Share

Siapa Yang Gila?

   Seperti yang telah direncanakan sebelummlnya. Aku segera mungkin mencari bos di tempat kerjanya. Meminta izin cuti kerja, karena Aku tahu, aku masih membutuhkan pekerjaan itu. Malamnya, aku mengemas pakaian serta keperluan yang memang dia perlukan untuk dibawa pulang ke kampung halaman.

"Banyak juga ternyata," ujarku setelah selesai memasukkan segala keperluan yang dibutuhkan.

   Aku masih ragu malam itu. Apakah benar-benar akan mengajak Della atau tidak, mungkin jika posisi Della adalah laki-laki akan berbeda cerita. Dia perempuan, dan Aku tahu batas antara laki-laki dan perempuan. Wajar saja, aku memanglah terkenal sebagai laki-laki pendiam, dan awam dalam hal pergaulan.

Bergegas aju mengambil gadget milikku,

"Malam, Del," tulisku mengirim pesan via whattsapp.

   Lama sekali Della menjawab, sesekali aku menghidup matikan gadget canggih milikku. Mengharap balasan dari Della. 30 menit telah berlalu, namun tidak ada jawaban dari Della. Malah notifikasi grup semasa SMP saja yang meramaikan gadget miliknya.

"Gini amat ya nasib bujang, gadget boleh canggih, tapi notifikasi kok sepi kaya kuburan," gerutuku meratapi kesepian notifikasi pesan yang tersaji pada layar gadget milikku.

   Memang, gadget yang selalu aku idamkan dari masa sekolah kini sudah menjadi kenyataan. Tapi anehnya, aku tidak merasa puas. Bagaimana tidak? Jika dulu gadget jadul milikku sering lemot karena tidak bisa menerima pesan banyak masuk. Kini setelah mendapat gadget impian, malah berbalik realita. Gadget canggih, tapi pesan notifikasi nihil.

"Kampret emang!" batinku menggurutu sembari melemparkan badan diatas kasur.

Aku membuka aplikasi You Tube Music, dan mencari lagu yang kusukai.

Imagine Dragons,

   Kata kunci yang selalu dicari dalam platform aplikasi tersebut. Aku rasa, musik yang selalu aku putar, dapat menggugah mood yang sedang berantakan.

   Dengan begitu nikmatnya, aku mendengarkan lagu dengan earphone, meski aslinya juga tidak tahu artinya. Ditengah lagu yang sedang aku putar, ada notifikasi pesan masuk. Aku tidak langsung membukanya, pikirku saat itu, mungkin dari grup masa SMP. Setelah menyelesaikan tiga lagu, lekas menggapai gadget yang aku letakkan di samping kepala, bermaksut mengganti track playlist lagu yang didengar, malah terdapat notifikasi pesan dari Della. Sedikit kaget dibuat olehnya.

"Malam juga, Ad. Maaf baru bales, tadi habis minta izin sama ayah bunda kalau besok mau ikut kamu pulang kampung." Della membalas.

   Dag dig dug aku membaca pesan tersebut. Sebelumnya aku sudah mempersiapkan alasan agar Della tidak ikut, tapi malah tambah dibuat bingung dengan keadaan demikian.

"Aduh ... emang gila ya ini anak!" gumamku.

"Lantas bagaimana? Boleh?" segera aku membalas pesan Della.

"Ya boleh dong," tak berselang lama Della juga langsung menjawab.

"Duh, bagaimana ini? Masak mau bilang jangan ikut. Padahal Della juga sudah minta izin nyokap bokapnya. Mana dibolehin lagi!" Aku hanya menggaruk-garuk kepala padahal tidak ada rasa gatal sebenarnya.

"Weh, lu beneran mau ikut?" tanyaku.

"Lhah iya, dari kecil pengen banget aku jalan-jalan ke kampung, tapi Ayah Bunda nggak pernah ada waktu. Lha ini juga sekalian jadi kesempatan'kan?" Della lekas kembali menjawab.

   Dalam fikiranku kala itu semakin tidak karuan. Tidak enak rasanya ketika harus melarang Della untuk ikut pulang ke kampung halaman. Mengingat itu menjadi salah satu keinginan Della, juga barangkali mampu menjadi pelipur lara kemarin diputus hubungannya, setelah menaruh percaya untuk kedua kalinya.

