Desir-desir angin sore menggoyangkan dahan dan dedaunan di sekitarku. Beberapa kali terpaannya mempermainkan anak rambut dan membelai wajah. Sedangkan aku termenung di bingkai jendela sambil menerawang jauh pada hamparan sawah dan bukit-bukit menghijau di bawah sana.
Masih terpaku pada posisi yang sama dari satu jam yang lalu. Memikirkan apa yang beberapa saat lalu terjadi, kemudian memejamkan mata sambil menggigit bibirku pelan, menahan gejolak yang bergemuruh dalam dada. Menahan amarah pada kebodohanmu, memendam sesal pada dosa yang kuperbuat, dosa yang mungkin menjadi aib yang menyakitkan pada anak dan suamiku.
Ingin kuhajar diriku sendiri.
Ranjang dan selimut itu, masih pada posisi yang sama, tersibak dan berantakan meninggalkan jejak pergumulan panas yang hanya dimengerti oleh sebagian yang merasakan. Bantal-bantal juga handuk berserakan di lantai parquette hotel ini.
Ketika melakukan itu, aku tak sadar aku hanyalah wanita biasa, seorang Ibu dan istri yang berumur hampir 40 tahun.
Menjijikkan tapi aku menikmati, menikmati lalu menyesali.
Luar biasa.
Kutarik napas dalam, lalu kuembuskan kembali dengan kasar. Kuraih mantel dan kunci mobil lalu meninggalkan tempat di mana aku tak seharusnya berada.
Kring ...
Bunyi ponselku, kutekan tombol di bagian kemudi yang terhubung ke gawai tersebut.
"Halo," sapaku lirih.
"Halo," jawab sebuah suara di seberang sana.
"Sabrina, kamu masih di lokasi?" tanya pria yang telah lima belas tahun membersamai kehidupanku dan mengikatku dalam jalinan suci pernikahan. Mas Andri, suamiku, sosok yang hangat, dan penuh cinta.
"Bentar lagi, aku pulang Mas."
"Cuma mau ngasih tahu aja, kalo aku gak bisa pulang, langsung nginep di hotel aja, biar mudah aksesnya ke kantor. Kebetulan kami ada seminar dan pameran produk, jadi aku gak mau melewatkan untuk turun langsung memeriksa persiapannya," katanya panjang lebar.
"Oh, baiklah. Terserah Mas saja." Aku menutup sambungan lalu melempar pandangan lagi. Tercenung sambil menatap awan yang berarak di langit sore yang cerah.
"Bahkan awan pun bergerak tidak sendiri," batinku.
Sosoknya penuh cinta, iya. Itu dulu. Sekarang, sejak bisnisnya berkembang dan kesibukannya meningkat. Ia meninggalkanku dan tenggelam dalam dunia sendiri. Mampir ke rumah hanya berganti pakaian dan pergi lagi.
Tak ada lagi, sentuhan hangat, pelukan mesra atau gendongannya yang mengangkat tubuhku tinggi-tinggi lalu membawaku ke peraduan dan kami memadu asmara dengan temaram lilin aromaterapi yang menambah suasana romantis.
Aku kesepian.
Kucoba mengalihkan diri, mencari kegiatan daripada depresi berteman sepi. Ikut ambil bagian dalam kegiatan sosial dan membentuk yayasan bersama beberapa sahabatku yang berasal dari kalangan mampu, kami kerap mengadakan bakti sosial dan mengunjungi berbagai tempat sebagai cara mengelola dan bertanggung jawab pada dana.
Aku memiliki seorang putra yang sekarang telah berada di kelas delapan. Ia memilih bersekolah di luar kota, di sebuah sekolah elite internasional yang mengharuskan siswanya menetap di sana selama masa belajar. Praktis, aku makin kesepian.
Setiap kembali ke rumah, membuka pintu lalu merebahkan diri di sofa kembali berada di antara hanya kebisuan dan keheningan.
Ketika kutelpon pria yang photo yang tergantung indah bersebelahan denganku di ruang tamu, ia hanya menjawab sekilas lalu menutupnya dengan berbagai alasan. Ingin kukatakan aku butuh waktu bersamanya, ingin kucurahkan kerinduan melalui dekapan sambil memikmati aroma maskulin tubuhnya. Namun semua hanya angan-angan belaka.
Teringat terakhir kali ketika kami makan malam bersama.
"Mas, sesekali kita liburan atau pergi mengunjungi Reza di asrama," cetusku ketika kami makan malam.
"Hmm," gumamnya.
"Aku ... Sudah berkeliling ke banyak tempat, panti asuhan, panti jompo bahkan ke kampung korban gempa tahun lalu, respon mereka sangat menyambut. Aku bahagia sekali bisa meringankan beban mereka. Namun, hal yang lebih membahagiakanku jika kita sebagai keluarga berkumpul dan menikmati waktu bersama." Aku bercerita sambil menatap matanya dengan penuh antusias.
Namun responnya biasa saja. Menatap sekilas lalu melanjutkan makannya.
"Aku gak sempat, sibuk."
