Share

Terpaksa Menikah

Saat menjelang sore, Zidan dan keluarganya pamit pulang dan pertemuan mereka selanjutnya adalah di hari pernikahan antara Zidan dan Salwa. “Dari mulai sekarang kamu izin cuti kuliah dan kamu persiapkan semua keperluan kamu untuk menikah. Kamu bisa langsung ke butik untuk pesan baju pengantin dan baju untuk keluarga saat resepsi nanti,” ucap pak Ahmad sambil menatap Salwa yang dari tadi hanya diam.

“Kenapa Abi kok bisa mengatakan dan menyetujui pernikahan dua Minggu lagi? Aku bahkan baru kenal dengannya. Apa Abi punya jaminan kalau dia itu orang baik dan aku akan mencintai dia?” tanya Salwa yang akhirnya angkat bicara. 

“Abi ini adalah ayah kamu, orang tua kamu, dan Abi adalah laki-laki yang sangat mencintai kamu bahkan sebelum kamu lahir ke dunia ini. Abi tentunya akan memberikan yang terbaik buat kamu dan masa depan kamu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir karena dia itu orang baik dan untuk urusan cinta atau tidak cinta, nanti juga akan datang sendiri dalam hati kamu setelah kalian menikah,” jawab pak Ahmad sambil beranjak pergi. 

Mendengar jawaban ayahnya, Salwa hanya bisa meredam setiap rasa kesalnya, rasa takutnya, rasa khawatirnya, dan rasa sedihnya sendirian. Dia hanya bisa mengatakan sabar dan tenanglah pada dirinya untuk membuat semuanya terlihat baik-baik saja. Dua minggu ternyata berlalu dengan sangat cepat dan kini tibalah hari di mana, Salwa dan Zidan akan melangsungkan pernikahan. 

Di kamar yang bagus karena di hiasi banyak bunga dan di sulap menjadi kamar pengantin, ada seorang gadis cantik dengan balutan gaun pengantin. Wajahnya yang kini sudah di rias dengan sangat cantik seolah membuat semua yang menatapnya sangat terpesona. 

“Pengantin wanitanya bisa ikut ke luar kamar dulu dan duduk di tempat yang sudah disediakan. Soalnya pengantin laki-laki dan keluarganya sudah datang,” ucap saudara sepupu Salwa. 

Mendengar hal itu Salwa langsung menoleh ke arah jam dinding. ‘Jam sepuluh. Ya Allah, ujian yang Engkau berikan untuk kisah cintaku di dunia ini akan segera di mulai. Tegarkan diriku supaya bisa menerima semua ketetapan Engkau ini. Sungguh ini adalah hal yang luar bisa mengguncang kehidupanku,' tutur Salwa dalam hatinya. 

Setelah itu Salwa menuju ke ruangan yang sudah di sediakan untuk ijab kabul. Tempat wanita dan laki-laki di pisahkan dan Salwa berada di sebelah kiri dengan di halang gorden supaya tidak bertemu dengan Zidan sebelum ijab kabul selesai.

“Saya terima nikah dan kawinnya Salwa binti bapak Haji. Ahmad dengan maskawin tersebut di bayar tunai.” Ucapan itu lantang di ucapkan pria yang bermakna Zidan di hadapan semua orang. 

“Bagaimana para saksi saksi, sah?” timpal seorang penghulu sambil melirik semua orang.

“SAH!” Jawaban serentak dari semua orang yang membuat hati Salwa gemetar hingga air matanya langsung keluar. 

Terlihat raut wajah penuh dengan ketegangan di antara wajah Zidan dan juga Salwa. Namun, wajah Salwa lebih cenderung menampakkan rasa sedihnya dan juga terlihat sangat terpaksa dengan pernikahan itu. 

“Untuk pengantin perempuannya bisa di bawa ke sini. Kita pertemukan mereka yang sudah sah di mata hukum dan agama ini,” ucap pembawa acara sambil tersenyum. 

Setelah itu Salwa melangkah menuju tempat Zidan berada. Mereka kini saling berhadapan dan beradu pandang namun, tidak ada senyum kebahagiaan. Tiba-tiba Zidan menyodorkan tangannya sambil tersenyum tipis pada Salwa. Sambutan tangan Salwa beserta tubuhnya yang merengkuh dan kepalanya kini menyentuh punggung tangan suaminya. Terdengar Zidan membacakan doa yang panjang sambil memegang kepalanya Salwa, tetapi saat Zidan mau lebih dekat dengan Salwa untuk mencium keningnya, Salwa langsung memberikan isyarat padanya dengan menggelengkan kepalanya. Isyarat itu dipahami oleh Zidan yang langsung duduk di kursi pelaminan lebih dulu. 

