Share

Kembali ke Rumah

Syukurlah kemarin hanya sebuah mimpi. Kalimat itu ia gumamkan dalam hati saat pertama kali setelah membuka mata dan melihat sedikit jika ia menelungkup di ranjang. Ia memejamkan matanya kembali dan berbalik menatap langit-langit, ketika membuka mata dan melihat jika langit-langit kamar itu bukanlah miliknya. Ia meloncat dan terjatuh dengan lutut lebih dulu membentur lantai. Rasa nyeri meyakinkan dirinya jika ia tidak bermimpi.

Benar saja, tempat tidurnya berbeda. Bukan Kasur empuk dengan alas sprei putih dan empat bantal di kepala seperti miliknya di rumah.  Tapi dipan terbuat dari kayu besar yang berbau manis dengan kaki-kaki besar. Ada tiga lilin yang bersinar di dekat meja kayu dengan kaca dan sisir yang terbuat dari tulang. Jendela kamar tidak terbuka, padahal dari selanya Kyra bisa melihat cahaya menelusuk masuk. Ada sebuah lemari di dekat pintu, kacanya buram. Kamar itu tidak besar dan tidak kecil. Satu yang pasti, tempat itu terasa penggap.

“Kyra.”

Ia beranjak ke pintu yang terkunci. Tidak ada lubang untuk mengintip siapa di luar sana yang sedang memanggil. Dari suaranya, Kyra yakin seorang perempuan. Tiba- tiba ia menduga jika dirinya sedang diculik dan disekap di suatu tempat. Mungkin orang-orang yang datang ketika badai pasir berlangsung adalah para penculik. Tapi, dengan cepat pula pikiran logis menepis semua dugaan itu. Ia bukanlah anak para pemimpin di Revan. Mama hanya orang tua tunggal, sendirian membesarkannya sejak ia dilahirkan. Kemungkinan penculikan atas motif uang ditepis dengan cepat.

“Apa mau-mu?” suara Kyra terdengar aneh saat bicara.

“Kamu ini bicara soal apa?” Lawan bicaranya di balik pintu terdengar tak suka. “YA, sudah kalau kamu tak ingin keluar. Aku hanya memberi tahumu kalau Ayah sudah berangkat ke kastel.”

Kyra bertanya-tanya dalam hati siapa yang dimaksud Ayah oleh lawan bicaranya di luar sana. Dibukanya pintu lebar-lebar. Tapi, karena kaget ditutup kembali dengan cepat. Bagaimana mungkin ada seseorang yang mirip dengannya berdiri di luar sana. Kyra mulai curiga jika berada dalam mimpi seperti biasa. Itu artinya ia hanya perlu mencoba untuk terjaga. Namun, bagaimana dengan rasa sakit yang dirasakan saat terjatuh dari tempat tidur.

Mungkin lawan bicaranya tadi kesal melihat perilaku Kyra. Dengan kasar didorong pintu yang ditahan Kyra dengan punggung. Ia hampir tersungkur karena itu. Kini ia memilih bersandar di dinding di samping tempat tidur. Memberi jarak antara dirinya dan juga gadis yang baru masuk itu. “Hari ini kamu melakukan apa?”

Kyra menelan ludah, ia tak akan bisa menjadi gadis di depannya ini. Yang berbicara dengan suara lantang dan penuh percaya diri. “Kamu siapa?” Suaranya masih seperti tadi, kecil, aneh, dan penuh ketakutan.

“Kamu baru saja menggunakan sesuatu seperti opium?” Gadis itu mengernyit bertanya padanya. Memperhatikan Kyra dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Tidak, kenal denganku? Kamu baik-baik saja?” Gadis itu berjalan mendekat ketika dilihat Kyra menggeleng.

Kyra menahan teriakan ketakutannya saat tangan gadis itu terulur ke arahnya.

“Aku sangka kamu demam atau sebagainya. Aku Luna, saudara kembarmu.”

Ia sedang tidak berada di rumahnya atau tempat seharusnya. Sebab Kyra tunggal, satu-satunya anak yang bisa lahir dari rahim sang mama.

***

Luna meninggalkan Kyra sendirian kin. Sebelumnya gadis itu mencekoki Kyra dengan obat herbal yang rasa pahitnya masih tetap tinggal di pangkal lidah. Kyra keluar. Ia perlu mencari tahu di mana berada kini. Seperti khas bangunan-bangunan di Mahrazh yang sempat ia kunjungi, tempat Kyra berada kini memiliki struktur yang sama. Terbuat dari bebatuan granit hitam dengan dinding-dinding ketinggian pinggang lelaki dewasa berlapis pualam, begitu pun dengan lantai.

Seorang pelayang dengan pakaian putih susu dan celemek lebih terang dari pakaiannya menunduk ketika berpapasan dengan Kyra. Artinya kedudukan Kyra lebih tinggi. Ia telah ada di jalanan kecil menanjak di belakang bangunan batu, keluar dari pintu samping dekat sebuah sumur dengan keretan. Matanya menggenali tempat rimbun di kejauhan. Pokok itu pernah ia lihat di mimpinya. Tanpa pikir panjang Kyra berjalan ke sana, patokannya hanya garis lurus yang ia lihat. Gaunnya tersangkut beberapa kali di ranting, sampai kemudian ia tiba di tanah lapang yang tak begitu luas, hanya beberapa meter saja. Tapi, tempat itu seperti sengaja dibersihkan.

“Kamu terlihat berbeda. Apa karena pakaian?”

