Share

Chapter 3

Beberapa pasang mata menatap wanita dengan t-shirt putih yang di balut jaket bernilai ratusan dollar itu saat memasuki area kampus. Bukan karena kagum seperti biasanya. Maklum Rey adalah salah satu mahasiswa cukup terkenal di kampus. Bukan hanya terkenal cantik dengan pakaian mahal yang selalu membalut tubuh indahnya. Namun juga Rey terkenal sebagai gadis bar-bar dengan emosi tak terkontrol.

Menjadi pusat perhatian sudah biasa untuk Rey. Tapi kali ini ada yang berbeda. Tak hanya menatap, beberapa ada yang berbisik membicarakannya.

"Bukankah orang tuanya baru saja meninggal?"

"Kau benar. Dasar wanita tak berperasaan!"

"Aku dengar dia memang membenci orang tuanya."

"Tapi haruskah sampai seperti itu?"

"Dia sungguh sangat mengerikan."

Rey terus melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas. Saat sampai di sana pun pandangan kaget serta bisik-bisik tentang dirinya masih dia terima. Apakah seaneh itu Rey datang ke kampus sehari setelah kematian orang tuanya? Seperti dia baru saja melakukan kejahatan besar.

Wanita itu menghela napas pelan lalu melanjutkan langkahnya menuju mejanya yang berada di pojok ruangan itu. Memasang earphone agar tak lagi mendengar ocehan dari mereka.

Rey meletakkan kepalanya di atas meja sambil melihat keluar jendela.

"Wanita tak berperasaan," gumam Rey pelan. "Kurasa itu julukan yang memang cocok untukku," gumannya lagi diakhiri dengan sebuah kekehan miris.

Rey tidak tahu sudah berapa lama ia tidur di sana. Sungguh dia merasa sangat lelah. Dia bangun saat mejanya diketuk seseorang. Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, Rey mendongak melihat siapa yang telah mengganggu tidurnya.

"Hai, Rey!" sapa wanita itu melambaikan tangannya.

"Apa yang kalian inginkan?" tanya Rey dengan nada ketus.

"Jangan marah begitu, Rey," celetuk yang lainnya.

"Ck! Cepat katakan apa yang kalian inginkan!" kata Rey mulai jengah. Jujur saja dia masih ingin tidur sekarang.

Ketiga wanita itu; Sinta, Farah dan Indah, saling memandang dengan senyuman yang menurut Rey sangat aneh.

Sinta duduk di samping Rey seraya merangkulnya. "Kami tahu kau pasti sangat kesepian," kata wanita itu.

"Lalu?"

"Kami ingin mengajakmu untuk bersenang-senang. Bagaimana?" tanya Farah dengan mata berbinar.

"Ikut saja, Rey. Lagipula sekarang kau bebas. Iya 'kan teman-teman?" tambah Indah yang langsung diangguki setuju oleh kedua temannya.

Bebas.

Rey bahkan tidak tahu definisi bebas dalam hidupnya. Sejak ia sudah legal untuk masuk ke dalam kelab malam, setidaknya sekali seminggu dia akan pergi bersama ketiga wanita itu. Bukankah bisa dikatakan jika Rey memang sudah bebas sejak dulu? Entahlah. Wanita dengan mata bulat itu tidak ingin memikirkannya.

"Kurasa kalian benar. Aku akan ikut," jawab Rey membuat ketiga wanita itu bersorak gembira.

"Baiklah. Aku akan menjemputmu pukul delapan malam nanti. See you!" pamit Sinta diikuti kedua temannya meninggalkan Rey yang sepertinya akan melanjutkan acara tidurnya.

***

Pakaian ketat berwarna hitam dengan potongan terbuka di dada menjadi pilihan Rey. Gaun itu pun hanya menutupi seperdua pahanya. Tak lupa ia mengenakan heels berwarna senada membuat penampilannya semakin sempurna. Atau justru sangat nakal. Rey lebih suka kata yang kedua. Entah apa yang merasuki gadis itu. Baju yang dia beli beberapa bulan lalu dan dia sudah mengatakan tidak akan mengenakannya sampai kapan pun kini justru membalut tubuhnya dengan sempurna.

Make up tipis menghiasi wajah cantiknya. Sekarang hanya tinggal menunggu Sinta dan teman-temannya datang.

Panjang umur. Suara klakson dari mobil yang dikendarai ketiga gadis itu sudah terparkir dengan epik di depan rumah Rey. Wanita itu buru-buru keluar untuk menemui mereka.

"Wow! Apakah ini sungguh Reyna?" tanya Farah terlihat begitu takjub.

"Menurutmu?" tanya Rey berpose sok cantik di depan mereka.

"Kau terlihat sangat seksi, Rey," kata Sinta.

"Kau benar sekali, Sinta. Aku sampai pangling," tambah Farah.