Akhirnya acara itu selesai dan malam menyapa dua pengantin baru itu. “Sekarang kita sudah menjadi suami istri, tetapi aku belum bisa mencintai kamu dan aku juga tahu kalau kamu juga belum bisa mencintai aku. Dari itu aku akan tidur terpisah dari kamu, tetapi kamu tenang saja karena nafkah lahiriah berupa harta untuk mencukupi kebutuhan kamu akan aku penuhi. Aku tidak akan membuat kamu sengsara dan kekurangan,” ujar Zidan membuka pembicaraan. 

“Terima kasih. Apakah Mas tahu apa yang menyebabkan orang tua kita memaksa kita untuk menikah?” tanya Salwa sambil menatap Zidan yang sedang membuka jas hitamnya. 

“Tidak. Lagian kalaupun kita tahu apa penyebabnya atau alasannya, kita juga tidak akan bisa menggantikan takdir ini. Anggap saja ini takdir yang Allah buat untuk membuat kita taat pada-Nya.”

“Aku juga tahu akan hal itu, tetapi rasanya ini seperti mimpi. Aku bahkan tidak tahu Mas sebelumnya dan begitu juga dengan Mas. Aku tahu kalau pernikahan kita ini hanya pernikahan di atas kertas saja. Aku juga tidak tahu sampai kapan kita bisa bersama.”

“Aku hanya menikah satu kali seumur hidup dan kamu adalah istri pertama dan terakhir aku. Kita akan bersama selamanya.”

“Tidak akan mungkin, Mas. Kita tidak mungkin bersama hingga ajal yang memisahkan kita dengan keadaan kita yang seperti ini. Kita tidak saling mencintai dan kamu juga enggan untuk menyentuh aku. Aku tidak mungkin hanya hidup seperti bayangan kamu saja.”

“Bukan tidak mencintai dan tidak mau menyentuh kamu, tetapi kita baru menikah dadakan jadinya aku ataupun kamu butuh waktu untuk itu semua.”

Mendengar hal itu, Salwa hanya terdiam dan pamit untuk ke kamar mandi. “Aku tidur di sofa, ya. Kamu di tempat tidur saja. Oh iya satu hal lagi yang harus kamu ingat. Kamu jangan pernah bersikap seperti bukan istriku di depan orang lain. Kita bersikap selayaknya pengantin baru jika di hadapan orang lain, apalagi orang tua kita. Akan tetapi, kalau kita berdua seperti ini, kita bisa kembali seperti orang asing lagi. Kamu paham, kan?” ucap Zidan saat mereka siap untuk istirahat. 

“Aku sangat paham, Mas,” jawab Salwa sambil berbaring. 

Seketika air mata Salwa langsung berjatuhan membasahi pipi dengan sangat deras. ‘Bukan ini yang aku inginkan, Ya Allah. Bukan pernikahan seperti ini yang aku impikan. Kenapa aku bahkan merasa asing ketika aku bersama dengan suamiku sendiri? Aku tidak mampu menjalankan hubungan ini dengan kepalsuan seperti ini,' tutur Salwa dalam hatinya dengan mulutnya yang dia sumpal dengan selimut supaya tidak menimbulkan suara. 

Satu malam itu, Salwa sama sekali tidak tidur. Dia tidak bisa membayangkan kalau seumur hidup dia harus bersama dengan suaminya yang sangat bersikap dingin padanya. Saat jam dua pagi, Salwa telah bersujud dan bersimpuh sambil menangis di hadapan Allah SWT di atas sajadah yang telah terhampar menghadap kiblat, sedangkan Zidan masih tidur dengan sangat nyenyak. ‘Hamba tidak bisa terus berada dalam sangkar pernikahan ini, Ya Allah. Aku mohon berikan hamba-Mu ini jalan keluar. Kuatkanlah keimanan dan ketakwaan hamba, Ya Allah,' ucap Salwa berulang kali dalam sujudnya sambil diiringi dengan tangisan yang menjadi-jadi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status