Share

Chapter 6 - Tak Cukup Kata Maaf

Rentetan notifikasi pesan dan daftar missed call segera saja memenuhi layar bagian atas HP Jingga sesaat setelah dinyalakan.

Benar saja, kesemuanya dari Miko dan beberapa yang berlabel nama Imel. Ia sama sekali tak berniat membaca pesan-pesan dari Miko. Langsung saja yang ditujunya adalah chat dari Imel yang hanya berbunyi,

[Tes]

Ia mengetik pesan di kolom chat tersebut dengan panjang lebar menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

Di paling bawah penjelasan, diakhirinya dengan kalimat tanya,

[Nah, kalo kamu yang di posisiku, langsung mutusin dia apa nggak? Pasti iya juga, kan?] Tak lupa dibubuhkannya emot marah.

Terkirim. Tanda centang hitam dua buah.

"Huuuuft, leganya ...," desah Jingga sembari meletakkan HP di meja dan menyandarkan punggungnya yang terasa amat pegal di sandaran kursi kayu dengan busa empuk itu.

Sungguh terlalu kalau sampai Imel masih membela Miko hanya karena alasan mereka bertetangga. Dia kan sesama wanita, harusnya tahu gimana sakitnya bila yang dicinta ternyata mendua di belakangnya, pikir Jingga dalam diam.

Melirik arloji dan menyadari sudah sisa sekitar lima belas menit lagi menuju jam masuk, ia bergegas membereskan bekalnya, memasukkannya kembali ke dalam tas dan beranjak ke Mushala dengan menenteng mukenah yang selalu ada di laci meja kerjanya.

Setelah selesai salat, ia kembali dan mendapati balasan chat dari Imel. Segera dibacanya pesan balasan tersebut yang berbunyi,

[Miko barusan cerita, kalo dia ketemu mantannya di mall tuh nggak sengaja.]

[Dia cuma ngobrol dan basa-basi nemenin itu cewek nyari entah apa yang mau dibeli di sana.]

[Cuma gitu doang, kok, Ngga]

Jingga berdecak kesal. Imel bener-bener gak peka. Dia nggak tahu masalah terbesarnya di mana. Dengan penuh emosi di tekannya tombol panggil. Ia benar-benar tidak bisa diam lagi. Semuanya harus jelas saat ini juga.

Beberapa detik setelah nada panggil, terdengar suara Imel di seberang,

"Iya, Ngga?"

"Gini, ya, Mel. Kamu belum paham titik persoalannya itu apa. Masalahnya tuh, dia bilang minta dimaklumin kalo pas jalan sama tu cewek karena dia cinta pertamanya!"

"Nah, gila apa! Emangnya yang punya cinta pertama dia doang? Aku juga ada. Tapi demi komitmen, masa lalu harus dikubur dalem-dalem kalau udah berani menjalin hubungan baru, iya, kan?"

"Dan aku nggak bisa kalau harus maklumin perselingkuhan nyata seperti itu. Jalan terbaik adalah putus."

Setelah mengomel pada Imel tanpa memberinya kesempatan menyela pembicaraan, Jingga langsung menekan tombol akhiri panggilan.

Tak berapa lama terdengar nada dering panggilan lagi dengan nama Miko di layar. Bolak balik ia menekan tombol reject tapi terus saja cowok itu menelepon sehingga ia mematikannya lagi dan kembali memasukkan HP ke tas.

"Ish, fokus job aja, Jingga! Jangan sampai si br*ngs*k itu bikin kacau kerjaan juga," gumam Jingga seorang diri sambil bersiap. Telah banyak karyawan yang masuk ke ruangan. Sesaat lagi bel tanda jam masuk akan berbunyi.

* * *

"Nah, itu dia Jingga pulang." Terdengar oleh Jingga ibunya berseru sedikit lantang. Ibunya yang bergamis batik rumahan dengan jilbab warna mocca itu tampak duduk di kursi teras bersama seorang cowok yang gak lain adalah Miko! Celana jeans model kempol warna army dan kemeja hitam lengan pendek serta tak lupa topi bertuliskan Urban Keith tampak pas di tubuhnya yang tinggi kurus dengan rambut cepak dan sedikit ikal. Khas penampilan casual Miko biasanya.

"Ah, sial." Seketika  Jingga menyesal sudah buru-buru pulang tadi. Sebenarnya dia diminta lembur olah sang Kepala Bagian tapi Jingga meminta izin pulang karena kepalanya terasa sedikit pening.

