Share

Bab 6 Tidak Boleh

Satu bulan sudah berlalu sejak aku tahu kehamilanku dari test pack itu. Aku merasa tubuhku sudah mulai berubah. Aku mulai gemuk. Perutku memang masih rata tapi ada perubahan di bagian-bagian tertentu. Aku memang merasa mual di pagi hari dan terkadang di malam hari juga. Tapi nafsu makanku meningkat di siang hari. Aku tidak tahu bagaimana kondisi kandunganku karena aku belum pernah memeriksakan diri ke dokter spesial kandungan. Aku harap janinku baik-baik saja. Sebisa mungkin kujaga pola asupan makananku dan diam-diam aku minum susu ibu hamil.

Aku harus menahan keinginanku untuk bertanya kepada Anton tentang tanggung jawabnya karena kondisi ibunya yang masih dirawat di rumah sakit. Dia terlihat tertekan. Anton memang sangat dekat dengan ibunya dan sepanjang yang kutahu dan juga cerita orang-orang, ibunya juga sangat menanjakan Anton. Dia anak kesayangan Bu Ria. Padahal Anton hanya anak ketiga dari 5 bersaudara.

Aku berusaha memenuhi keinginannya. Setiap hari dia menyuruhku ke rumah sakit menjenguk ibunya. Karena kantor kami berada di samping rumah sakit, jadi aku bisa meluangkan waktu sebentar ke sana dengan harapan Bu Ria dapat melihat ketulusan hatiku dan akan menerimaku.

Aku mengabaikan godaan dan ledekan dari teman-temanku setiap kali aku ke sana.

"Cieeee, bakalan jadi mantu kesayangan nih," kata Diana kemarin.

"Harus pandai-pandai mengambil hati mertua dong." sambung Ditha.

"Iya nih, biar disayang jadi harus curi start dari sekarang," kataku sekenanya.

Aku bersikap manis kepada Anton demi tanggung jawabnya terhadap anak ini. Padahal di kantor juga semakin sibuk karena kami sudah mulai memindahkan barang-barang ke gedung kantor yang baru. Kalau tidak ada halangan, kami akan menempati kantor baru minggu depan.

"Kak..."

Aku menoleh. Denny berlari-lari ke arahku. Aku menunggunya. Dia cukup akrab denganku.

"Kata dokter mama udah boleh pulang besok, Kak," katanya riang.

"Oh ya? Syukurlah," kataku juga ikut senang. "Siapa yang jaga Bibi sekarang?"

"Tadi ada Bapak, tapi katanya mau pulang sebentar, mau mandi dulu."

"Jadi sekarang Bibi sendirian di kamarnya?"

Denny mengangguk. "Tadi sih lagi tidur pas aku tinggal."

Saat kami sudah dekat ke kamar rawat Bu Ria, kami mendengar suara obrolan dari dalam. Ternyata Anton sedang berbicara dengan ibunya. Kami sudah hampir membuka pintu ketika aku memdengar namaku dalam pembicaraan mereka.

"Eh, Den, kayaknya aku lupa beli sesuatu deh," kataku sambil menarik tangan Denny menjauhi pintu.

"Beli apa, Kak?" tanya Denny.

"Tolong belikan air minum yang botol besar, ya." aku asal sebut saja supaya Denny cepat pergi. "Beli di kantin depan aja, ya."

"Kenapa harus ke depan? Jauh, Kak. Yang di dalam ini aja, ya."

"Jangan. Yang punya kantin di depan itu temanku, lebih baik belanja sama dia aja." kataku sambil menjejalkan uang ke tangannya. Tak sabar untuk mendengar percakapan Anton dengan ibunya.

"Ok, deh," Denny pergi.

Aku segera merapat ke pintu.

"Untuk apa kamu cepat-cepat menikah, Nak? Kok mendadak?" itu suara Bu Ria.

Deg. Jantungku berdetak cepat. Apakah Anton sedang membicarakan hubungan kami?

"Sebulan lagi aku 25 lho, Ma," kata Anton. "Itu nggak muda lagi."

"Iya, tapi kan pacarmu masih sangat muda. Baru tamat SMA kan dia?"