   Kembali aku melemparkan badan diatas kasur. Menghela napas panjang, kemudian bangun mengambil bungkus rokok diatas meja, membakar satu batang dengan menghisap begitu dalam. Aku rasakan kenikmatan dan mampu sedikit menenangkan, sesekali aku memejamkan mata dengan cecar pertanyaan yang ada dalam angan. Calon istrinya Ad? Siapa itu Ad? Cantik banget deh. Widih belum genap 1 tahun udah bawa pulang calon istri!

   Pertanyaan-pertanyaan yang timbul sendiri dari angan jika aku benar pulang ke kampung halaman bersama Della.

Tidak terasa pula, aku telah membiarkan pesan dari Della 10 menit lamanya. Sampai Della kembali menghubunginya.

"Oiy Ad! Udah tidur lu ya? Gimana? Jadi'kan besok?" Della kembali mengirim pesan.

   Aku kembali dibuat gugup, bagaimana harus menjawab. Padahal aku sedang perang dengan pertanyaan yang aku bayangkan dalam khayal.

"Eh maaf, tadi kebelet ke kamar mandi lupa balas. Jadi Del, tapi pekerjaanmu gimana? Masak juga mau ngambil cuti?" Aku masih saja dipenuhi rasa keraguan untuk mengajak Della pulang ke kampung halaman.

"Helleh, itu mah gampang. Tau kan lu? Gua kerja karena apa? Karena gabut kalau siang dirumah sendirian, kerja juga buat have fun aja." Della membalas dengan begitu cepat.

"Busyeeett emang nih anak, anak Sultan emang. Dia bekerja dalam profit perusahaan dengan gaji besar menurutku, hanya dianggap mengisi kegabutan. Lha aku? Untuk mengejar impian." batinku.

"Ya ya anak sultan. Jadi ... besok, berangkat sekitar jam 8 setelah gue ambil izin di kantor." balasku akhirnya mengalah.

"Oke sip, gue mau packing dulu. Sebulan'kan ngambil cutinya?" Della kembali membalas dengan pertanyaan.

"Etdah, udah gile lu ya? Paling lama mungkin juga cuma 7 hari. Lama-lama bisa dipecat gue dari kerjaan," kembali aku membalas.

"Hahaha, ya mungkin aja ya kan?" Della menertawai pesan yang Della terima.

"Emang kagak waras lu ya, dah lah! Lekas tidur. Biar gak bangun kesiangan besok." Aku mengakhiri pesan dengan memerintahkan Della untuk tidur.

"Siaaapp Fuad, happy a nice dream. Jangan lupa baca doa ya. Biar beneran mimpi indah." Della juga mengakhiri pesan.

   Jujur saja, dibalik kegilaan yang diperlihatkan Della, aku sempat terbawa perasaan. Melihat emoticon senyum dengan pipi merah dan juga emoticon peluk yang dia pandang. Aku belum pernah merasakan hal demikian, dikirim dari perempuan yang notabenya juga dia menyembunyikan perasaan. Sesederhana demikian pun, tidak pernah aku dapat semasa dia mempunyai hubungan khusus dengan Chelsi.

   Dari kejadian ini pula aku dapat menyimpulkan, mungkin saja kala itu Chelsi datang, maksut hati mencari tempat singgah bukan sungguh. Akan tetapi Fuad juga salah mengartikan. Dan pada ujung-ujungnya berimbas perasaan yang merasa dilukai karena hanya dijadikan sebagai pelarian.

   Sungguh ironis sekali untukku dan semua yang telah merasakan, mungkin saja hal demikian terjadi hanya untuk menambah kedekatan sebuah hubungan pertemanan, tidak kurang atau tidak lebih. Tapi aku salah mengartikan, mengartikan serta mengaitkan semua hal dengan perasaan.

Sebenarnya juga sih, sah-sah saja. Tidak ada yang salah, tapi bagaimana pula jika hal demikian menjadikan penyebab sakit berkepanjangan? Kau kira itu sayang? Ternyata pelarian? Atau bahkan hanya dianggap tidak lebih sekadar hubungan pertemanan? Padahal kau sudah terlanjur larut dalam samudera perasaan?

Pesanku untukku juga untukmu,

Belajarlah untuk berteman tanpa melibatkan sebuah perasaan.

 Jangan mudah patah hanya karena sebuah perasaan, tetap tegar. Ingat, masih ada masa depan yang kau impikkan harus sesefera mungkin untuk diwujudkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status