Jingga Kartika Putri, begitu ayahnya memberi nama anak sulung yang lahir di tanggal 11 bulan Juli 1996 itu. Dia memang lahir pada saat senja di ufuk barat sedang berwarna jingga begitu indahnya setelah sejak Subuh sang ibu menggeliat-geliat kesakitan akibat kontraksi di sebuah klinik bidan terdekat dari rumah mereka.
Anak pertama memang selalu merupakan kejutan istimewa. Dulu di masa itu, belum marak ada pemeriksaan USG untuk memeriksa jenis kelamin si janin. Namun, biasanya para tetua di keluarga, nenek kakeknya memiliki keyakinan dengan melihat ciri-ciri dari si ibu hamil mengenai kelak bayi yang lahir itu laki-laki atau kah perempuan.
Saat itu nenek dari pihak ibu Jingga meyakini bahwa calon cucu mereka adalah laki-laki. Karena itulah, mereka sekeluarga menyiapkan nama bagi anak lelaki. Namun, yang lahir ternyata perempuan, sehingga ayahnya berpikir cepat tanpa perencanaan mengenai namanya.
"Jingga saja namanya, gimana, Bu?" Pak Suhariadi mengusulkan kepada istrinya sembari menimang bayi mungil dalam gendongan. Ia terpana akan semburat jingga sang senja yang menyelusup melalui jendela kaca di ruang bersalin tersebut.
"Nggak jadi Putra, ya, Pak, hahaha," tawa geli Bu Setyowati mengingat kejadian lucu sesaat setelah berhasil mengeluarkan bayi dari rahimnya tadi. Saat sang bidan berkata, " Selamat ibu, bayi perempuannya lahir sehat dan lengkap." Dan tanggapan pertamanya malah terbengong karena dari awal mengira yang akan lahir adalah bayi laki-laki.
"Itulah, Bu. Kita memang hanya bisa berencana dan memperkirakan. Pada akhirnya Allah lah Sang Maha Berkehendak," ujar Pak Suhariadi bijak. Pria yang dari wajahnya saja sudah tampak sabar dan penuh tanggung jawab serta sangat menyayangi keluarganya itu kembali menimang-nimang bayi mungil yang telah mereka nantikan kehadirannya sejak menikah tiga tahun lamanya itu.
Bu Setyowati yang masih sedikit kelelahan akibat persalinan, hanya bergumam mengiyakan sambil menatap bayinya dengan takjub. Ia juga masih terlena akan euforia kelahiran putri sulungnya. Telah tiga tahun penantian mereka akhirnya terbayar oleh kehadiran si kecil imut nan menggemaskan yang dari tadi beberapa kali menangis dengan kencang sebentar kemudian diam dan terlelap dalam rentang waktu yang sekejap.
Tak masalah bagi mereka anak lelaki atau perempuan. Mereka tetap akan sangat menyayangi si bayi apa pun jenis kelaminnya. Toh, perlengkapan bayi juga belum banyak dipersiapkan.
Masyarakat desa mereka masih menganut beberapa tahayul lawas, khususnya yang menyangkut peristiwa-peristiwa penting seperti pernikahan, kehamilan, persalinan, sampai kepada kematian. Banyak tetangga tetua yang menyatakan pamali kalau menyiapkan banyak-banyak perlengkapan bayi. Oleh sebab itu, mereka pun hanya menyiapkan sedikit saja. Bukan karena Pak Suhariadi dan Bu Setyowati ikut mempercayai tahayul. Mereka hanya menuruti saja apa kata para tetua demi saling menjaga perasaan.
Filosofi dari nama Jingga sendiri ialah juga sebagai doa dari ayah dan ibunya agar sesuai dengan warna jingga yang memiliki kesan hangat dan bersemangat serta merupakan simbol dari petualangan, optimisme, percaya diri dan kemampuan dalam bersosialisasi. Hal ini dikarenakan warna jingga adalah peleburan dari warna merah dan kuning, yang sama-sama memberi efek kuat dan hangat.