"Tapi ... Aku kangen kebersamaan kita. Mungkin, aku bisa menciptakan senyum di bibir anak-anak lain, tapi pada anakku. Beberapa kali dia kecewa lho, Mas. Mas gak mengunjungi dia," desahku pelan.
Ia mendongak lagi menatapku, menghentikan makannya, lalu meneguk air, bangkit kemudian meraih kunci mobilnya.
"Mas, Mas mau kemana?" Tanyaku cepat sebelum ia menutup pintu utama.
"Ada urusan."
"Bahkan Mas belum selesai makan," bujukku pelan.
"Udah, gak selera. Dan ya, Sabrina, titip salam buat Reza, Ayah sibuk ngurus bisnis demi masa depan dia. Ucapkan begitu," kata suamiku sambil berlalu.
Aku hanya meremas kepalan tanganku ketika mobilnya menghilang dari balik gerbang. Ada miris sedih dan terluka yang menggerogoti hati menuntut sebuah balasan atau pertanggung jawaban.
"Aku ini istrinya, bagaimana ia bisa seacuh ini padaku," tanyaku sendiri.
Kuhempaskan diri di sofa sambil menutupi wajah dengan kedua belah tangan. Meratapi malangnya diri ini. Wanita yang mampu secara finansial namun tersiksa secara mental.
Dan aku kembali terhenyak lagi saat ini, seolah terbelenggu dalam sangkar emas. Rumah megah yang kutinggali yang sama sekali tidak membuatku bahagia akhir-akhir ini.
Tring ...
Sebuah notifikasi di ponselku. Kuketuk layar lalu kubuka pesan yang masuk ke aplikasi hijau itu.
[Sayang, aku masih rindu denganmu, ada waktu besok kan? Aku ingin mengulang kembali yang terjadi tadi.]
Kubaca saja lalu kuhapus pesan tersebut sambil merutuki diri.
Pemuda uang mengirimkan pesan itu, tak sengaja aku menjumpainya di yayasan. Pemuda bersahaja yang pesonanya mampu membuatku merasa kembali muda. Tatapannya yang membuat darahku selalu berdesir, hingga tak bisa kuhindari kedekatan kami terjadi begitu saja.
"Ah, seharusnya aku tak mengenalnya," bisikku sendiri.
"Oh ya, bukankah kamu juga menikmati?" Jawab seseorang yang duduk di pojok sana sambil tertawa sinis. Seseorang yang penampilannya bahkan seringainya sama denganku.
"Apa maksudmu?" Kataku sambil bangkit dari tempat dudukku.
"Wanita kotor, bagaimana kau berharap suamimu pulang, sedang kau sendiri mengkhianatinya," katanya sinis.
"Diam!" bentakku. Kuraih apa saja di dekatku dan kulempar ke arahnya.
"Bukankah, belaian dan hentakan dari pemuda itu membuatnya serasa berada di awang-awang?" Ucapnya semakin mengejekku.
Prang ...
Lemparan ponselku mengenai hiasan keramik di atas meja, benda itu terpental lalu pecah berkeping-keping.
Bayanganku yang tadi menghilang meninggalkanku sendiri yang frustasi dan putus asa dalam kesepian rumah ini.
Bias mentari menghangat, sinarnya menerobos dan tepat mengenai wajahku yang masih terlelap nyaman di peraduan king size dengan ukuran Garuda emas.Percuma, tidur sendiri.Kulirik weker di sisi tempat tidur, waktu telah menunjukkan pukul 07:30 pagi. Kusibak selimut lalu bangkit menuju kamar mandi. Kutatap wajahku di cermin sambil membasuh tangan, sedikit kumajukan badanku mendekat ke kaca tersebut."Aku masih cantik walau dengan sedikit garis-garis samar di wajah, aku tetap menarik, tapi kenapa Mas Andri enggan mendekatiku? Apa yang salah?" bisikku bersenandika.Kutatap tubuhku, sedikit memutar, masih semampai seperti semula, dibalut baju tidur satin merah yang lembut dan menggoda,aku tak kalah mempesonanya dengan mereka yang masih muda-muda.Selepas dari kamar mandi aku turun ke lantai bawah, berniat menyeduh kopi dan sedikit berolah-raga di gym pribadi milik kami. Kegiatan semacam ini memang tak pernah absen k
Semburat jingga di ufuk timur terbit, kemilaunya menerpa dedaunan di taman yang lalu sisa embun memantulkan kembali kristal-kristal indah yang membuatku terpesona oleh keajaiban Sang Pencipta.Kusibak selimut dan seperti biasa aku melakukan rutinitas pagi, membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Sibuk sendiri di dapur membuatku tertegun sesaat. Lalu mengedarkan pandanganku pada tiap sudut rumah nuansa Eropa yang mewah ini.Perabotnya, aksesorisnya bahkan cat dindingnya sangat menyilaukan tapi sungguh aku merasa hampa. Bahkan sarapan yang sudah kusiapkan di atas meja hanya teronggok begitu saja.Aku kehilangan selera dan semangat.Kuraih gawai dan kutekan kontak atas nama suamiku. Berharap dia ada di sini, seharusnya sepagi ini dia masih bersamaku, sarapan bersama dan bercanda."Halo," sapanya dari seberang sana."Mas ... Mas udah bangun?" Kat
