Share

Sang Pewaris Tersembunyi
Sang Pewaris Tersembunyi
ผู้แต่ง: BliDek

Sia-sia Menampungmu!

"Hei, mana makanannya?!" Seorang wanita paruh baya berteriak kepada Hamish yang sedang sibuk di dapur. Dengan wajah tidak sabar bercampur sebal, ibu Ida memperhatikan pria keturunan Turki sibuk di dapur.

Bunyi wajan dan spatula menggema di ruangan berukuran 3x4 meter. Wangi bawang dan telur menyeruak mengisi indera penciuman Ibu Ida membuat wanita pengurus panti asuhan ini penasaran, apa kali ini masakan Hamish layak makan.

Seorang pria berbadan kekar mengenakan apron bunga-bunga berwarna pink sedang sibuk berpindah dari sisi satu ke sisi yang lain.

Satu tangannya mengaduk wajan berisi nasi goreng Hongkong alias nasi goreng tanpa kecap sedang tangan yang lain sibuk memasukkan bahan pelengkap. Sesekali tangannya mengusap peluh di dahi, semoga saja nasi gorengnya tidak keasinan.

"Kamu itu lambat sekali! Bisa kerja gak sih?! Sia-sia kami memberikan kamu tumpangan disini!" Ibu Ida masih berdiri diambang pintu dapur memperhatikan Hamish dengan kesal. Tangannya terlipat di depan dada dengan pundak bersandar di pintu dapur. 

Hamish berdecak sebal. Ia memutar lehernya menoleh ke belakang memandang Ibu Ida kesal.

"Ini sebentar lagi selesai," ujarnya sambil menahan kesalnya.

"Cepet!" pekik Ibu Ida sambil berlalu perg kembali ke ruang makan, bergabung dengan penghuni panti yang lain.

Hamish membuang nafas kasar berkali-kali. Ia kemudian mempercepat gerak tangannya. Segera memasukkan bahan pelengkap ke dalam wajan sebelum akhirnya ia mematikan kompor.

Entah terlalu asin atau tidak, Hamish tidak tahu. Ia sendiri enggan mencicipi masakannya. 

Tidak bisa membawa tiga mangkuk sekaligus, Hamish meminta bantuan salah satu anak yang duduk di meja makan saat masuk ke ruang makan.

"Dani, tolong bantu abang! Ambil satu mangkuk lagi di dapur," pintanya.

"Ngerepotin aja!" keluh anak tertua di panti asuhan tempat Hamish tinggal. Tetapi walau mengeluh, bocah yang sekarang duduk di bangku SMA itu tetap bangkit dari duduk dan berjalan ke dapur. 

"Ini bisa dimakan?" Ibu Ida memandangi sendok yang hendak ia suap masuk ke mulutnya. Memandang makanan buatan Hamish tidak yakin dan jijik.

Nasi goreng buatan Hamish memang terlihat sedikit lebih basah dan lembek daripada nasi goreng yang biasanya. Telur yang harusnya tercampur rata masih berbentuk gumpalan besar-besar yang tidak merata.

"Jangan-jangan nanti aku sakit perut habis makan ini!" Dani memberikan ekspresi jijik saat mengangkat nasi goreng buatan Hamish dengan sendok. Perlahan ia menjatuhkan kembali nasi goreng itu ke piringnya.

Hamish memilih diam tidak menyahuti perkataan ibu Ida dan Dani. Ia tetap mengisi piring anak-anak dengan nasi goreng entah mereka akan memakannya atau pun tidak. Yang penting ia sudah melakukan tugasnya untuk membalas jasa karena membiarkan menumpang disini.

"Ayo makan!" serunya kepada anak-anak panti ketika selesai mengisi semua piring dengan nasi goreng.

Saat hari menjelang siang, Hamish memutuskan untuk pergi mencari pekerjaan. 

Mengetahui Dilara, gadis yang menolongnya sampai berhutang karena dirinya, ia semakin tertampar untuk segera melunasi hutang gadis itu.

Bermodal baju milik mendiang ayah Dilara, Hamish membawa beberapa amplop yang berisi surat lamaran yang ia tulis dengan tangan.

Dengan berjalan kaki, Hamish berkeliling kota Sidoarjo mencari satu per satu alamat yang sudah ia tulis di amplopnya.

Dilara memang meminjamkan uang untuk naik angkutan umum, tetapi ia harus menghemat uang itu agar bisa kembali ke panti. Jadi ia memilih berjalan kaki di tempat yang cukup dekat.

Kalau saja saat kejadian itu ia tidak kehilangan dompet dan juga ponselnya tentu ia tidak perlu repot-repot mencari pekerjaan. Tinggal angkat telepon, orang-orangnya pasti datang menjemput.

