Silakan follow akun instagramku untuk mengetahui informasi seputar karya-karya terbaru yang aku kerjakan. IG: _azuretanaya
Levin spontan membuka mata ketika ada sesuatu yang dingin menyentuh rahangnya. Levin kembali memejamkan mata sejenak saat melihat pelakunya adalah Barry. Ternyata adiknya tersebut tengah mengompres rahangnya menggunakan es batu yang dibalut dengan handuk kecil. Levin mengambil alih kegiatan tangan sang adik setelah ia mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. “Aku juga membeli obat untuk luka di sudut bibir Kakak yang robek,” beri tahu Barry setelah berhenti mengompres rahang Levin yang bengkak. “Terima kasih,” Levin berkata singkat sambil menekan rahangnya dengan lembut menggunakan handuk dingin. Ia melihat di atas coffee table sudah ada sebuah salep, dompet, dan ponsel miliknya. “Kak, bisa ikut aku keluar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Barry seraya menatap Levin. Levin mengangguk dan langsung berdiri. Ia menoleh saat mendengar pintu kamar mandi terbuka dan memperlihatkan sosok Ranty. “Ran, gunakan saja ranjang khusus penunggu pasien itu untukmu tidur. Saya dan Ba
Levin memasuki ruang perawatan Sandara setelah selesai mengurus administrasi kepulangan perempuan tersebut. Sesuai ucapannya tadi dengan Barry, Levin memang pulang untuk mandi sekaligus berganti pakaian, sehingga dalam waktu yang tergolong cepat ia bisa kembali ke rumah sakit. Levin juga sudah memberi tahu mengenai kepulangan Sandara hari ini kepada Dianti dan Gibran, tapi ia melarang orang tuanya tersebut untuk datang. Saat Gibran dan Dianti menanyakan tentang jawaban Sandara, dengan jujur Levin mengatakan bahwa perempuan tersebut belum mengambil keputusan yang pasti. Levin meminta kepada Dianti dan Gibran untuk tidak khawatir karena apa pun yang diputuskan Sandara adalah demi kebaikan bersama serta sudah dipikirkan dengan sangat matang oleh perempuan tersebut. Levin juga meminta kepada orang tuanya agar tidak menekan Sandara yang nantinya bisa membuat kandungannya bermasalah karena perempuan tersebut banyak pikiran. Levin sengaja tidak menyampaikan kepada orang tuanya tentang usul y
Walau sudah lebih dari setengah jam terjaga, tapi Sandara belum juga berniat menuruni ranjang. Sandara masih betah menatap langit-langit kamarnya dalam keremangan sambil mendengarkan suara ayam berkokok milik sang ayah. Sandara tidak bisa tidur nyenyak karena otaknya sibuk bekerja memikirkan reaksi orang tuanya terhadap keadaannya kini yang tengah berbadan dua. Hampir setiap beberapa jam ia tiba-tiba terbangun dari tidurnya karena saking gelisahnya. Sandara menghela napas ketika menyadari bahwa kemarin malam ia lupa menyeduh susu. Saking larutnya saling berbalas pesan dengan Ranty dan Barry, ia sampai melupakan minuman yang mulai sekarang akan wajib dikonsumsinya sebelum tidur. Ia langsung mengambil ponselnya di atas nakas untuk melihat jam, ketika mendengar pintu kamarnya beberapa kali diketuk dari luar. Sambil mengikat asal rambut panjangnya, ia menuruni ranjang dan berjalan menuju pintu. “Pagi, Ma,” Sandara langsung menyapa sang ibu setelah membuka pintu kamarnya. “Pagi,” Wulan m
Sandara melihat mobil sang ayah sudah terparkir rapi di carport saat ia tiba di rumah. Sandara sangat berharap orang tuanya tengah beristirahat karena ia sedang malas berbicara dengan siapa pun. Yang paling diinginkannya saat ini hanyalah segera merebahkan tubuhnya dan secepat mungkin tidur. Saat dalam perjalanan pulang tadi, tiba-tiba saja Sandara sangat ingin mengisi perutnya dengan ayam bakar kesukaannya di warung makan langganannya. Walau pengunjung warung makan yang didatanginya tersebut ramai, tapi ia rela mengantri demi terpenuhinya keinginannya tersebut. “Sore, Pa, Ma. Aku kira kalian sedang beristirahat,” sapa Sandara saat memasuki rumah dan melihat orang tuanya sedang duduk di ruang keluarga. Ia berjalan sambil mengusap perutnya yang sudah kenyang. Melihat kedatangan Sandara dan menangkap bahasa tubuh yang diperlihatkan sang anak, seketika membuat emosi Reyhan menggebu-gebu. Tanpa memberikan tanggapan atas sapaan Sandara, Reyhan berdiri dan langsung menghampiri anaknya ter
