Share

Sejarah Mahrazh

Kyra hampir tidak tidur. Saat ia terlelap, mimpilah yang kini kembali menghantui. Ia terjaga ketika cahaya matahari belum menyentuh tanah Mahrazh dengan lingkaran hitam di bawah mata.

“Kamu terlihat mengerikan.” Tania berkomentar ketika ia sampai di ruang makan penginapan. Temannya itu sedang menyeruput secangkir kopi hitam.

“Secangkir kopi saat sarapan kurang baik untuk lambung.” Walau berkata demikian, Kyra sendiri juga memesan kopi. Pikirnya ia butuh sesuatu yang membuatnya tetap terjaga. Anak-anak yang lain berdatangan setelah cangkir kopi Tania kosong dan gadis itu bermaksud untuk mengisi lagi.

Dari obrolan teman-temannya yang lain, Kyra berpendapat jika bukan hanya dirinya saja yang menggalami malam tak menyenangkan. Hampir semua memiliki malam yang tak tenang. “Apa tidurmu juga tak tenang, Tania?”

“Ini hanya karena kita tidak terbiasa dengan lingkungan baru. Jangan ikut-ikutan menyalahkan kutukan untuk sesuatu yang bias dijelaskan dengan logika.” Tania berdiri, tak jadi mengisi kembali cangkir kosong miliknya.

Kyra juga melakukan hal sama. Setelah menyesap tandas cairan pekat itu, ia menyusul Tania keluar. Ia menemukan Tania di halaman sedang merengangkan urat-uratnya. “Aku punya perasaan tak enak di sini.” Kyra berdiri di dekat Tania.

“Kamu tidak suka hampir disemua tempat.” Tania tak lantas menoleh pada Kyra. Kini giliran kakinya yang ia rengangkan dengan cara menendang-nendang.

“Bukan begitu.” Walau Kyra mengakui jika yang dikatakan Tania itu benar, firasatnya kali ini lain.

“Tidak semua hal yang kamu rasa salah adalah salah, kadang kali itu hanya pikiran yang sedang mempermainkan perasaan.” Tania kali ini menatap Kyra lebih serius dari pada biasanya.

Kyra menelan ludah susah payah. Mungkin Tania benar, pikiran Kyralah yang sedang mempermainkan perasaannya. Tetapi bukan cuma itu yang membuat Kyra cemas. Matanya juga mulai melihat hal-hal aneh. Bagaimana dengan pemuda bermata biru yang sedari tadi berdiri di depan Tania. Apakah ini benar-benar cuma mimpi dengan mata terbuka belaka?

***

“Mahrazh adalah kota yang cukup berkembang dalam seni perang pada masanya. Merupakan sebuah kota dengan penghasilan paling besar yang dihasilkan dari pembuatan senjata perang. Pada masa itu mungkin masih ada penyihir yang hidup.”

Tangan salah satu anak terancung, menyebabkan pemandu tur berhenti sejenak dan mendengarkan. “Mungkin?”

“Ya, mungkin. Sebab pada catatan dan perkamen yang kami temukan di perpustakaan mereka sama sekali tidak ada literatur yang membahas tentang itu.”

Suara anak-anak mendenggung bagai lebah sampai kemudian pemandu tur kembali melanjutkan keterangannya.

“Tapi ada catatan tentang sihir yang menyebabkan kematian hitam. Dikatakan bahwa pada masa Lord Valdimart I, untuk memiliki keturunan sangat susah. Oleh sebab itu ketika istri Lord hamil dilakukan segala upaya untuk menjamin kelahiran bayi tersebut. Salah satunya adalah sihir. Tidak dijelaskan betul bagaiman kemudian sihir itu melahirkan kematian hitam yang begitu ditakuti oleh para penduduk Mahrazh. Tapi, dengan jelas disebutkan pada catatan itu bahwa entah itu penyakit atau kutukan, kematian hitam yang menghancurkan Mahrazh. Catatan itu berasal dari 150 tahun silam.”

Tanpa terasa cerita pemandu itu sudah membawa meraka ke kastil dengan dinding-dinding tinggi yang melingkupi.

“Untuk semuanya, selamat datang di kastel Forde. Dibangun 200 tahun silam pada masa pemerintahan Valdimart II sebagai wujud kecintaannya pada putranya Forde.”

***

Pemandu itu meninggalkan mereka selama sejam penuh. Mempersilakan bagi para pengikut turnya untuk berjalan-jalan sendirian di kastel.

Kyra menghabiskan 10 menit pertama untuk menimbang-nimbang akan mengikuti siapa dalam pejelajahan dan kemudian memulai tur itu sendirian mengikuti rombongan yang salah satunya adalah Tania. Kyra kemudian yakin jika dirinya salah berbelok di lorong terakhir karena kemudian berjalan sendirian saja. Tidak ada seorang lagi di depannya kini.