Kyra menemukan Alden di dahan pohon yang terlalu tinggi. Tentu saja ia menggenali, bukan hanya dari rupa wajah, tapi tatapan mata biru itu juga. Ingin rasanya dengan segera Kyra bertanya di mana ia berada kini. Sebab Alden orang terakhir yang secara langsung menjalin kontak dengannya. Pemuda itu bilang akan melindungi Kyra. “Alden?” tak yakin Kyra menyebut nama pemuda itu.

“Mmmm, sepertinya ada yang ingin kamu tanyakan padaku.” Mata Alden menggoda.

“Kamu tahu kita di mana?” Pertanyaan yang diajukan Kyra terdengar bodoh, buktinya muncul senyum di bibir Alden. Tapi, itu penting untuk meyakinkan Kyra di mana berada kini.

“Kamu masih di Mahrazh. Kenapa kamu terasa begitu aneh?” Ada kerutan di dahi Alden.

“Aku tidak berasal dari sini, bisakah kamu mengembalikanku pulang?” Gamang Kyra saat meminta itu. Ia takut Alden akan menjawab tak sesuai dengan harapan.

“Pulang?” Alden menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi. “Rumahmu hanya beberapa puluh meter dari sini. Kamu harusnya ingat jika selalu melarangku berkunjung.” Alden sedikit terkekeh.

Pernyataan Alden membuatnya cemas. Mungkinkah kini ia terjebak dalam mimpi-mimpi dalam tidur yang hanya sebagian kecil saja diingat. “Jangan bercanda, kembalikan aku ke bus segera. Mereka pasti cemas sebab aku tak ada.” Suara Kyra mulai bergetar.

Alden hanya menelengkan kepalanya dan tertawa. Secara keseluruhan ia tak paham dengan yang sedang dikatakan Kyra.

“Kenapa kamu tertawa! Antarkan aku pulang!” Kyra berjalan ke arah Alden menyentuh dada bermaksud mendorong. Tapi, denyut samar yang ia rasakan menyebakan air matanya tumpah. “Tidak, kembalikan aku.” Diguncangnya tubuh Alden penuh amarah.

Alden sama sekali tak menyangka jika gadis itu akan menangis. Secara refleks ditariknya saja gadis itu ke dalam pelukannya. “Tidak apa-apa. Aku di sini melindungimu. Jangan khawatir.” Pelukannya semakin ia pererat karena tangis gadis itu semakin keras.

***

Alden memeluk ke dua lututnya, sementara gadis berambut gelombang itu terisak dengan mata sembab dan hidung memerah. Ia tak tega menggoda apalagi menggejek. Ia bertekad menunggu sampai gadis itu tenang dan bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, saat dicoba, gadis itu malah menangis lagi. Makanya kini Alden memilih diam saja dan memperhatikan.

“Aku tidak berasal dari sini.” Kyra mulai bicara.

Alden mengangguk paham, ia juga tidak tinggal di dalam hutan ini. Ia kembali menatap gadis itu dengan saksama. Mata gadis itu sendu. Tapi, ia yakin di waktu lain bersinar dengan sangat cantik. Berwarna coklat terang, lebih tepatnya langit senja ketika matahari akan terbenam. Melihatnya saja membuat Alden ingin tenggelam ke dalamnya.

“Apa kamu percaya padaku?”

Alden mengangguk. Ia siap percaya semua hal yang dikatakan oleh Kyra. Bahkan jika Kyra mengatakan ia seorang peri dan bukanlah manusia. “Lanjutkan,” suruhnya.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi. Saat itu badai pasir. Aku melihat mata gelap yang menyeramkan dan jatuh ke lantai bus. Kamu muncul dan memelukku. Lalu, busnya terguling.” Kyra menatap Alden kini mencari saja sedikit keraguan di wajah pemuda itu dan menghentikan cerita. Tapi, Alden sama sekali tak memperlihatkan sikap tidak percaya. “AKu tidak ingat apa yang selanjutnya terjadi, saat aku membuka mata, kupikir ada di kamar, di rumah. Ternyata di tempat yang sama sekali tak aku kenal. Dan--.” Tiba-tiba saja Kyra merasa enggan mengatakan gadis yang begitu mirip dengannya itu.

“Apa?” Alden menunggu kelanjutan cerita Kyra kini. Penasaran dengan apa yang terjadi.

“Tidak.” Kyra menggeleng. Ia memutuskan untuk menyimpan soal gadis yang mirip dengannya itu. “Kamu bisa membantuku?”

Alden mengaruk pelipisnya. “Tentu saja jika aku bisa, sungguh. Tapi aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kamu ceritakan. Apa itu bus? Di mana badai pasir bisa terjadi di Mahrazh?” Saat dilihatnya wajah Kyra kembali murung, lekas-lekas ia menambahkan. “Tapi, aku percaya padamu.”

“Apa aku pernah berjanji padamu?” Kyra bertanya, memposisikan dirinya sebagai orang yang dikenal Alden.

Kyra mungkin terlalu polos untuk menyadarinya, sebab Alden mulai berencana untuk memanfaatkan kepolosan itu kini. Tak apa jika Kyra tak semisterius sebelumnya. Sekarang ia malah bertambah suka dengan kepolosan, tatapan, juga kerapuhan gadis itu. Semuanya membuat ia semakin bertekad membawa Kyra segera ke kastilnya. “Untuk sementara ini, kamu tidak berjanji apa pun padaku.” Ia tak jadi menipu, iba melihat gadis yang terlihat kebingungan dan siap sedia menangis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status