Share

Salahkah Menjadi Janda?
Salahkah Menjadi Janda?
Автор: Hans Yunata

Bab 1 Hamil

Darahku tersirap memandang benda pipih kecil di tanganku.

"Tina..." teriakan dari luar serta gedoran di pintu kamar mandi membuat benda itu jatuh ke lantai.

"Iya..." jawabku dengan jantung berdetak kencang.

"Buruan... Lama amat?" teriak Wina.

"Iya, sebentar." sahutku.

Aku mengambil benda yang jatuh itu.

Mataku nanar menatap hasil test pack di tanganku. Test pack termahal yang katanya hasilnya 99,99% akurat. Dan sama seperti test pack sebelumnya, kali ini pun hasilnya tetap garis dua yang sangat jelas dan tegas. Sebenarnya aku yang naif dan berusaha menyangkal. Enam test pack sebelumnya (yang kupakai untuk tes urine setiap hari), walaupun harganya murah, sudah menunjukkan garis dua yang artinya aku positif hamil. Tapi aku tetap mengulanginya, berharap hasilnya berbeda.

Bagaimana aku harus menyangkalnya? Bahkan tanpa test pack ini pun, aku sudah tahu kalau aku hamil. Perubahan tubuhku sangat nyata. Aku sering merasakan mual terutama di pagi hari dan emosiku gampang sekali berubah-ubah dan berganti secepat nadi berdenyut. Menurut artikel yang kubaca, itu adalah tanda umum seorang wanita hamil.

Kalau orang lain yang mengalami ini, mungkin akan berteriak bahagia memberitahukan kepada seluruh dunia bahwa ia hamil. Tapi aku? Jangankan seluruh dunia, bahkan di kamar mandi kos yang sempit ini aku harus sembunyi-sembunyi. Tersiksa setiap pagi dalam satu minggu ini, membekap mulut kuat-kuat saat keinginan muntah mendera supaya yang lain tidak mendengar.

Air mataku menetes perlahan. Kutahan isakku dan kuputar keran air dengan kencang sehingga bunyi gemerisik air menyamarkan suara-suara yang kutimbulkan dalam kamar mandi ini. Kali ini aku harus menerima kenyataan. Bukankah memang sudah saatnya aku mendapatkan ini? Kami sudah berkali-kali melakukannya, tidak mungkin aku lolos terus. Bahkan kami pernah melakukannya tanpa pengaman.

Aku mengusap air mataku. Bagaimana aku memberitahu Anton? Bagaimana aku harus menuntut tanggung jawabnya?

"Tin... Tina..." terdengar lagi suara dan ketukan dari luar pintu. "Agustina Kusuma!"

"Ya?" Aku tergagap. Untung air keran masih mengucur deras sehingga suaraku yang sengau tidak kentara.

"Kamu ngapain? Udah lama lho kamu di dalam," itu suara Wina, teman sekosku.

"Iya, Win. Sembelit nih," kilahku sambil memutar keran air sedikit lebih pelan.

"Jangan lama-lama jongkok. Ntar kamu bisa ambeien," Wina bercanda sambil terkekeh.

Pasti dia sedang ingat teman kami, Sarah, yang minggu lalu opname di rumah sakit karena menderita ambeien.

Kudengar langkah kakinya sudah menjauh. Aku kembali menatap wajahku di kaca kecil yang tergantung di dinding kamar mandi. Andai saja aku bisa menolak Anton dengan tegas mungkin ini tak akan terjadi.

Aku ingat betul saat pertama kali Anton memintaku jadi pacarnya. Tentu saja aku bahagia dan segera mengiyakannya karena aku diam-diam sudah lama menyukainya. Siapa yang nggak mau jadi pacar pemuda tampan itu? Siapa yang tidak mengenalnya? Dia sangat tampan dan populer di kota ini. Dia juga bekerja sebagai tenaga harian lepas tapi di kantor yang berbeda denganku.

Itu terjadi setengah tahun yang lalu saat aku merayakan ulang tahunku yang ke-19 tahun. Aku yang merayakannya dengan mentraktir makan teman sekosku, Wina dan Sarah, di sebuah cafe yang baru buka di kota kami, dikejutkan dengan kedatangan Anton dengan buket bunga mawar di tangannya.

"Aku udah lama naksir kamu, Tin. Mau nggak kamu jadi pacarku?" Tanyanya saat itu.

Aku menatap kedua temanku. Mereka hanya senyum-senyum meledekku.

"Aku sering lho nitip salam sama kamu lewat mereka berdua," Anton mengedipkan matanya kepada kedua temanku. "Nggak sampai, ya?"

"Emang masih zaman nitip salam?" Celetuk Sarah yang memang terkenal blak-blakan. "Nitip barang dong. Makanan kek, uang kek."

"Aku nggak ada dititipi apa-apa lho," kata Wina, temanku yang satu ini seorang pendiam. "Jadi nggak ada juga yang disampaikan ke kamu, Tin."

"Ya, udah sih," kata Anton. "Mau, ya? Ya... Ya... Ya..." Anton menyodorkan bunganya ke hadapanku. " Kalau diterima berarti mau."

"Terima... Terima..." Sarah menyemangatiku sambil bertepuk tangan.

Aku memandangi Anton lalu beralih ke Sarah, dia mengacungkan kedua jempolnya. Tapi saat aku menatap Wina, gadis pendiam itu menggeleng samar.

