Nila kesal sekali pada dirinya sendiri. Ia tadi sampai kelepasan bicara kalimat yang mungkin akan sangat menyakitkan bagi kakaknya. Apa daya, ia tersulut emosi karena sang kakak tak mau sedikit pun berbagi cerita kepadanya. Mereka kan kakak beradik yang sesama wanita, beda usia juga tak begitu jauh, seharusnya bisa saling curhat tanpa main rahasia segala, begitu isi pikirannya.
Ia baru mendengar dari ibunya mengenai Jingga yang telah putus dengan sang kekasih. Si ibu juga tidak menceritakan alasan tepatnya, hanya berkata bahwa mereka belum jodoh saja. Jiwa kepo Nila tentu saja langsung meronta-ronta.
Di samping itu, ia juga geram dengan kebiasaan sang kakak yang sering gonta ganti pacar. Ia tak tahu bahwa itu bukan keinginan Jingga. Kalau saja mereka bisa saling terbuka bercerita, Nila pasti akan sangat kasihan pada pengalaman-pengalaman buruk kakaknya dalam hal asmara.
Sifat introvert Jingga terlalu dominan sehingga bahkan adiknya sendiri tak paham apa saja ihw
Tanpa merasa bersalah, Nindy berjalan terus ke belakang. Tak memedulikan temannya yang mengaduh-aduh kesakitan oleh tonjokan lengan gemolnya."Siapa suruh ngeledekin orang." ucapnya dengan nada ceria.Nindy senang sekali hari itu. Ia seperti mendapat kawan baru. Dulu ia menyangka Jingga ini cewek jutek dan sombong. Setelah hampir seminggu ini, ia baru sadar kalau Jingga ternyata teman yang asyik. Memang orang seharusnya tidak menilai kepribadian seseorang dari tampak luarnya saja. Don't judge a book by it's cover. Berkenalan lebih jauh, bergaul akrab dengannya, barulah bisa tahu baik atau buruk sifatnya.Jingga yang mengekor di belakangnya dibuat terpana oleh kebun belakang yang dimaksud Nindy. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman. Berderet-deret tanaman hias dalam pot berjajar rapi tampak indah dan teratur. Pot-pot disusun berdasarkan ukurannya dari yang terkecil hingga yang terbesar.Jenis bunganya yan
Saat akhirnya Jingga pulang dari rumah Nindy, ia benar-benar mampir ke minimarket untuk membeli minuman jeruk kemasan seperti yang ia minum di sana tadi. Sesampai di rumah, ada sebuah motor asing yang terparkir di teras. Motor CBR berwarna biru metalic itu sedikit menutupi akses jalan masuk, sehingga Jingga terpaksa memarkir motornya di depan pagar. Kemudian seorang cowok dengan setelah casual, celana jeans biru dongker dan kaos berwarna biru tua tampak terburu-buru keluar dari ruang tamu dan menyapa Jingga, "Maaf, Mbak. Biar saya pinggirkan sebentar," ucap cowok itu sembari memajukan lalu mengarahkan lebih ke pinggir motor CBR tadi lebih ke pinggir taman, sedikit mepet dengan barisan pot bunga. "Silakan, Mbak." Ia mempersilakan Jingga untuk masuk. Jingga pun melempar senyum ramah kepada si cowok, sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Rasa penasaran Jingga mengenai tamu cowok itu terjawab
Malam itu Jingga tak dapat tidur dengan nyenyak. Beberapa kali ia bermimpi buruk dan menangis tersedu-sedu entah untuk alasan apa. Bayangan tentang mimpinya serasa kabur dan tak dapat ia ingat dengan jelas.Keesokan paginya ia bangun dengan kepala terasa berat. Kalau bukan karena ada tanggung jawab besar menanti di tempat kerjanya, ia sebenarnya ingin izin sakit saja. Sayangnya, job yang dipercayakan padanya sedang dikejar deadline.Saat sarapan di ruang makan, Jingga hanya meminum susu coklatnya bersama sepotong roti selai. Ibunya yang paling tidak suka ada anggota keluarga yang tidak sarapan, segera menegurnya,"Ayo, makan nasinya dulu, Ngga! Nggak boleh berangkat kalau nggak sarapan!""Duh, maaf, Bu. Sekali ini aja Jingga sarapan roti dan susu, ya. Harus sampai pagi-pagi, nih. Ada yang musti cepet-cepet diselesaikan," jawab Jingga sambil memasukkan kotak bekal makan siangnya yang memang selalu dip