Seperti kebanyakan anak sulung, orang tua serta keluarga besar menghujaninya dengan segala cinta, perhatian dan kasih sayang. Sejak kecil ia begitu dimanjakan, setiap yang diinginkan hampir semuanya terpenuhi dengan mudah.
Akan tetapi, keadaan mulai berubah ketika sang ibu melahirkan adik perempuannya empat tahun kemudian. Anak kedua yang diberi nama Nila Kharisma Dewi itu seakan merebut banyak hal dari Jingga. Ia mendadak harus tidur sendiri di kamar yang terpisah dengan orangtuanya. Ia juga sudah jarang sekali digendong ibunya semenjak hamil, karena memang kondisi ibu hamil dilarang mengangkat beban berat agar tak membahayakan janin.
Semenjak itulah, terselip setitik cemburu dalam hati si kecil Jingga kepada sang adik. Namun, seiring bertambahnya usia, rasa saling pengertian dan saling menyayangi semakin terpupuk berkat kedekatan emosional serta didikan penuh kesabaran serta kasih sayang dari orangtua mereka.
Sang adik memiliki sifat yang bertolak belakang dengan kakaknya. Bila Jingga tipe serius, introvert dan mandiri, si adik ini malah pecicilan, suka usil dan manjanya kebangetan.
Sengaja sang ayah memilih jenis warna sebagai nama depan untuk anak keduanya, mengikuti jejak asal nama anak pertama. Dipilihlah Nila yang merupakan perpaduan dari warna ungu dan hijau, yang menurut filosofinya mewakili intuisi, integritas, idealisme, dan juga introspeksi.
Ada pun saat mendapati ternyata sifat Nila jauh dari makna di balik namanya, mereka hanya bisa geleng-geleng kepala dan menyadari bahwa harapan memang tak selalu sesuai dengan kenyataan.
"Nggak mau tahu! Pokoknya Mbak Jingga tidur di bawah, aku aja yang di atas. Titik!" tukas Nila berkeras membantah saat pada usianya yang saat itu telah menginjak lima tahun dan Jingga sembilan tahun, ayah mereka membelikan ranjang susun untuk ditempati mereka berdua demi mengganti ranjang kecil Jingga sebelumnya.
Dari kecil, Nila memang terlalu manja dan kolokan. Jingga yang harus terus mengalah agar tidak terjadi perebutan berkepanjangan yang biasanya akan membuat sang ibu berang.
Beranjak dewasa, Jingga dan Nila mulai dihadapkan dengan keadaan ekonomi yang menjadi sedikit sulit. Bengkel las Pak Suhariadi sepi pesanan sehingga pendapatan keluarga banyak berkurang. Oleh sebab itu, saat Jingga lulus SMA, dia langsung memutuskan untuk bekerja.
Dengan hanya bermodalkan ijazah SMA, dia melamar ke beberapa perusahaan di kotanya. Selama menganggur di rumah menanti panggilan kerja, ia mengisi waktu dengan membantu ibunya berbelanja stok toko mereka. Dia lebih suka disuruh belanja daripada menjaga toko, karena menurutnya, meladeni pembeli di toko memerlukan banyak kesabaran dan telinga yang siap mendengar ocehan panjang ibu-ibu tetangganya. Dan ia tak memiliki keduanya.
Nila yang lebih bisa ramah kepada pembeli dan mengimbangi perbincangan mereka dengan pembawaannya yang ceria dan santai. Ia juga bukan tipe yang peka seperti halnya Jingga ketika mendengar beberapa olokan tetangga saat bercanda.
Setelah beberapa bulan melamar ke sana ke mari, akhirnya Jingga mendapat panggilan kerja sebagai karyawan produksi di sebuah pabrik sepatu. Letaknya dekat dengan rumah, hanya sekitar sepuluh menit perjalanan dengan motor.