Tapi aku tidak bisa berpikir lama-lama. Anton sudah mendekatiku. Jarak kami hanya dibatasi oleh bunga mawarnya. Tanpa pikir panjang karena aku juga diam-diam menyukainya, aku segera mengambil bunga yang disodorkannya.

"Yes..." Anton mengepalkan tinjunya di udara dan tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sudah ada di dalam pelukannya.

Saat mataku bersirobok dengan mata Wina, aku melihat sinar kecewa memancar dari sana. Tapi aku tidak peduli. Yang kurasakan hanyalah bahagia.

"Tin..." Kembali terdengar suara Wina. "Kamu nggak kerja, ya? Ini udah hampir jam 8 lho. Sebentar lagi kita apel pagi."

Kami bertiga, aku, Sarah dan Wina, memang bekerja di kantor yang sama. Bedanya mereka berdua sudah berstatus PNS sedangkan aku masih tenaga harian lepas dan aku yang paling muda di antara kami bahkan di antara rekan kerja di kantor tapi kami bertiga sepakat untuk saling memanggil nama saja supaya lebih akrab dan tidak ada batas.

"Mungkin aku nggak ikut baris, Win," jawabku. "Perutku kurang enak nih."

"Kamu kayak lagi morning sickness aja deh."

Deg. Jantungku berdebar cukup keras mendengar perkataan Wina. Apa dia tahu sesuatu? Dan saat melihat kaca, wajahku ternyata sudah memerah.

"Apaan sih, Win?" seruku.

"Ya, udah, aku pergi duluan, ya. Cepetan nyusul. Ntar Pak Kumis nanya kamu lagi. Aku malas meladeni om kamu itu. Genit!"

Aku tersenyum. Pak Rudi, pamanku, memang berkumis tebal sehingga hampir setiap orang yang mengenalnya menyebutnya Pak Kumis. Dia orang baik walaupun sedikit genit.

"Ok, hati-hati, ya!"

Sekali lagi aku berkumur. Setelah memastikan rasa mualnya sudah hilang, aku keluar.

"Lho, nggak kerja?"

Aku terkejut mendapati Bu Sari, ibu kos kami, sudah ada di meja makan.

"Kerja, Bu. Ini baru selesai mandi," jawabku.

"Tapi Wina udah berangkat tuh," lanjut Bu Sari.

"Iya, Bu. Biar aja dia duluan. Permisi, Bu," aku segera beranjak meninggalkan beliau sebelum semakin banyak lagi pertanyaannya.

Aku menghenyakkan pantatku di kasurku yang mungil. Kupandangi dan kuelus permukaannya yang dilapisi seprei putih. Hanya sebulan setelah kami sah pacaran, Anton mengambil kesucianku di atas kasur ini. Seprei ini pula yang menjadi saksi darah pertamaku menodai warnanya yang putih dan polos.

Sebenarnya ibu kosku melarang laki-laki masuk ke kamar anak kosnya. Tapi hari itu, Anton diam-diam masuk ke kamarku karena aku sedang demam dan di rumah hanya ada aku. Sarah dan Wina pulang kampung. Dan entah bagaimana, Anton berhasil membujukku sehingga terjadilah perbuatan terlarang itu. Bukannya bertobat, tapi sejak saat itu kami jadi sering melakukannya. Anton selalu punya cara membujukku. Mulai dari rayuan semanis madu sampai kepada ancaman bahwa dia akan menyebarkan aib kami. Tentu saja aku takut dengan ancaman itu.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Saat kedua kalinya kami melakukan perbuatan haram itu, aku baru ingat perkataan Wina. Dia satu-satunya orang yang tidak setuju aku pacaran dengan Anton, bahkan di saat acara ulang tahunku, dia jelas-jelas menunjukkan ketidaksetujuannya. Tapi aku dibutakan rasa bahagia sehingga mengabaikannya bahkan menganggapnya cemburu kepadaku.

"Sepertinya dia bukan orang baik, Tin," katanya setelah kami pulang dari kafe malam itu.

"Kamu tahu dari mana?" Tanyaku sambil mencium-cium mawar pemberian Anton.

" Firasatku bilang dia bukan orang baik," kata Wina.

"Bagaimana kalau firasat kamu itu salah?" Tantangku. "Kamu menilainya dari mana?"

"Dia urakan dan nggak sopan," kata Wina. " Lihat aja tadi, dia kayak nggak menghargai kamu dan juga kami."

Aku kurang suka mendengar penuturannya. "Bilang aja kamu cemburu kan," ledekku.

"Cemburu?" Wina terkekeh geli. " Sorry, Tin, walaupun dia tampan, aku nggak tertarik sedikit pun sama dia."

"Udah deh, ngaku aja." Aku ngotot.

Sekarang aku menyesalinya. Tapi aku menyadari bahwa aku tidak akan bisa lepas dari Anton sejak pertama kali dia mengambil hartaku yang paling berharga.

Aku meremas rambutku pilu. Bagaimana ini? Bagaimana cara menyampaikan ini kepada Anton?

Dan seakan mengerti kegelisahanku, tiba-tiba ponselku berdering. Aku meraihnya dari meja kecil di samping kasurku. Nama Anton tertera di sana.

"Halo?"

"Halo, Sayang," suara ceria di seberang sana bukannya menenteramkan aku, tapi malah membuatku tiba-tiba mual lagi.

"Bang, aku mau ngomong," kataku.

"Apa, Sayang? Bilang aja. Kita kan lagi ngomong ini. Eh, kamu masih di rumah, ya?"

bersambung...

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status