Hari ini, setelah hujan sore tadi, langit malam begitu indah dengan taburan gemintang yang menghiasi, kelip ornamen malam dan lampu kota membuatku sesaat menikmati pemandangan itu.Lelah dan jenuh dengan kegamangan yang merajai dinding hati, akhirnya kuputuskan untuk keluar dari rumah sejenak menikmati suasana.Sepanjang trotoar beraneka ragam penjual makanan dan minuman hangat berjejeran, kepulan asap dan aroma makanan membuat siapa saja tergoda.Anak-anak muda duduk di bangku dekat paving menikmati pesanan mereka sambil memainkan ponsel atau bercengkerama ria. Canda dan gelak tawa mereka membuatku iri dan semakin merasa sepi.Kubenahi mantel dan sambil menggenggam kedua tangan yang mulai terasa dingin oleh terpaan angin.Baru saja hendak berbalik badan untuk kembali ke rumah tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lembut bahuku.Kubalikkan diriku dan sosok yang selalu membuat jant
**Duduk bersender pada sofa panjang dengan tatapan gamang, kemudian berkali-kali kubuang napas kasar lalu memejamkan mata, mengingat kembali rentetan kejadian demi kejadian yang kerap membuatku mengulangi dosa yang sama."Ah, Handy, Mas Andri ...." Dua nama itu, seperti dua sisi mata uang yang berbeda tapi selalu saling menyertai. Entah sosok yang telah halal bersamaku atau seseorang yang diam-diam menyembunyikan kekagumannya pada milik orang lain, itu membuatku gamang, jujur dilema ini bukanlah hal mengenyangkan selain dari kenyamanan sesaat.Kualihkan pandangan pada jejeran tanaman bunga dan kolam kini air mancur yang bersebrangan langsung dengan tempat dudukku, satu ketukan remote control panel kaca yang mendindingi ruang santai, perlahan terbuka dengan otomatis. Lalu udara berebut masuk mengedarkan hawa sejuk yang menurutku sama sekali tak menyejukkan hatiku.Atau bunyi gemericik air yang melunc
Mungkin siang tadi Mas Andri telah menyakitiku, namun sebagai wanita aku harus mencari cara untuk menyelamatkan hubungan kami. Setidaknya aku punya anak yang bisa membuat Mas andri berfikir ulang untuk meninggalkan kami.Kutelpon ia dengan rencana mengajaknya menghabiskan waktu berdua saja. Semoga itu bisa memperbaiki hubungan kami."Iya, Sabrina," jawabnya"Mas lagi di mana, aku berencana ke taman, apakah mas mau ikut?""Gak usah aku mau istirahat saja.""Istirahat di mana?""Ya tentu saja, hotel. Sabrina," jawabnya santai."Padahal ada ruang tempat Mas bisa beristirahat dengan nyaman dan tidak perlu membayar."Hatiku perih mendengar kalimatku sendiri yang terdengar tercekat di tenggorokan."Hmm, aku ... Maaf," gumamnya."Aku tahu, aku mengerti Mas." Kupot
Setelah yang terjadi semalam,Handy telah kembali ke kontrakannya setelah semalam di tempatku. Aku tidak bisa menafikan bahwa kehadiran sungguh menghibur, dia yang selalu menyemangati hidupku yang hambar ini.Seperti biasa, aku sendiri lagi, duduk di meja makan berukir relief bunga dan pualam putih, menikmati sarapan, dalam keheningan.Sedang asyik tenggelam dalam lamunan ketika tiba-tiba kudengar suara Mas Andri datang dan menyapaku."Hei, selamat pagi," sapanya sambil menyodorkan sebuket bunga mawar putih.Aku sedikit terperangah namun tak urung kuterima pemberiannya itu."Sedang sarapan?" Katanya sambil menggeser kursi yang berdekatan denganku lalu membalik piringnya."Mas...." Aku masih terkejut sekaligus juga bahagia karena tiba-tiba dia kembali ke rumah dan sarapan bersamaku."Kenapa menatapku begi
*Mobil meluncur kembali dengan kecepatan sedang menuju kota. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya menikmati pemandangan yang membentang hijau di tepian jalan."Mas Jadi makan siang di Mang Ali Resto, anak kita pasti senang setelah sekian lama di asrama?" Tanyaku ingin memastikan rencana semula kami."Maaf gak jadi, tiba-tiba klienku menelepon dan minta bertemu untuk membahas proyek.""Tapi ...." Kugantung ucapanku sambil menatapnya dan Reza yang dudu di depan di samping Handy bergantian.Mas Andri mendesah pelan lalu melirik arloji di pergelangan kirinya."Maaf, hari ini aku gak cukup waktu, proyek dan kesempatan bisa hilang jika aku tidak segera menemui kolegaku.""Baiklah Mas, terserah Mas saja," jawabku dengan rasa kecewa tak terkira.*Sesampainya di rumah."Reza, gak ap
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can