Ia lumayan menikmati pekerjaannya. Meskipun hanya dengan gaji sesuai UMK daerah, ia mendapat banyak tambahan dari kerja lembur dan juga bonus prestasi setiap kali tim kerjanya mencapai target produksi.
Ia juga merasa nyaman dengan suasana di tempat kerja. Ia yang karyawan baru dan tergolong paling muda, segera saja menjadi andalan sekaligus kesayangan para atasan karena kelincahan dan kecakapannya dalam bekerja. Tak lama, dia sudah berhasil naik tingkat, mendahului banyak seniornya yang lebih tua.
Gaji yang semakin naik membuatnya dapat membantu perekonomian keluarga. Ayah dan ibunya sering kali segan menerima uang dari Jingga. Karena itu, sengaja setiap kali gajian, dia akan pergi ke pasar untuk berbelanja stok toko. Ia juga sering memasukkan sendiri sejumlah uang ke dalam saku baju koko ayahnya yang biasanya digantungkan di depan ruang salat. Ayah serta ibunya begitu terharu menyadari bahwa anak sulung mereka telah beranjak dewasa dan sudah memiliki niat mulia untuk membantu keluarga bahkan tanpa diminta.
Ketika kemudian tiba waktunya Nila lulus SMA, akhirnya Jingga meminta kedua orang tuanya untuk menuruti keinginan Nila melanjutkan kuliah. Ia berjanji akan membantu dalam hal pembiayaannya. Ia memiliki tabungan pribadi yang kapan pun bisa digunakan bila ada kebutuhan mendadak. Ia ingin adiknya kelak dapat pekerjaan yang lebih baik daripada dirinya yang hanya lulusan SMA.
Betapa bahagia hati Nila bisa kuliah, padahal kakaknya tidak. Ia mulai berubah sedikit demi sedikit lebih menghormati Jingga karena paham bahwa yang membantu biaya kuliahnya adalah sang kakak.
Akhirnya Nila pun mengambil kuliah jurusan Akuntansi di sebuah universitas swasta di kotanya. Si anak manja itu kurang meyakinkan untuk dibiarkan kos di Surabaya--ibukota provinsi mereka--tempat universitas negeri terdekat berada.
"Kuliah yang bener! Awas aja kalo macem-macem!" ancam Jingga suatu ketika saat mereka sekeluarga tengah mendengarkan keseruan cerita Nila di kampus.
Nila pun memasang ekspresi serius dengan posisi tegak dan tangannya memberi hormat,
"Siap! Laksanakan!"
Jingga menoyor kepala adiknya gemas. Dasar Nila, dibilangin serius malah ngajak bercanda, pikirnya. Pak Suhariadi dan Bu Setyowati sampai geleng-geleng kepala dan terkadang ikut tergelak menyaksikan perdebatan kedua anak gadis kesayangan mereka.