"Jam 5 Bu, lembur dua jam. Ada apa memangnya?" Jingga bertanya heran saat Bu Setyowati tak biasanya menelepon pada jam istirahat siang seperti ini cuma untuk bertanya pulang jam berapa."Oh, berarti nggak lembur sampai malam lagi, ya?" Suara ibunya dari seberang malah balik bertanya."Nggak, Bu. Kemarin-kemarin lembur sampai jam 8 karena bahan masih numpuk. Kalau sekarang sudah tinggal finishing, jadi lemburnya sampe sore aja," jawab Jingga mencoba menjelaskan."Ya udah, kamu lanjutin makannya, dihabiskan ya! Minumnya juga banyakin, biar nggak kena sakit punggung ...,""Iyaaaaa ... Siapp Bos!" sahut Jingga menyela kalimat ibunya yang kalau dibiarkan bisa panjang kali lebar kali tinggi, tuh."Unch unch, yang anak mama ...," Nindy yang makan di samping Jingga berkomentar."Enak aja! Nggak tahu, nggak biasa-biasanya Ibu telfon cuma tanya jam pulang."&nbs
"Nah, ini putri sulung kami, yang kuceritakan biasanya, Hilman," ucap Pak Suhariadi memperkenalkan Jingga. Jingga tersipu sembari menyalami pria yang dari segi usia dan kemapanan tampak lebih tinggi dari ayahnya. Terlihat dari setelan batik seragam dengan istrinya yang kainnya terlihat berkelas dan pastinya mahal itu."Halo, Nak Jingga. Wah benar sekali kata Pak Suhariadi. Anak gadisnya ini memang cantik dan anggun. Iya, kan, Ma?" Pak Hilman berkata ramah sembari bersalaman lalu meminta pendapat istrinya yang duduk dengan santai di sebelah.Nyonya yang tampak masih cantik di usianya yang mungkin sekitar 55 tahun itu mengangguk tersenyum dan mengulurkan tangan kepada Jingga."Saya Ismi. Dan ini putra kami satu-satunya, namanya Bastian.Jingga yang sedari tadi menghindari bersitatap dengan si pemuda, mulai gemetar karena kali ini mau tidak mau dia harus saling tatap bahkan juga saling bersalaman memper
Saat akhirnya Ibaz sekeluarga pamit pulang, Jingga yang merasa harus segera menyampaikan pembicaraan di teras tadi kepada ayah ibunya dibuat shock dengan kalimat sang ibu yang mendahului,"Ngga, tadi Pak Hilman bilang mau datang melamar hari sabtu depan.""Whattt? Melamar apa, Bu?" tanpa sadar, Jingga berseru saking kagetnya."Ish, kok melamar apa. Ya melamar kamu untuk jadi istrinya Ibaz dong, pake tanya lagi." Bu Setyowati menjawab cepat."Bentar, deh. Bu, Pak. Ini kayaknya ada yang mesti dilurusin, deh. Jangan sampai rencana ini kalian lanjutin tanpa tahu satu hal penting ini."Jingga berkata dengan nada serius sambil duduk kembali di sofa ruang tamu. Pak Hariadi dan Bu Setyowati saling berpandangan heran, tetapi kemudian ikut duduk lagi di hadapan anak gadisnya itu."Ada apa, Ngga?" Ibunya bertanya penasaran."Ibu dan Bapak harus tahu. Tadi pas kami ngobrol di l
"Alhamdulillaaah ...," Jingga, Nindy dan juga Via berseru histeris bersamaan."Ya Allah, lega banget akhirnya usai sudah job selipan ngeselin ini, temen-temen," Jingga bersorak girang.Mereka bertiga tengah tenggelam dalam euforia setelah berhasil menjalankan job sesuai target. Suatu kebanggan tersendiri bagi karyawan, apalagi pastinya akan ada ekstra bonus dari atasan sebagai apresiasi kerja keras untuk perusahaan."Fiuuuhhh, dua minggu yang tak terkatakan banget, ya, gengs,""Iya, sumpah, bakalan jadi kenangan banget, loh, job ini,""Kayak dikejar hantu pokoknya dah kesannya, huuuft ...,""Eh, aku sampe tiap malem mimpi buruk, tahu, wkwkwk asli serem dah,"Obrolan seru di ruang cek bahan itu terhenti ketika tampak Bu Tutik berjalan menuju ke arah mereka. Beliau tampak membawa sebuah berkas.Sampai di meja mereka, Bu
Di sisi lain di kota Batu, Malang. "Jadi gitu? Hmm ..., oke, aku nurut apa kata kamu. Beneran bantuin aku tapi, ya!" Pria itu mengangguk-angguk mendengarkan suara lawan bicaranya di ponsel. Beberapa saat kemudian, ia meletakkan ponselnya setelah pembicaraan usai. "Susah juga, nih. Ah, makin penasaran saja aku." Ia menggumam pelan sembari mengacaukan rambutnya yang tebal dan berpotongan cepak itu. Dialah Angkasa Pratama. Pria berusia 28 tahun yang adalah wirausahawan muda sukses yang membuka usaha kuliner bakso. Sejak lulus kuliah di jurusan ilmu marketing di usianya yang 22 tahun hingga kini, ia telah berhasil membuka beberapa gerai bakso di kotanya. Bakso khas Malang yang ia beri nama Bakso Hitz itu sudah ada empat cabang di kota-kota sekitar Malang yaitu Mojokerto, Pasuruan dan Jombang. Bakso Hitz ini ia rintis awalnya berkat resep dari ibunda tercinta yang memang ahli dalam memasak. Bu Her