Share

Mengenang Lagu Hymne Guru

Mengenang Lagu Hymne Guru

Sepanjang liburan kenaikan kelas selama dua minggu, aku bermain bersama teman-teman di rumah. Bersama Selamet, Kokom, dan Yuni, Ulum. Mereka tetangga sebelah rumahku. Di belakang rumah adalah pekarangan yang masih tertanam pohon pisang dan tanaman mangkuk. Aku mendirikan gubuk, kayu kutancapkan ke dalam tanah dengan kokoh.

Menerapkan karung beras bekas sebagai lapisan dinding. Daun pisang yang kering kujadikan atap gubuk. Sempurna! Tinggal mencari alas duduk untuk lantainya. Aku kembali ke rumah, mencari tikar atau karung bekas.

“Nyari apa to, Nduk?”

“Tikarnya dimana, Mak?”

“Buat apa?”

Aku menggaruk kepala, lalu membuang napas pelan sambil berkata, “Buat alas lantai di gubuk buatanku, Mak.”

“Jangan pakai tikar! Di gudang samping rumah ada karung beras bekas, pakai saja karungnya, setelah itu dibakar sama sampah-sampah yang ada, ya!” tukas emak lalu kembali ke dapur, mengepulkan asap seperti biasanya.

Kutemukan beberapa lembar karung bekas yang kelihatannya masih lumayan layak. Kugunting menjadi dua bagian yang tidak terpisah. Aku tidak perlu mengambil tikar yang masih layak terpakai namun justru kujadikan sebagai alas gubuk mainanku. Sempurna! Seperti biasa, imajinasiku mengembara dimana aku berdiri anggun di dalam rumah pribadi yang simple namun tetap rapi bersih dan asri.

“Sitiiii!!” Aku tersadar kembali dari lamunanku.

“Eh iya Kom, ada apa?”

“Aku ngantuk nih! Mainnya udah ya, Ti. Lanjutin besok ya!” serunya sambil mengucek matanya yang mengeluarkan cairang bening.

Aku mengangguk pelan. Mengikuti langkahnya yang menampakkan kelelahan. Sepanjang liburan kuhabiskan waktu yang tersisa dengan bermain, menonton tv, tidur siang. Begitu seterusnya hingga tanpa sadar liburan sekolah usai. Saatnya menyiapkan keperluan sekolah yang baru, terutama buku tulis untuk mata pelajaran yang baru.

***

Kami, kelas lima SD 5 Karangrowo menyanyikan lagu yang tidak jelas kumengerti. Anak laki-laki yang terkenal dengan kebadungannya, Roy Cs termasuk Selamet di dalamnya, menjadikan meja dan kursi sebagai alat musik. Sangat gaduh, namun menyenangkan. Sedangkan anak cewek bercanda, mengobrol ngalor-ngidul, membahas film favorit mereka. Ayuk kulihat sedang menuliskan sesuatu di dalam buku.

“Lagi ngapain sih, Ayuk?” Aku bertanya lalu duduk disampingnya.

“Nih baca!” ucapnya sambil menyodorkan buku yang tadi ia tulis.

Sebait puisi untuk ibu.

Judul: Ibu,

Aku memelukmu dari bayangku di sini

Mengecup bayang kakimu yang renta

Kulitmu penuh luka

Bentuk kasih sayangmu padaku, mencari nafkah

Ibu,

Aku memelukmu dari bayangku di sini

Mematuhi perintah serta ajakanmu

Airmatamu sangat berharga jika menetes

Cinta kasihmu tak mampu kubalas maksimal

Ibu,

Kulantunkan nyanyian untuk ibu

Bersimpuh dipangkuanmu

Menimangku merayuku demi aku

Demi menyuapiku sesuap nasi

Ibu,

Matamu semakin menampakkan kepiluan

Jasamu begitu besar

Merangkulku saat sedih

Mengusap airmataku saat sakit

Kudus, 12 Agustus 2017

Aku memperagakan intonasi puisi karya Ayuk layaknya seorang penyair Chairil Anwar, kesayanganku. Aku mengenalnya melalui buku paket bahasa Indonesia. Guru kesyanganku, Pak Kasmirin yang telah mengajari kami untuk memahami ilmu baru. Sejak kecil, sebelum memasuk usia sekolah ayahku memang sering membawakan buku-buku bekas yang ditemukan di gudang sekolah. Ia memberikan buku itu kepadaku dengan harapan aku bisa membaca dengan baik.

Ayuk yang sedari tadi memperhatikan tingkah konyolku terbahak-bahak. Perutnya sampai mulas, katanya. Kami tertawa bersama. Aku mengarahkan pandangan ke arah Kalim. Ia sedang mengobrol sesuatu bersama Arik si gadis berambut keriting yang selalu tergerai.