* * *
“Jingga, bisa tolong ikut ke ruangan saya sebentar?" Bu Tutik, sang Kepala Bagian menghampiri meja kerjanya beberapa menit setelah jam kerja dimulai. Jingga yang baru saja sedang memulai tugasnya menyusun bahan sepatu dari bagian persiapan untuk dicek kemudian disetorkan ke bagian jahit, mendongak dan menjawab, "Maaf, Bu. Boleh saya panggil Nindy untuk nerusin cek bahan ini dulu? Soalnya hari ini sudah harus masuk job Line jahit." Line adalah sebutan untuk pembagian departemen jahit karena bentuk tim kerjanya yang berderet memanjang. Bu Tutik mengangguk sembari berkata ia menunggu Jingga secepatnya. "Baik, Bu. Nanti saya langsung nyusul." Ia pun bergegas menuju ke arah ruangan bagian jahit dan memanggil Nindy--salah seorang dari Line yang memang seringkali kebagian menggantikan dirinya saat Jingga sedang ditugaskan ke bagian lain atau membantunya saat job berbarengan datang sehingga J
"Udah sampai mana, Ndy?" Jingga mengawasi sebentar pekerjaan Nindy di meja cek bahan di mana biasanya ia yang menempati. Nindy mendongak sebentar kemudian menjawab lancar sambil kembali fokus pada bahan sepatu yang tengah ia susun per seri. "Ini aku tinggal size 37 dan 36 aja, besok udah bisa selesai dan bantuin si Via ngerjain job barunya." "Sip, kamu emang andalanku," ucap Jingga seraya mencubit lengan Nindy gemas. Nindy yang berbody chubby nan menggemaskan dengan kulit putih dan rambut ikal yang selalu dikuncir model cepol itu memonyongkan bibirnya lucu. Jingga terkekeh sambil beranjak meninggalkan mejanya menuju ke meja Via di seberang. Si empunya sedang mengambil bahan ke departemen Cutting, sehingga Jingga hanya mengecek buku berisi tabel laporan size dan jumlah yang telah dicek dan yang telah disetorkan ke Line. Dua hari ini Jingga tak pernah duduk di meja. Ia harus terus berkeliling untuk men
Rentetan notifikasi pesan dan daftar missed call segera saja memenuhi layar bagian atas HP Jingga sesaat setelah dinyalakan. Benar saja, kesemuanya dari Miko dan beberapa yang berlabel nama Imel. Ia sama sekali tak berniat membaca pesan-pesan dari Miko. Langsung saja yang ditujunya adalah chat dari Imel yang hanya berbunyi, [Tes] Ia mengetik pesan di kolom chat tersebut dengan panjang lebar menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Di paling bawah penjelasan, diakhirinya dengan kalimat tanya, [Nah, kalo kamu yang di posisiku, langsung mutusin dia apa nggak? Pasti iya juga, kan?] Tak lupa dibubuhkannya emot marah. Terkirim. Tanda centang hitam dua buah. "Huuuuft, leganya ...," desah Jingga sembari meletakkan HP di meja dan menyandarkan punggungnya yang terasa amat pegal di sandaran kursi kayu dengan busa empuk itu. Sungguh terlalu kalau sampai Imel masih membela Miko hanya karena alasan mereka bertetangga. Dia kan sesama wan
"Nak,"Jingga berjengit terkejut mendengar suara lembut ibunya yang entah sejak kapan berada di situ. Di pojokan ruang tamu."I-Ibu ... bikin kaget aja, deh," ujar Jingga terbata, mengira-ngira apakah ibunya telah mencuri dengar pembicaraannya dengan Miko barusan atau tidak."Kamu nggak apa-apa, Nak?" si ibu yang biasanya cerewet itu menanyainya lembut, seakan tahu putrinya tengah sekuat tenaga menahan gejolak dalam hati.Jingga menghela napas lemah. Ibunya pasti telah mendengar ihwalnya dengan Miko barusan. Tak ada gunanya lagi menyangkal, begitu pikirnya.Tanpa kata, Jingga menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedu di dalam pelukan hangat wanita separuh baya tersebut. Ditumpahkannya air mata yang semenjak melihat raut wajah cemas sang ibu tadi telah menggenangi pelupuknya.Bu Setyowati mengelus-elus punggung juga membelai-belai rambut hitam panjangnya, berusaha memberikan ketenangan. Dibiarkannya Jingga menangis puas-puas agar ia bisa lega
