo. Jangan dikira kamu sendirian mengincar warisannya Pak Broto ya."
Kalimat itu membuatku tersentak. Ia terang-terangan menuduhku sesuatu hal yang ... Ya, memang benar sih. Kok dia tau ya?
"Eh, jangan sembarangan ya, Mbak. Siapa yang mengincar warisan Pak Broto?"
"Halah, gak usah munafik. Sekarang urusi saja pembantumu itu."
Telepon dimatikan olehnya. Gigi gerahamku bergemeretak menahan kesal. Orang
"Ada apa, Yun? Kenapa jadi salah tingkah begitu?" tanyaku.Ia menunduk dalam. Tangannya mengaduk-aduk sendok yang ada di dalam gelas. Lama dia hening.Para pelayan restoran hilir mudik di sisi kami. Dan suara pengunjung riuh rendah di ruangan yang mulai dipenuhi orang saat jam makan siang."Jujur aja, sedekat apa sih kamu dengan suamiku?""Maafkan aku, Bu," jawabnya dengan suara bergetar, membuat aku semakin curiga. Yuni menggigit bibir bawahnya."Ada apa? Kenapa kamu minta maaf? Kamu melakukan kesalahan? Kamu sudah ngapain aja dengan dia?" Badanku condong ke depan dan kedua tanganku terlipat rapi di atas meja. Dengan posisi begitu mungkin ia merasa semakin diinterogasi."Gak ada. Paling jauh cuma diajak temenin minum di coffe shop. Aku diminta ngurusin pembukuan keuangan.""Oh, Mas Priyo ngasih kerjaan ke kamu. Terus kenapa kamu harus minta maaf?""Karena aku takut Ibu cemburu.""Ya kalo cuma sekedar membantu pembukuan
"Terima kasih telah menerimaku menjadi pendampingmu, ketika aku dalam keadaan terpuruk."Perkataan itu kubalas dengan senyuman kepada pria yang sedang duduk di pelaminan di sampingku. Ia meletakkan tapak tangan kirinya ke atas punggung tangan kananku sembari sedikit mengusap lembut."Aku juga berterima kasih kepada kamu, Mas. Karena sudah menerimaku dengan berbagai kekurangan yang kumiliki."Jawabanku itu mungkin terdengar klise. Tapi tidak aku pungkiri. Pernikahan kami tidak tulus seratus persen berdasarkan cinta.Aku tahu, Mas Priyo meminangku karena alasan duit. Apalah aku ini tanpa harta. Cuma seorang janda mandul yang sudah memasuki usia kepala empat dan memiliki paras tak terlalu menarik. Tapi cukup punya percaya diri. Aneh sekali ada laki-laki yang lebih muda, duda beranak dua, yang mau menerimaku dalam kondisi begini sementara dia bisa mencari wanita yang jauh lebih baik.Aku sendiri tahu persis kondisi Mas Priyo. Seorang pengusaha yang usa
"Apa-apaan ini, Mas? Baru malam pertama kamu sudah berani menampar aku?" tanyaku.Mas Priyo tergagap. "Oh. M... Maaf, Dek. A... Aku gak sengaja.""Gak sengaja gimana? Tangamu mengayun ke mukaku, lho." Alisku berkerut. Tanganku mengelus-elus pipi yang panas."Aku ga bermaksud menampar, cuma mau menepis pelukan kamu, Dek.""Kalau menepis ya harusnya gerakan Mas seadanya. Kenapa tangan Mas bergerak terlalu berlebihan hingga mengenai wajahku?""Aku minta maaf. Aku salah, tidak sengaja. Maaf ya. Sudah, kamu jangan marah.""Jangan marah bagaimana? Ini malam pertama lho, dan kamu sudah berani berlaku kasar. Gimana kalau usia pernikahan kita sudah sekian tahun?"Aku membalikkan punggung membelakanginya sembari memeluk guling. Malam pertama yang suram. Tak dapat kutahan sebulir dua bulir air yang mendesak mengalir di ujung mata.Kini giliran ia yang merangkul dan membelaiku sembari mengucapkan kata maaf. Tak kugubris.Semal
Aku pikir suami yang "morotin" istrinya cuma ada di sinetron-sinetron. Tapi kini aku alami sendiri. "Jadi gimana, dek? Mau gak bantu bisnis Mas?" Ia meminta ketegasan. Aku menghela nafas berat. "Boleh, tapi dengan perjanjian yang jelas ya, Mas. Berapa persen porsi saham aku, berapa modal Mas." "Kamu mau modalin berapa?" "Aku beli franchisenya deh. Mas yang nyediain ruko sama pegawainya." Tadinya badan suamiku sudah condong ke depan untuk menyimak berapa uang yang bisa kusumbang untuk membantu mewujudkan usahanya. Begitu mendengar penjelasanku, ia menghempaskan punggungnya ke belakang. "Kenapa, Mas?" "Saya pikir kamu akan back up penuh." "Saya juga punya prioritas bisnis, Mas. Aku lagi butuh uang buat peluncuran brand baru." "Apa gak bisa mendahulukan kepentingan suami?" "Nanti ya kita bicarakan setelah event dalam waktu dekat ini selesai." "Pelit banget, sih." Mas Priyo melengos. Lantas beranjak