Hamish duduk di bawah pohon di taman kota. Mengibaskan sisa amplop di tangannya untuk menghilangkan gerah.

Bukan karena Sidoarjo panas tetapi karena ia sudah terbiasa dengan pendingin udara. Baik di rumah maupun kantor ia tidak pernah berkeringat karena pendingin udara menyala tanpa henti.

Yup, Hamish Akbar bukan orang sembarang. Ia pebisnis muda sukses yang disegani lawan-lawan bisnisnya. 

Malam itu, orang-orang tidak dikenal menyabotase mobilnya. Memukuli Hamish hingga hilang kesadaran. Saat ia bangun, Hamish sudah berada di pinggir jalan kota Sidoarjo dengan luka di sekujur tubuh. 

Beruntung Dilara datang menolong. Walau tidak mengenal Hamish sama sekali, wanita itu rela mengeluarkan banyak uang untuk perawatan Hamish bahkan memberikan pria itu tempat tinggal.

Hamish mengusap peluh di kening dengan tangan. Beberapa kali ia membuang nafas panjang mencoba bersabar walau sebenarnya ia ingin mengamuk dengan hidupnya saat ini yang berbeda 180 derajat dari hidupnya dulu.

Seorang Hamish Akbar harus berkeliling mencari pekerjaan padahal biasanya ia bisa menghasilkan ratusan juta dalam sehari. Sebelumnya oranglah yang datang kepadanya untuk meminta pekerjaan sekarang ia harus berusaha keras untuk uang pulang ke Jakarta yang tidak seberapa untuk seorang keturunan Akbar.

Ia memutar bola matanya malas melihat satu amplop yang masih tersisa. Berharap perusahaan ini akan menerimanya walau ia harus bekerja sebagai office boy.

Setelah bertanya pada beberapa orang akhirnya Hamish berhasil menemukan perusahaan yang ia cari.

"Sore, Pak. Saya mau mengantarkan surat lamaran. Saya harus menghadap siapa, ya?" tanyanya sopan sambil berusaha mengatur nafasnya yang tersengal.

Satpam berpakaian serba coklat itu memperhatikan penampilan Hamish dari atas ke bawah.

Wajah kucel, rambut berantakan, pakaian basah karena keringat. Pria ini tampak berantakan!

"Sampean mau melamar kerja?" tanya satpam itu tidak percaya. 

Hamish menggaruk alisnya yang tidak gatal. Menahan kesalnya karena satpam ini menanyakan hal yang jelas-jelas sudah ia jelaskan sebelumnya.

"Iya, Pak! Ini saya bawa suratnya. Ruangan HRD sebelah mana?" tanya Hamish to the point malas berbasa basi dengan satpam.

"Gembel kayak kamu mau kerja jadi apa disini, hah?!" Satpam itu berubah kesal melihat tingkah Hamish yang menurutnya angkuh.

Hamish mengepalkan tangannya kuat-kuat. Baru kali ini ada orang yang mengatainya sebagai gembel.

Ia sudah menjadi orang kaya sejak lahir. Walau tidak terekspos seperti sultan-sultanan sering muncul di televisi, keluarganya salah satu orang terkaya di negeri ini.

Tidak terima dikatakan gembel, Hamish mendorong satpam muda itu hingga mundur beberapa langkah.

"Siapa yang gembel, hah?!" pekiknya. Nafas Hamish memendek karena emosinya. Ia menatap tajam satpam yang juga sudah tersulut emosi karena sikap kasar Hamish.

"Pean lah! Gak sadar diri! Penampilan kayak begini mau melamar di perusahaan besar seperti ini. Ini perusahaan internasional bukan abal-abal!" Satpam berdiri di depan pintu lobi, tanda ia melarang Hamish masuk ke dalam.

Hamish menggeram, giginya bergemeretak. Namun belum sempat ia menyerang satpam itu, ada satpam lain yang memegang tangannya. 

"Lepas!" Hamish meronta, menggerakkan tubuhnya berusaha melepaskan diri.

Saat Hamish sedang berusaha melepaskan diri, mobil sedan mahal berhenti di depan lobi. Pintu mobil terbuka dan seorang berjas keluar dari dalam mobil.

Pria itu mendekati satpam yang sedang memegangi Hamish lalu berkata, "Tuan Muda?"

ความคิดเห็น (3)
goodnovel comment avatar
Tyas
nyimak dulu.., sepertinya seru
goodnovel comment avatar
Ans
greget bangetttt
goodnovel comment avatar
Ute Glider
Nasi goreng rasa keringet gpp irit garam ᥬ...᭄ semangat update author
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status