Levin manggut-manggut. Ia mengerti arah pembicaraan Reyhan. Tentu saja ia sangat memaklumi kekhawatiran seorang ayah terhadap kelangsungan hidup buah hatinya, terlebih jika anak tersebut adalah putri tunggalnya. Ia mengetahui bahwa Sandara merupakan anak tunggal di keluarganya dari Barry. “Jika hanya menggunakan gaji dosen saya saja tentu tidaklah cukup, Pak. Selain sebagai dosen saya juga merupakan karyawan tetap di sebuah hotel bintang lima di Jakarta dengan jabatan manajer keuangan. Untuk biaya kebutuhan hidup dan pendidikan Sandara, saya berani menjaminnya dengan tabungan yang saya miliki, Pak,” ucap Levin dengan penuh percaya diri dan keseriusan. “Rasanya sungguh sangat aneh membanggakan sebuah jabatan dan nominal yang dimiliki. Baru pertama kalinya aku melakukannya hal senarsis ini,” komentarnya dalam hati. Melihat ketenangan Levin dan merasa laki-laki tersebut tidak mudah diintimidasi, Reyhan pun memutuskan tidak memberikan tanggapan. “Saya tidak ingin membahas masalah ini ber
Lutut Sandara seketika lemas mendengar jawaban Asti. Untung saja saat ini Sandara masih dalam keadaan duduk, jika tidak, bisa-bisa ia langsung meluruh ke lantai. “Tidak. Tidak mungkin itu Pak Levin,” batinnya dengan tegas menyanggah dugaannya. “Non,” panggil Asti khawatir saat melihat wajah Sandara yang tiba-tiba pucat pasi. “Non Sandara,” panggilnya kembali seraya menyentuh pundak Sandara. Mendengar nada khawatir Asti, Bibi Puspa yang tadinya sedang mencuci piring Sandara pun menoleh. Ia terkejut saat melihat wajah pucat Sandara. Tidak hanya itu, wajah Sandara pun kini mulai berkeringat, padahal udara cukup dingin karena hujan di luar belum juga berhenti. “Ada apa dengan Non Sandara, As?” tanyanya pada Asti. Dengan cepat Asti menggeleng. “Saya juga tidak tahu, Bi. Wajah Non Sandara tiba-tiba saja pucat,” jawabnya jujur. “Kalau begitu Bibi panggilkan Ibu dan Bapak saja ya,” ucap Bi Puspa khawatir. Ia takut terjadi sesuatu terhadap Sandara, apalagi perempuan muda tersebut saat ini s
Dua hari setelah menggelar pernikahannya, Levin mengajak Sandara kembali ke Jakarta bersama Barry dan orang tuanya. Sesuai permintaan Reyhan, Levin dan Sandara menggelar pernikahannya di vila milik Sony Sakera dengan sangat sederhana. Mengikuti permintaan Reyhan pula, pernikahan tersebut pun dilakukan jam sembilan pagi. Selain orang tua dari masing-masing mempelai, yang ikut menjadi saksi dari pengucapan sumpah sekaligus janji pernikahan tersebut adalah Sony dan keluarganya. Setelah acara pernikahan usai, Reyhan dan Wulan langsung meninggalkan vila. Bahkan, secara frontal mereka menolak ketika ditawari untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan oleh keluarga Levin. Melihat sikap orang tuanya yang secara terbuka menunjukkan ketidaksukaannya, senantiasa membuat Sandara berlinang air mata, dadanya pun terasa sangat sesak. Gibran dan Dianti hanya bisa menghela napas sekaligus menenangkan perempuan yang kini sudah menjadi menantunya tersebut. Levin sendiri hanya memasang ekspresi datar
Keinginan Sandara untuk tetap kuliah meski dalam kondisi berbadan dua terpaksa tidak bisa dilanjutkan karena ngidam yang dialaminya menjadi penghalang utama. Baru seminggu mengikuti perkuliahan, akhirnya Sandara memberi tahu Levin bahwa ia ingin mengambil cuti. Sandara memutuskan akan melanjutkan kuliahnya nanti setelah ia melahirkan. Fase ngidam baru Sandara alami ketika usia kandungannya berada di trimester kedua. Selain mengalami morning sickness, sifat, dan kebiasaan Sandara juga sangat berbeda dari sebelumnya gara-gara fase ngidam tersebut. Yang paling menonjol dan membuat Levin tercengang sekaligus tidak habis pikir adalah kebiasaan Sandara saat tidur. Tidur nyenyak Levin terganggu karena telinganya mendengar suara seperti orang muntah. Setelah matanya terbuka, Levin tidak menemukan keberadaan Sandara di atas tempat tidurnya. Menduga bahwa Sandara yang sedang muntah di dalam kamar mandinya, Levin pun memutuskan bangun dan menyambangi istrinya tersebut. Levin bisa langsung memasu