Silakan follow akun instagramku untuk mengetahui informasi seputar karya-karya terbaru yang aku kerjakan. IG: _azuretanaya
Kejadian Sandara dan Levin menghabiskan malam bersama yang tak diinginkan di vila sudah dua bulan berlalu. Hubungan antara Sandara dan Levin tidak lebih dari sekadar mahasiswi dengan dosennya. Sandara tidak mau repot-repot membeli alat tes kehamilan karena ia sudah kedatangan tamu bulanannya, walau tidak senormal biasanya. Sandara menganggapnya hal tersebut wajar, mengingat belakangan ini tugas kampusnya sangat menumpuk sehingga mau tidak mau membuatnya banyak pikiran dan berujung stres. Lagi pula sebelum-sebelumnya siklus menstruasi juga tergolong tidak teratur, makanya ia mempunyai anggapan bahwa dirinya tidak semudah itu untuk bisa hamil. “Ran, kamu masih punya pembalut?” Sandara bertanya setelah keluar dari kamar mandi. “Sepertinya masih ada. Coba saja cari di laci lemari, San,” jawab Ranty tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptopnya. “San, bukannya baru seminggu lalu kamu datang bulan?” tanyanya yang kini telah menoleh ke arah Sandara. “Masih ada satu. Aku pakai punyamu d
Bukannya menjadi lebih segar setelah bangun tidur dan mandi, Sandara malah merasakan kepalanya semakin pusing. Bahkan, kini disertai berdenyut nyeri. Karena tidak ingin mengacaukan rencana yang sudah mereka sepakati sebelum ujian akhir semester dimulai, Sandara pun lebih memilih untuk tidak mengatakan keadaannya kepada Ranty. Kini Sandara dan Ranty sudah berada di dalam mobil Barry yang sedang menuju rumah Angga. Seperti ucapan Barry sebelumnya yang disampaikan kepada Ranty melalui pesan singkat, laki-laki tersebut tepat jam empat sore sudah tiba di indekos Sandara. Bukan hal yang baru atau mengagetkan bagi Sandara dan Ranty, mengingat Barry memang orangnya sangat tepat waktu. Oleh karena itu, Sandara dan Ranty pun wajib tahu diri untuk sudah siap ketika Barry tiba agar mereka bisa langsung berangkat. “Kamu kenapa, San?” Barry bertanya saat melihat Sandara yang duduk di bangku penumpang belakang tengah memijat pelipisnya sambil memejamkan mata dari spion. “Kamu sakit?” tanyanya kemba
Merasa tubuh lelahnya kembali segar sehabis mandi, Levin pun memutuskan untuk turun ke lantai satu. Levin ingin mengobrol atau sekadar berbasa-basi dengan sang ibu yang selama beberapa hari terakhir tidak ditemuinya, apalagi tadi ia langsung menuju kamarnya setibanya di rumah. “Tumben Barry jam segini sudah tidur, Ma,” ucap Levin yang saat ini sudah bergabung di ruang keluarga bersama orang tuanya. Sejak tiba di rumah bersama sang papa, ia tidak melihat batang hidung adiknya tersebut. “Barry tidak ada di rumah, Vin. Adikmu itu sedang ada acara bersama teman-teman sekelasnya di rumah Angga. Paling sebentar lagi juga pulang,” beri tahu Dianti apa adanya. “Itu Barry pulang,” Gibran menimpali saat mendengar suara mobil Barry setelah ia menaruh cangkirnya yang berisi teh hangat di atas coffee table. “Panjang umur sekali anak itu,” Dianti menanggapi ucapan Gibran seraya terkekeh. “Mau ke mana, Vin?” tanyanya saat melihat Levin berdiri. “Dapur, Ma. Aku mau buat mi goreng,” jawab Levin ju
Levin spontan membuka mata ketika ada sesuatu yang dingin menyentuh rahangnya. Levin kembali memejamkan mata sejenak saat melihat pelakunya adalah Barry. Ternyata adiknya tersebut tengah mengompres rahangnya menggunakan es batu yang dibalut dengan handuk kecil. Levin mengambil alih kegiatan tangan sang adik setelah ia mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. “Aku juga membeli obat untuk luka di sudut bibir Kakak yang robek,” beri tahu Barry setelah berhenti mengompres rahang Levin yang bengkak. “Terima kasih,” Levin berkata singkat sambil menekan rahangnya dengan lembut menggunakan handuk dingin. Ia melihat di atas coffee table sudah ada sebuah salep, dompet, dan ponsel miliknya. “Kak, bisa ikut aku keluar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Barry seraya menatap Levin. Levin mengangguk dan langsung berdiri. Ia menoleh saat mendengar pintu kamar mandi terbuka dan memperlihatkan sosok Ranty. “Ran, gunakan saja ranjang khusus penunggu pasien itu untukmu tidur. Saya dan Ba