Bu Setyowati yang duduk di sebelah Jingga segera menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas dan mengulurkan kepadanya. Jingga pun langsung minum dengan sekali teguk."Duh, kekenyangan, nih. Jingga ke kamar dulu, ya," pamitnya, mencoba menghindar dari Nila yang mulai merecoki. Biarlah ibunya yang mungkin akan memberi penjelasan kepada Bapak dan Nila nanti, pikirnya. Dirinya sendiri sama sekali tak ingin mengungkit ataupun mendengar masalah itu lagi.Di kamar, ia melanjutkan aktivitas mengumpulkan barang dan foto kenangan bersama Miko. Tak lupa ia juga menghapus jejak digital dari HP maupun akun-akun sosmednya setelah memblokir nomor dan akun Miko.Sesegera mungkin ia harus move on. Hidup terus berjalan. Akan ditemukannya kebahagiaan-kebahagiaan lain di luar sana. Keluarga yang disayanginya, pekerjaan yang disukai, serta prestasi yang diperjuangkannya, itu semua layak mendapat perhatian lebih daripada sekedar mengingat masa lalu bersama mantan yan
Hari-hari kemudian dilalui Jingga hanya fokus kepada pekerjaan. Beberapa pandangan mencibir dan meremehkan yang diterimanya dari sesama karyawan yang tampaknya merasa iri atau tersaingi, dianggapnya justru sebagai penyemangat diri agar lebih meningkatkan prestasi lagi. Yang penting berikan yang terbaik, maka hasil yang terbaik pula yang akan mengikuti. Itu sudah hukum alam yang tak terbantahkan.Demi untuk melupakan rasa sakitnya akibat kehilangan cinta untuk kesekian kali dalam hidupnya, ia curahkan seluruh energi dan perhatiannya untuk bekerja. Nindy yang menyaksikan betapa keras usaha Jingga, terkadang menanyainya penasaran,"Tadi sarapan apa, sih? Manusia kok kayak nggak ada capeknya?"Jingga hanya tergelak mendengar seloroh temannya. Ia semakin dekat dengan Nindy semenjak mengerjakan job bersama. Tak disangkanya gadis gemoy itu ternyata cukup pengertian dan care. Seringkali ia memeriksa laci meja Jingga, hanya untuk mengecek apakah kotak bekal ada di situ a
Nila kesal sekali pada dirinya sendiri. Ia tadi sampai kelepasan bicara kalimat yang mungkin akan sangat menyakitkan bagi kakaknya. Apa daya, ia tersulut emosi karena sang kakak tak mau sedikit pun berbagi cerita kepadanya. Mereka kan kakak beradik yang sesama wanita, beda usia juga tak begitu jauh, seharusnya bisa saling curhat tanpa main rahasia segala, begitu isi pikirannya.Ia baru mendengar dari ibunya mengenai Jingga yang telah putus dengan sang kekasih. Si ibu juga tidak menceritakan alasan tepatnya, hanya berkata bahwa mereka belum jodoh saja. Jiwa kepo Nila tentu saja langsung meronta-ronta.Di samping itu, ia juga geram dengan kebiasaan sang kakak yang sering gonta ganti pacar. Ia tak tahu bahwa itu bukan keinginan Jingga. Kalau saja mereka bisa saling terbuka bercerita, Nila pasti akan sangat kasihan pada pengalaman-pengalaman buruk kakaknya dalam hal asmara.Sifat introvert Jingga terlalu dominan sehingga bahkan adiknya sendiri tak paham apa saja ihw
Tanpa merasa bersalah, Nindy berjalan terus ke belakang. Tak memedulikan temannya yang mengaduh-aduh kesakitan oleh tonjokan lengan gemolnya."Siapa suruh ngeledekin orang." ucapnya dengan nada ceria.Nindy senang sekali hari itu. Ia seperti mendapat kawan baru. Dulu ia menyangka Jingga ini cewek jutek dan sombong. Setelah hampir seminggu ini, ia baru sadar kalau Jingga ternyata teman yang asyik. Memang orang seharusnya tidak menilai kepribadian seseorang dari tampak luarnya saja. Don't judge a book by it's cover. Berkenalan lebih jauh, bergaul akrab dengannya, barulah bisa tahu baik atau buruk sifatnya.Jingga yang mengekor di belakangnya dibuat terpana oleh kebun belakang yang dimaksud Nindy. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman. Berderet-deret tanaman hias dalam pot berjajar rapi tampak indah dan teratur. Pot-pot disusun berdasarkan ukurannya dari yang terkecil hingga yang terbesar.Jenis bunganya yan