Lorong itu membawanya ke sebuah taman kecil, Kyra menduga ia kini hampir berada di belakang kastel. Taman itu dulunya pasti indah sekali. Bahkan bebatuan yang ada di sana masih terlihat menakjubkan di mata Kyra.

“Ayah membangun taman ini ketika aku lahir.”

Kyra nyaris terjatuh ketika menyadari siapa yang mengajaknya bicara. Pemuda dengan pupil biru yang temaram, yang mungkin berasal dari salah satu mimpi Kyra. “Si-siapa kamu?” sekujur tubuh Kyra bergetar ketakutan.

Pemuda itu menoleh pada Kyra, ekspresinya datar tak terbaca. Yang membuatnya terlihat nyata hanya mata biru yang temaram itu. “Kamu melupakanku.”

“Ah?” Kyra tak paham dengan apa pun yang disampaikan pemuda itu. Apa yang dilupakan dan yang melupakan. Ia bahkan tak tahu dengan pemuda itu.

Pemuda bermata biru itu mendekat. “Kamu melupakanku. Aku menunggumu untuk kembali dan kamu lupa dengan janjimu.”

Tubuh Kyra menjadi semakin gemetar. Ia takut jika pemuda itu nyata dan jika pemuda itu tak nyata. Dua-duanya sama saja. “Tetap di sana. Jangan kemari.” Namun, pemuda bermata biru itu masih saja berjalan mendekat. “PERGI!” Kyra terjatuh manakala melihat tubuh pemuda itu menghilang bagai asap hitam.  Setelah itu orang-orang berkerumun di dekatnya.

***

Tur pada hari itu dibatalkan. Beberapa orang merunggut panjang pendek sebab acara akan kembali molor dan lagi-lagi penyebabnya adalah Kyra. Beberapa lagi mulai berbisik jika demam tinggi yang menyerang Kyra adalah salah satu gejala dari kematian hitam. Seolah orang-orang itu pernah melihatnya dan menggalaminya sendiri.

“Jangan takut. Ini hanya demam biasa, tubuhmu sedang beradaptasi dengan cuaca Mahrazh yang panas.” Begitu perawat sekolah yang juga ikut tur berkata pada Kyra saat memberi obat.

Kyra sendiri tidak berkata apa-apa. Ia melihat pemuda bermata biru itu lagi di samping tempat tidur, hanya berdiri menatap penuh sesal. Sama seperti sebelumnya, hanya mata dari pemuda itu saja yang menyiratkan betapa ia hidup dengan beberapa alasan. Reaksi obat bahkan membuat Kyra sama sekali tak takut pada pemuda bermata biru itu.

Mimpi langsung menyerang Kyra saat matanya terpejam. Mula-mula ia melihat tanah, kemudian akar pohon dikedua sisi, dan sebuah buku di pangkuan. Tempat itu sejuk dan Kyra hanya sendirian saja. Rasa takut yang selalu menyerangnya ketika sendirian di rumah kini tak ia rasakan di sini. Ia berpikir karena semua hal yang dialami ini adalah mimpi.

“Aku selalu bisa menemukan kamu di sini. Apa yang akan terjadi ketika nanti tidak ada kamu lagi?”

Lama Kyra memperhatikan sampai ia menyadari jika sedang bicara dengannya adalah pemuda dengan mata biru. Pemuda itu hidup, riang, hangat, dan membuat jantungnya secara ajaib bekerja tidak normal.

“Terkadang aku berharap tidak pernah membantumu bersembunyi dari kejaran prajurit hari itu.” Kyra dengan sigap menutup buku di pangkuannya. Kini ia menyadari sedang menjadi pelakon di dalam mimpi. Rasa geli dan rasa ingin tahunya hampir membuat Kyra tertawa. Apakah dialog yang tadi terjadi dengan pemuda bermata biru secara spontal meluncur begitu saja tanpa sekenario seperti biasa dalam hidupnya?

“Kamu tidak akan tahu rasa yang pas saat kamu belum mencoba.” Pemuda bermata biru itu berkata lagi, memilih duduk di depan Kyra. 

“Oh, benar sekali. Kemudian aku juga akan tahu bagaimana rasanya sebuah penyesalan.” Kyra kemudian berdiri dengan cepat. Menepuk-nepuk bagian belakang tubuhnya yang ia rasa sedikit kotor.

“Hei!” Pemuda bermata biru itu berseru tak terima manakala Kyra berhasil memutari tubuhnya padahal sudah dihalangi. “Kamu akan rindu padaku.”

“Tidak.”  Ada rasa ingin tahu menyeruak dalam hati Kyra saat ini. Ia memilih menikmati saja pemikiran tentang mimik wajah pemuda bermata biru itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status