Levin memasuki ruang perawatan Sandara setelah selesai mengurus administrasi kepulangan perempuan tersebut. Sesuai ucapannya tadi dengan Barry, Levin memang pulang untuk mandi sekaligus berganti pakaian, sehingga dalam waktu yang tergolong cepat ia bisa kembali ke rumah sakit. Levin juga sudah memberi tahu mengenai kepulangan Sandara hari ini kepada Dianti dan Gibran, tapi ia melarang orang tuanya tersebut untuk datang. Saat Gibran dan Dianti menanyakan tentang jawaban Sandara, dengan jujur Levin mengatakan bahwa perempuan tersebut belum mengambil keputusan yang pasti. Levin meminta kepada Dianti dan Gibran untuk tidak khawatir karena apa pun yang diputuskan Sandara adalah demi kebaikan bersama serta sudah dipikirkan dengan sangat matang oleh perempuan tersebut. Levin juga meminta kepada orang tuanya agar tidak menekan Sandara yang nantinya bisa membuat kandungannya bermasalah karena perempuan tersebut banyak pikiran. Levin sengaja tidak menyampaikan kepada orang tuanya tentang usul y
Walau sudah lebih dari setengah jam terjaga, tapi Sandara belum juga berniat menuruni ranjang. Sandara masih betah menatap langit-langit kamarnya dalam keremangan sambil mendengarkan suara ayam berkokok milik sang ayah. Sandara tidak bisa tidur nyenyak karena otaknya sibuk bekerja memikirkan reaksi orang tuanya terhadap keadaannya kini yang tengah berbadan dua. Hampir setiap beberapa jam ia tiba-tiba terbangun dari tidurnya karena saking gelisahnya. Sandara menghela napas ketika menyadari bahwa kemarin malam ia lupa menyeduh susu. Saking larutnya saling berbalas pesan dengan Ranty dan Barry, ia sampai melupakan minuman yang mulai sekarang akan wajib dikonsumsinya sebelum tidur. Ia langsung mengambil ponselnya di atas nakas untuk melihat jam, ketika mendengar pintu kamarnya beberapa kali diketuk dari luar. Sambil mengikat asal rambut panjangnya, ia menuruni ranjang dan berjalan menuju pintu. “Pagi, Ma,” Sandara langsung menyapa sang ibu setelah membuka pintu kamarnya. “Pagi,” Wulan m
Sandara melihat mobil sang ayah sudah terparkir rapi di carport saat ia tiba di rumah. Sandara sangat berharap orang tuanya tengah beristirahat karena ia sedang malas berbicara dengan siapa pun. Yang paling diinginkannya saat ini hanyalah segera merebahkan tubuhnya dan secepat mungkin tidur. Saat dalam perjalanan pulang tadi, tiba-tiba saja Sandara sangat ingin mengisi perutnya dengan ayam bakar kesukaannya di warung makan langganannya. Walau pengunjung warung makan yang didatanginya tersebut ramai, tapi ia rela mengantri demi terpenuhinya keinginannya tersebut. “Sore, Pa, Ma. Aku kira kalian sedang beristirahat,” sapa Sandara saat memasuki rumah dan melihat orang tuanya sedang duduk di ruang keluarga. Ia berjalan sambil mengusap perutnya yang sudah kenyang. Melihat kedatangan Sandara dan menangkap bahasa tubuh yang diperlihatkan sang anak, seketika membuat emosi Reyhan menggebu-gebu. Tanpa memberikan tanggapan atas sapaan Sandara, Reyhan berdiri dan langsung menghampiri anaknya ter
Levin manggut-manggut. Ia mengerti arah pembicaraan Reyhan. Tentu saja ia sangat memaklumi kekhawatiran seorang ayah terhadap kelangsungan hidup buah hatinya, terlebih jika anak tersebut adalah putri tunggalnya. Ia mengetahui bahwa Sandara merupakan anak tunggal di keluarganya dari Barry. “Jika hanya menggunakan gaji dosen saya saja tentu tidaklah cukup, Pak. Selain sebagai dosen saya juga merupakan karyawan tetap di sebuah hotel bintang lima di Jakarta dengan jabatan manajer keuangan. Untuk biaya kebutuhan hidup dan pendidikan Sandara, saya berani menjaminnya dengan tabungan yang saya miliki, Pak,” ucap Levin dengan penuh percaya diri dan keseriusan. “Rasanya sungguh sangat aneh membanggakan sebuah jabatan dan nominal yang dimiliki. Baru pertama kalinya aku melakukannya hal senarsis ini,” komentarnya dalam hati. Melihat ketenangan Levin dan merasa laki-laki tersebut tidak mudah diintimidasi, Reyhan pun memutuskan tidak memberikan tanggapan. “Saya tidak ingin membahas masalah ini ber