"Bagaimana, Pak? Apakah ada niat baik membayar utang yang sudah jatuh tempo kemarin?" tanya salah seorang penagih yang bertubuh paling besar dengan nada intimidatif. Wajahnya rapat di hadapan suamiku. Aroma rokok berhembus sampai jarak beberapa meter dari mulutnya yang tak tertutup masker. Bagaimana bila ia mengidap Corona?Perutnya buncit. Mengenakan kemeja merah kotak-kotak yang dibuka tiga kancing atasnya, bulu dada menyembulnya menambah kesan angker. Kacamata hitam digantung di atas ubun-ubun ditopang rambut yang ikal."Iii.. Iya. Sss.. Saya akan bayar. Tapi minta waktu beberapa hari lagi. Uangnya akan saya siapkan." Aku bisa melihat getaran kaki Mas Priyo. Tangannya menggenggam erat jubahku yang berdiri di belakang. Pita suaranya bergetar hebat."Sekarang aja, Pak. Kami tunggu.""Saya baru saja menyelenggarakan acara pernikahan kemarin. Masih sibuk beres-beres. Paling lama tiga hari lagi lah, sudah saya bayar." Kedua telapak tangan Mas Priyo menyatu
"Baiknya Mbak langsung saja bicara dengan Mas Priyo. Silakan masuk dulu, Mbak." Aku memasang senyum terbaik, berbicara sehalus mungkin, bersikap ramah maksimal. Namun ia memalingkan muka tak mau melihat wajahku. "Gak apa-apa, di sini aja," jawabnya. Tak lama kemudian suamiku keluar dari kamar mandi dan menuju ruang depan. Dilihatnyalah mantan istri dengan dua anaknya berdiri di depan pintu. "Ani?" gumamnya. Lantas seraya membungkuk, ia memanggil anak-anaknya,"Eka, Dwi... Kalian apa kabar? Papa kangeeen..." Mas Priyo membentangkan tangan. "Papaaa..." ujar mereka sembari berhamburan ke dalam menuju pelukan ayahnya. Kecupan mesra dan belaian penuh sayang melengkapi pertemuan itu. Aku membiarkan momen ini terjadi, tak mau menginterupsi keadaan. Dan setelah puas melepas rindu, Mas Priyo pun bertanya kepada mantan istrinya. "Ada apa kamu kemari, Ani?" "Aku mau nagih uang sekolah anak-anak," jawab gadis... eh sudah tidak gadis lagi... j
Aku tidak mampu menaksir nilai rumah itu. Tapi kemungkinan besar di atas tiga puluh lima milyar rupiah. Karena kisaran harga properti di sekitar Pondok Indah sudah melebihi angka tersebut. Apakah bangunan ini kelak akan diwariskan kepada suamiku? Mudah-mudahan lebih ya. Karena rumah mertuaku ada beberapa lagi.Cukup pagi kami tiba. Pukul sembilan. Ketika mobil Mas Priyo masuk ke halaman, sudah terpakir tiga mobil mewah di sana. Ada satu mobil yang sepertinya aku kenal atau pernah melihat. Aku pikir mungkin ipar-iparku sudah tiba. Namun info dari suami, kami lah yang pertama sampai.Malu-malu aku masuk ke dalam membuntuti Mas Priyo yang sangat rapi mengenakan setelan jas hitam, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam. Rambutnya mengkilap tersisir belah pinggir dibaluti minyak pomade. Tak kalah rapi seperti saat pesta pernikahan lusa kemarin.Di ruang tamu, aku bertemu dengan Dewi. Pertemuan yang mengejutkan. Ada urusan apa dia di rumah ini? Tapi mengingat ia rekan
"Aku sayang sama dia, Pa. Aku nikahin dia bukan ngincer uangnya. Tapi karena suka sama orangnya," itu jawaban suamiku.Seakan-akan nyawaku sempat tercabut sebentar lalu kembali lagi ke jasad. Tersanjung luar biasa mendengar pembelaan dari Mas Priyo. Gini kek dari tadi. Kemana dia pas aku dibully saudara-saudaranya?"Good. Kalau karena itu motivasi kamu menikah, semoga tidak ada ribut-ribut soal uang di rumah tangga kamu." Ucapan itu tak kalah melegakan. Jadi perintah cerai dari papa mertua tadi tidak sungguh-sungguh.Itu kalimat terakhir yang aku dengar karena tak mau nguping lama-lama. Nanti mama mertua curiga mengapa aku tak kunjung balik menemaninya berbincang.Bergegas aku ke dapur untuk mengambil minuman lalu berjalan kembali menemui mama mertua yang tengah duduk bersandar di sofa kulit sembari membaca sebuah majalah. Aku duduk rapat di sampingnya."Kok agak lama?" tanyanya."Iya, Ma. Aku sambil liat-liat isi rumah ini. Aku kagum, Ma. M