“Ayuk, kita gabung yuk sama mereka!” Aku mengarahkan telunjuk ke arah Kalim.

Wali kelas lima, pak Bakir yang berpostur kurus, pendek dengan kacamata yang selalu menjadi ciri khasnya. Celananya yang seperti kedodoran, membuatnya selalu memperbaiki dan menaikkannya di atas pinggang. Guruku yang satu ini memang berwajah galak, namun saat pagi bertemu, beliau selalu menyapa kami. Aku yang masih terbilang anak baru, belum terlalu mengenal watak dan karakter guru-guru di sini. Aku hanya yakin, pengajar di sekolah ini sangat lembut namun tetap tegas.

“Ada pak Bakir!” teriak salah salah satu temanku yang melihatnya dari dalam jendela kelas.

Kami langsung duduk di tempat masing-masing. Batang kayu yang berukuran sekitar setengah meter, dimasukkan kembali ke dalam laci meja. Aku yang ketakutan, mengeluarkan buku tulis dari dalam tas. Beliau memasuki ruangan dengan wajah yang menyedihkan. Seolah belum kenyang oleh sarapan.

***

“Anak-anak, bapak ingin menyampaikan kabar bahagia sekaligus sedih. Ngomong-ngomong enaknya kabar yang mana dulu nih?” Pak Bakir memberikan pilihan kepada kami.

“Kabar gembira aja, Pak!” Salah satu temanku menyahut dengan lantang.

“Kabar gembiranya, Alhamdulillah Pak Kasmirin diterima ngajar di daerahnya.”

Deg! Aku terkejut mendengar berita itu. Guru kesayangan kami akan meninggalkan sekolah ini.

“Yaaah itu sih berita sedih, Pak!” Roy menyahut bagai petir yang menyambar pepohonan.

Siswi perempuan, mereka berbisisk-bisik. Nyaris telingaku menangkap, Arik mengeluhkan tentang kepergian pak Kasmirin dari sekolah ini. Aku menunduk lesu. Mengenang semasa kelas empat saat mengajar kami dengan penuh kesabaran. Menyayangi kami selayaknya anaknya sendiri.

“Sudah dulu ya anak-anak, saya ke kantor.”

Seberapa kuat aku menahannya, namun air mata tetap mengurai. Deras. Ku katakan kepada Ayuk dan Kalim bahwa aku masih tidak mempercayai perpisahan ini. Mungkin benar istilah mereka, dimana ada pertemuan pasti akan berpisah. Tidak! Baktiku kepada guru belum tercapai dengan pencapaian prestasiku.

“Assalamu’alaikum,” ucapan salam dari beliau membuat kami mematung sejenak.

“Wa’alaikumsalam.” Serentak kami menjawab salam beliau.

Seketika hening.

“Anak-anak, sebelumnya saya memohon maaf kepada kalian apabila selama mengajar di kelas empat ada salah kata dan sikap yang disengaja maupun tidak. Alhamdulillah saya sudah dipindah di sekolah daerah bapak. Jadi antara tempat kerja dengan rumah, jaraknya dekat. Ya bisa selalu dekat juga sama keluarga. Hahahah,” tawa kami pecah seketika mendengat gelak tawa beliau. “Pesan bapak hanya satu, teruslah belajar dengan bersungguh-sungguh dan mencapai prestasi. Kelak saat kalian sudah dewasa akan menuai kesungguhan kalian dalam belajar selama ini. Teruslah meneruskan pendidikan sampai ke jenjang hingga tinggi. Hingga tiba saatnya kalian yang membangun bangsa ini, Indonesia. Bapak doakan pula semoga kalian berhasil mencapai cita-cita yang kalian inginkan. Semoga tetap dilindungi Allah SWT dalam setiap perjalanan kalian untuk meraih cita-cita. Dan jangan lupa selalu berbakti kepada kedua orangtua. Bapak menyayangi kalian semua.” Usai mengucapkan salam penutup, langkahnya lalu menghilang.

Kalim yang sedari tadi diam, kini matanya memerah. Ia menuturkan kalimat-kalimat kenangan bersama pak Kasmirin. Kami bertiga lantas histeris. Diikuti oleh teman-teman perempuan lainnya, anak-anak cowok kembali memainkan musik dengan memukul-mukul meja dengan ranting. Kudengar suara Selamet melantunkan nyanyian “Hymne Guru” sangat keras.

