Share

BAB 3

BAB 3

"Lalu, bagaimana jika saya melahirkan anak perempuan?" tanya Naura dengan suara serak akibat menangis. Dia memberanikan diri untuk bertanya.

Ferdi mengepalkan kedua tangannya, lalu menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Pernikahan ini hanya akan berakhir, hanya jika kamu memberi anak laki-laki kepada saya. Jika yang lahir anak perempuan, kamu boleh merawatnya sendiri. Tapi kamu tenang saja, karena saya akan memberikan biaya untuk hidup anak perempuan itu. Dengan catatan, dia hanya menjadi anak kamu saja, bukan anak saya."

Naura semakin terisak, mengerjapkan air matanya yang semakin deras mengalir. Hatinya bagai teriris mendengar ucapan Ferdi yang begitu tega dan dingin. Dia merasa seolah menjadi pion dalam permainan kejam yang tak bisa dia hindari.

“Ingat! Putrimu nanti tidak boleh tahu jika dia berasal dari benihku. Bahkan tidak ada seorang pun yang boleh tahu, kecuali keluarga kamu yang miskin itu!” tegas Ferdi.

Naura diam, tidak berniat menanggapi ucapan suaminya.

“Kamu tuli? Saya bicara dari tadi dan kamu hanya diam dan menangis. Dasar manusia gak berguna. Jika bukan karena saya ingin anak laki-laki, gak mungkin saya selera menyentuh wanita yang bukan istri saya,” ucap Ferdi sinis.

“Bukankah saya juga istri Tuan?” cicit Naura.

“Masih berani kamu menganggap dirimu istri saya?!” bentak Ferdi. Kini dia menghujamkan kuku-kuku tajamnya di wajah Naura.

Naura ingin berbicara, tapi dia kesulitan untuk itu. Kedua pipinya terasa perih. Apa lagi ditambah dengan tetesan air mata yang meresap ke lukanya.

‘Ya Allah, sakit sekali,’ batin Naura.

Sesakit apa pun yang Naura rasakan, dia tidak akan menyesali langkah yang diambil. Dia ikhlas menjalani semua ini demi ayahnya. Naura banyak berdoa agar segera diberi keturunan laki-laki. Setelah itu dia bisa kembali ke pelukan orang tuanya.

Ferdi melepaskan Naura dan menghempaskan ke kasur.

“Hanya Zia yang saya akui sebagai istri. Jangan bermimpi jika saya akan menganggap kamu istri, dasar orang miskin!” hardik Ferdi.

Setelah itu, Ferdi meninggalkan apartemen. Dia membanting setiap barang yang dia temui di depannya.

Naura duduk di tepi tempat tidurnya, mengatur napasnya dan mengusap air mata yang menetes di pipinya. Langkah kakinya terasa berat saat dia menuju kamar mandi untuk membersihkan mandi junub dan melaksanakan sholat maghrib yang dijamak dengan isya.

Cahaya lampu kamar mandi yang redup menciptakan suasana yang suram, mencerminkan perasaan Naura yang terluka. Setelah selesai sholat, dia menarik napas dalam-dalam.

Dalam diam, Naura berjalan menuju meja makan. Di sana, hidangan makan malam telah tersaji dengan rapi, mencerminkan kepedulian Laila terhadap Naura meskipun situasinya yang sulit. Meja makan itu terbuat dari kayu jati yang kokoh, permukaannya dipenuhi dengan berbagai macam hidangan yang mengundang selera.

Sejenak, Naura merasa sedikit lebih tenang, menyadari bahwa setidaknya ada seseorang yang masih peduli dan berada di sisinya.

"Mari makan, nona!" ajak Laila sambil meletakkan segelas jeruk hangat di samping piring Naura. "Ini jeruk hangatnya."

"Terima kasih, La. Duduklah, kita makan sama-sama!" seru Naura.

Laila mengangguk. Dia duduk di seberang meja Naura. Keduanya makan dalam diam. Hanya sesekali terdengar denting sendok yang beradu dengan piring.

Selesai makan Naura berdiri, membantu membereskan piring di meja.

"Biar saya saja, Nona!" seru Laila.

"La, aku bosan. Biarkan aku yang melakukannya. Kamu tolong bereskan kamarku saja!" sahut Naura. Naura malas membereskan kamar usai berhubungan dengan suaminya. Membuat dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Laila mengangguk. "Baik, Nona."

Dia meninggalkan Naura beserta piring kotornya. Dan menuju kamar Naura.

Dengan langkah pasti, Laila mulai mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai. Ia merasa cemburu saat memikirkan bagaimana sepasang suami istri itu menikmati keintiman yang tak pernah ia rasakan.

"Kapan ya, aku ngerasain gituan sama suami?" gumam Laila sambil memunguti pakaian satu persatu.

"Lagian mana ada yang mau sama wanita jelek kayak aku," keluh Laila sambil menggelengkan kepala. "Nona Naura cantik, makanya Tuan Ferdi mau menikah dengannya. Lha, aku? Hahaha."

Laila mengganti sprei dan selimut dengan mengambilnya di lemari. Kemudian membawa pakaian serta sprei kotor ke luar. Besok akan dia cuci.

"Sudah, La?" tanya Naura yang melihat Laila keluar dari kamarnya.

"Sudah, nona. Silakan beristirahat!" sahut Laila ramah.

"Terima kasih, ya."

Naura melangkah masuk ke kamarnya yang terlihat sangat rapi. Dengan hati-hati, ia melepas pakaiannya yang telah usang dan menggantinya dengan busana yang lebih nyaman. Setelah itu, dia membaringkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang empuknya, menikmati sejenak kedamaian sebelum kembali larut dalam kegelisahan hatinya.

Sambil menatap langit-langit kamarnya, pikiran Naura kembali melayang ke keputusan yang telah mengubah hidupnya. Dia tidak pernah membayangkan akan menikah begitu cepat, terutama dengan Ferdi. Bagaimana mungkin, sementara dirinya masih berusia sangat muda dan sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikannya? Namun, keadaan memaksa, dan Ferdi tidak memberinya kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya yang tinggal enam bulan lagi untuk lulus.

"Pernikahan apa ini? Apa bedanya aku sama wanita malam? Haha," gumam Naura sambil tertawa pahit. "Iya, sama saja. Aku pun tak lebih dari itu." Air mata perlahan mengalir di pipinya, mencampurkan rasa sakit dan kekecewaan yang terpendam dalam hati.

"Kenapa? Tidak suka? Ya sudah, pergi saja dari sini! Saya juga gak butuh wanita yang suka mengeluh," ucap Ferdi yang tiba-tiba saja sudah ada di dalam kamar Naura.

"Tu-Tuan," ucap Naura gugup.

“Kemasi pakaian kamu dan pergilah!” bentak Ferdi. “Setelah ini, saya akan mengirim ayah kamu ke neraka!”

Naura ketakutan, tubuhnya berkeringat dingin. Dia tidak tahu jika suaminya akan kembali lagi.

"Ma-maaf, Tuan. Tolong ampuni saya. Saya janji gak akan berkata seperti itu lagi," pinta Naura dengan lelehan air mata di kedua pipi mulusnya. Meski dia hidup dengan pas-pasan, tapi kulit wajahnya putih bersih, tanpa skincare apa pun.

Tiba-tiba saja, Ferdi mengambil air di nakas dan menyiramkan ke wajah Naura.

"Astaghfirullah," ucap Naura kaget dengan apa yang dilakukan suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status