Jujur saja ini pertama kalinya mereka melihat Rey begitu berani pada pakaiannya. Selama ini mereka hanya melihat Rey dengan balutan pakaian casual bermerek dengan harga mahal, bahkan saat mereka ke kelab namun malam ini, mereka sebagai wanita saja begitu takjub. Ternyata Rey bisa mengenakan pakaian yang menunjukkan tubuhnya dengan sempurna.

"Tolong hentikan itu! Aku tidak akan mau jika kalian sampai jatuh cinta padaku," canda Rey membuat mereka semua tertawa.

"Ayo cepat masuk! Pesta akan segera dimulai," ucap Farah membuka pintu agar Rey bisa masuk.

Mobil itu pun melaju dengan kecepatan sedang membela jalan raya Alatha yang tidak begitu padat.

Rey disambut dengan suara musik yang terasa memekakkan telinga. Bau alkohol serta rokok pun menyeruak begitu kuat.

"Siap untuk berpesta?" tanya Sinta pada teman-temannya.

"Tentu saja!!!" teriak Farah dan Indah bersamaan.

Rey hanya menatap datar ketiga temannya yang sudah mulai masuk ke dalam kerumunan. Wanita itu lebih memilih untuk minum dulu. Bukan alkohol karena Rey sendiri punya toleransi rendah pada minuman yang terasa membakar tenggorokan itu.

"Tolong berikan aku segelas soda!" ujar Rey sedikit meninggikan suaranya karena suara musik yang sangat keras.

"Aku juga!"

Rey menoleh. Seorang pria dengan kemeja hitam dan jeans biru duduk di samping Rey.

"Hai!" sapa pria itu.

Rey tersenyum tipis. "Hai!"

"Adit," kata pria itu mengulurkan tangannya.

"Reyna," balas Rey menjabat tangan pria itu.

"Tidak ikut berpesta?" tanya Adit tak ingin pembicaraan mereka hanya berakhir dengan perkenalan.

"Tidak."

"Kenapa?"

"Hanya tidak ingin," jawab Rey pelan.

"Ada dua tipe orang yang datang kemari. Tipe pertama mereka memang ingin bersenang-senang. Tipe kedua karena tak ingin merasa kesepian," kata Adit membuat Rey menatapnya.

"Menurutmu aku tipe kedua?"

Adit menggidikkan bahunya. "Entahlah. Hanya kau yang tahu."

"Ck!" Rey mendengus pelan. Sial pria itu membuatnya kesal saja. Apakah wajah Rey begitu menyedihkan hingga pria itu bisa menebak dengan benar?

"Silakan menikmati!" ujar bartender meletakkan dua gelas soda. Dengan cepat Rey meneguk minuman itu hingga setengahnya.

"Hei! Pelan-pelan saja," kata Adit.

Rey meletakkan gelasnya dengan kasar di atas meja. Menoleh menatap Adit. Pria itu cukup tampan.

"Ingin berpesta denganku?" tanya Rey.

Adit yang seakan diberi lampu hijau mengulurkan tangannya. "Tentu. Aku tidak mungkin bisa menolak ajakan dari gadis secantik dirimu."

Rey tersenyum manis mengikuti langkah Adit menuju lantai dansa. Tubuh kecil itu meliuk dengan bebas di depan Adit. Tak lupa wanita itu juga tersenyum nakal. Tak sampai di situ, Rey juga sesekali memberikan belaian erotis yang membuat tubuh Adit bergetar.

Sial! Gerakannya membuatku tegang. Batin Adit merasa panas pada tubuhnya.

Adit mendekatkan tubuhnya ke arah Rey. Tujuan utamanya adalah bibir ranum wanita itu. Namun dengan cepat Rey menghindar.

"Kenapa?" tanya Adit.

"Kau tidak akan puas jika kita lakukan di sini," jawab Rey berbisik intens.

"Haruskah kita menyewa hotel?"

Wow! Penampilan pria itu bisa saja terlihat seperti pria baik-baik tapi ternyata dia tetaplah pria normal. Seorang pria yang tidak mungkin menolak ajakan seorang wanita. Apalagi berkaitan dengan saling memuaskan di atas ranjang.

"Ikut denganku!" kata Rey berjalan lebih dulu menjauhi area kerumunan.

Mereka sekarang berada di lorong ruangan kamar VIP. Adit yang memang sudah tidak sabar untuk menjamah tubuh Rey langsung menghimpit tubuh kecil itu ke dinding.

"Hei! Pelan-pelan saja," bisik Rey mengulang ucapan Adit tadi.

Adit terkekeh. "Kau sangat menggoda, Sayang. Mana mungkin aku bisa menahannya?"

Rey membelai wajah Adit yang terasa sedikit kasar karena bulu-bulu halus yang tumbuh di sana.

"Kalau begitu ... ayo kita lakukan."

Hanya berselang tiga detik bibir itu akhirnya saling bertautan dengan panas. Rey benar-benar sudah tidak peduli lagi jika harus melepas apa yang selama ini dia jaga pada pria asing itu. Yang dia inginkan hanya melepas segala beban yang ada dalam hati dan pikirannya dengan cara paling nikmat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status