Terpujilah wahai engkau bapak ibu guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Wahai engkau ibu bapak guru

 Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Engkau laksana cahaya bangsa dalam kegelapan

Namamu s’lalu terukir di dalam hatiku

Engkau laksana pahlawan bangsa

Tanpa tanda jasa

Aku serta siswi lainnya semakin histeris meresapi lagu itu. Walau aku sendiri tidak begitu mengetahui maknanya, tetapi syair dibait terakhir “Engkau laksana pahlawan bangsa, Tanpa tanda jasa”. Ya, guruku pak Kasmirin memang pantas disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Karena jasanya kami mampu membaca, berhitung dan memiliki banyak ilmu pengetahuan yang baru.

***

Pada saat jam mata pelajaran usai merupakan detik-detik perpisahan yang terakhir dengan guru kesayangan kami. Efi gadis berambut keriting yang selalu dikuncir kuda, menangis sangat histeris. Ia terbatuk-batuk sampai dengan posisi miring menyandarkan kepalanya di atas meja. Beberapa anak laki-laki masih memainkan music dengan memukul-mukul meja dan bangku. Masih melantunkan “Hymne Guru” yang diulang-ulang.

Kalim dan Ayuk masih histeris. Sedangkan aku menahan tangisan yang tidak bisa kubendung. Aku, Ayuk dan Kalim berpelukan sejenak. Kalim lalu mengambil sebuah buku dan polpen dari dalam tasnya. Menuliskan sesuatu.

Detik-detik perpisahan yang terakhir, disaat jam mata pelajaran usai. Efi, salah satu temanku menangis histeris sampai-sampai ia batuk. Kalim, salah satu sahabatku meneteskan air mata pula. Sampai akhirnya Kalim memberikan sebuah kenang-kenangan yang berupa sepucuk surat.

“Ka-mu ngapain, Lim?” tanyaku masih sesengukan.

“Rahasia.” Ia terus menulis dengan suara isak tangis yang masih keras. “Selesai!”

“Kalim, pak Kasmirin bakal pin-dah … hiks. Hiks. Hiks.” Ayuk memelukku kembali.

Ia melipat kertas yang telah dituliskan sesuatu itu. Aku terus bertanya tentang isinya, ia tidak pernah memberitahu kepada kami. Lagi, untuk yang terakhir kalinya sosok berbadan gemuk dan berkumis tebal itu memasuki ruang kelas. Guru kami, pak Kasmirin yang peyayang. Semua murid laku-laki mengubah posisi duduknya menjadi tenang dan rapi.

Aku menyeka airmata yang masih menetes. Perlahan kudengar suara tangisan Efi mulai mereda. Ia hanya sesengukan. Diikuti teman-teman perempuan lainnya, Ayuk hanya menutup wajahnya, menghapus tetesan airmata. Aku mendengarkan ucapan perpisahan yang terakhir kalinya dari beliau, pak Kasmirin.

“Ti, aku boleh nitip ini nggak? Buat dikasihkan sama pak Kasmirin. Aku malu kalau ngasihkan langsung.” Kalim berucap sambil menyodorkan sepucuk kertas yang ia tuliskankan sesuatu.

“Ini surat isinya apa?” Aku penasaran. Nyaris kubuka ujung lipatan itu, Kalim mencegahnya.

“Jangan Ti!”

“Oke!” Aku mengusir rasa penasaranku.

Lalu kudengar pak Kasmirin mempimpin doa pulang sekolah. Pak Kasmirin masih berdiri di ambang pintu, diikuti siswa-siswi kelas lima bersalaman dengan tertib. Namun masih saja terdengar isak tangis saat melangkah jauh dari sosok pahlawan bangsa kami.  

Kini giliranku berpamitan dengan beliau untuk terakhir kalinya, bersalaman sambil mencium punggung telapak tangannya. Lalu berkata dengan menundukkan kepala,

“Pak, ini ada surat kenang-kenangan dari Kalim.” Suaraku lirih nyaris tidak kudengar.

 Begitu renta, terlihat keriput yang mulai memakan usianya. Beliau semakin menua. Mungkin itu sebabnya tenaganya tidak lagi sekuat dulu. Jarak yang lumayan jauh antara desa Cangkring di kecamatan Jekulo dengan daerahku, Karangrowo. Karena hampir sejam perjalanan yang ditempuh untuk bisa sampai dengan tepat waktu.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, aku, Ayuk dan Kalim sesengukan. Terdengar suara Efi kembali histeris. Namun kami bertiga masih tetap mengayuh sambil terus membahas jasa-jasa pak Kasmirin selama mengajar di sekolah.

“Nggak nyangka ya pak Kasmirin pindah ….”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status