Saat memarkir motornya, ia baru tahu kalau motor Miko diletakkan di pojokan teras dekat toko. Pantesan tadi nggak kelihatan dari jalan, pikir Jingga. Kalau tadi melihat motor itu dari kejauhan, dia pasti memilih untuk mengurungkan niatnya pulang. Bertemu cowok edan itu bukan hal yang ia butuhkan sekarang.

“Jingga, ditunggu Nak Miko dari tadi loh. Kok HP kamu nggak bisa dihubungi katanya? Ibu coba barusan juga mati?"

Seperti biasa ibunya yang cerewet sudah membombardirnya dengan pertanyaan.

Setelah melepas helm dan menaruhnya di rak sudut teras, Jingga pun terpaksa menghampiri Miko agar ibunya tak curiga.

"Lowbat, Bu. Semalem lupa nge-charge," jawabnya beralasan kepada sang ibu sambil membungkuk mencium tangan.

"Duh, kami sampai cemas. Ya udah, ibu ke dalam dulu, ya. Nak Miko, ayo masuk ke ruang tamu," ucap beliau tersenyum ramah.

"Iya, Tante. Udah di sini aja enak," Miko mengangguk takzim. Kemudian melirik Jingga yang masih berdiri dan kini malah bersedekap dengan ekspresi yang entah.

"Ngga ...," Baru saja Miko membuka mulut, Jingga sudah melempar pandangan menusuknya. Matanya membulat dan memancarkan sorot amarah yang tanpa sedikit pun disembunyikan.

"Ngapain, sih, kamu pake ke sini segala?" Jingga memelototi cowok di hadapannya tanpa ampun. Kemarahannya semakin menjadi saat berhadapan dengan orangnya langsung. Serasa ingin ditamparnya saja Miko saat itu.

"Aku mau minta maaf, Jingga. Kamu salah paham," ucap Miko akhirnya.

"Salah paham gimana? Udah jelas semua. Aku nggak sudi cowokku jalan sama mantannya, mau dia cinta pertamanya atau bukan. Udah titik. Apa lagi yang salah, coba?"

"Ya udah, emang aku yang salah ngomong waktu itu, tapi ...,"

"Hah? Salah ngomong?" Jingga mendelik.

"Nggak, kamu nggak salah ngomong,  kok. Aku aja yang salah nilai kamu selama ini. Aku pikir kamu bisa menghargai komitmen sebuah hubungan. Ternyata aku salah besar!"

"Tolong maafin aku, Jingga. Aku janji nggak akan ngulangin lagi. Aku sudah terlanjur cinta sama kamu, Sayang. Aku nggak sanggup kalau kita putus,"

"Ah, masa'?"

"Bukannya kemarin kamu bilang dia cinta pertama yang gak gampang buat dilupain gitu aja?"

"Berarti hubungan kita selama ini gak berarti apa-apa buat kamu, kan?" Jingga mengomeli Miko sepuasnya.

"Ya bukan gitu maksud aku, Sayang, hubungan kita berarti banget lah. Aku udah beneran serius sama kamu!" Miko menjawab tegas.

"Serius apanya?! Serius mau selingkuhin aku? Ish, Big No Way!"

Tanpa sadar Jingga agak keras mengomel sehingga ia kemudian melongok ke dalam rumah, takut terdengar oleh ibunya.

"Aku nggak mau kita putus, Jingga. Aku masih mau bareng sama kamu," lirih Miko memelas.

Jingga tak mengacuhkan pandangan memohon dari Miko. Baginya, kesetiaan dalam sebuah hubungan adalah harga mati. Sama sekali tidak ada toleransi untuk itu.

"Harusnya kamu pikirin itu dulu sebelum memutuskan jalan sama mantan! Sekarang semuanya sudah terlambat!"

"Sebaiknya kamu pulang. Aku mau tidur, pusing!" pungkas Jingga tanpa memberi kesempatan lagi untuk Miko menyela pembicaraan. Ia segera beranjak ke pintu ruang tamu dan memegang engsel hendak menutupnya.

Miko menghela napas berat dan berdiri dari kursi teras. Jingga benar-benar tidak dapat dibujuk lagi. Gadis itu terlalu marah atas kejadian kemarin, pikirnya kalut.

"Oke, aku pulang dulu, ya, Sayang," Tanpa sadar, Miko berpamitan seperti kebiasaan mereka sebelumnya.

"Dan jangan pernah lagi panggil sayang!" sambil memberi peringatan terakhir itu, Jingga menutup pintu ruang tamu dengan sedikit kasar.

Semua sudah usai, pikir Jingga. Perpisahan adalah jalan terbenar saat sebuah komitmen dilanggar. Kata maaf saja sama sekali tak cukup menambal luka menganga akibat pedihnya pengkhianatan.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status