"Dia udah 19 kok, Ma. Bentar lagi 20," kata Anton.

"Nah, masih sangat muda itu. Mama aja produk zaman dulu menikah pas umur mama udah 24," kata Bu Ria. "Udah, kalian kerja aja dulu baik-baik. Bersyukur karena kalian bisa bekerja tanpa susah payah melamar ke sana ke mari. Nanti kalau ada rezeki, kalian kuliah lagi aja dulu."

"Tapi, Ma..."

"Pokoknya Mama belum mengizinkan kamu menikah secepat ini," kudengar suara tegas Bu Ria. "Kamu laki-laki, nggak apa-apa menikah sampai umur 30."

"Ma..." suara Anton memelas

"Lagian kakakmu belum menikah. Masa kamu melangkahi kakakmu? Tega kamu?" akhirnya alasan sebenarnya keluar juga. "Pantang melangkahi kakak perempuan lho."

"Tapi yang aku dengar nggak apa-apa kalau adik laki-laki yang melangkahi. Asalkan jangan adik perempuan aja, Ma," Anton masih berusaha membantah.

"Bagi Mama itu sama aja," kata Bu Ria. "Udah, jangan banyak pertanyaan lagi. Pokoknya selama kakakmu belum menikah, kamu juga tidak boleh menikah," suara tegas Bu Ria menghantam jantungku telak. "Kakakmu dulu, baru kamu dan adik-adikmu. Sesuai urutan."

"Ini, Kak," tiba-tiba Denny sudah berdiri di dekatku dan menyodorkan sebotol besar air mineral yang entah kenapa hanya itu yang terpikirkan tadi.

"Ah, Denny, kamu bikin kaget aja," aku mengelus dada.

"Lagian kenapa juga Kakak masih di luar? Kenapa nggak langsung masuk aja?"

"Abangmu dan Bibi masih bicara, jadi aku nungguin kamu biar kita sama-sama masuk. Aku segan masuk sendirian." kataku beralasan.

"Ya, udah. Yuk!" Denny menarik tanganku masuk.

"Selamat sore, Bi," aku menyapa dengan tenang seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Aku dan Anton berpandangan.

"Baru pulang kerja?" tanya Bu Ria melihat aku masih memakai seragam kerjaku.

"Iya, Bi." aku meletakkan bawaanku di meja.

"Kamu nggak usah repot-repot bawa apa-apa sama Bibi." kata Bu Ria.

"Nggak repot kok, Bi. Hanya buah kok." kataku.

"Lihatlah pacarmu ini, Tin. Masa tiba-tiba dia minta izin menikah?" Bu Ria sambil tertawa kecil mengajukan pertanyaan itu membuatku tergagap.

"Eh... eh..."

"Kalian masih muda. Selagi ada waktu, pergunakanlah untuk mengembangkan potensi diri. Apalagi kamu, Tin. Jangan kayak perempuan zaman dulu. Kita hidup di zaman sekarang harus melek teknologi. Bibi aja yang sudah tua berusaha keras mengimbangi kemajuan zaman ini."

"Iya, Bi," ludahku kelu. Kupandangi Anton, tapi dia malah mengalihkan tatapannya ke taman di luar jendela.

"Kalian sekarang masih THL. Berdoa aja semoga kalian bisa diangkat jadi PNS. Nah, sembari menunggu kalian kan bisa kuliah. Banyak kok perguruan tinggi yang membuka kelas jauh." lanjut Bu Ria. "Kalau udah tamat, bisa ikut tes CPNS."

"Iya, Bi," kataku perih.

Masalahnya bukan itu, Bi, jerit hatiku. Kubulatkan tekadku. Inilah saatnya, pikirku. Tapi saat aku hendak membuka mulut, tangan Anton yang besar dan kuat mencengkeram tanganku erat-erat sampai sakit. Aku memandangnya. Ia menggeleng kuat-kuat dengan mata melotot dan bibir mengatup rapat.

Kenapa? tanyaku melalui sorot mataku. Dia tetap menggeleng

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kak Ana masuk bersama Lola, kakak angkat Anton.

"Gimana, Ma? Udah sehat kan?" Kak Ana memeluk ibunya.

"Udah, Nak." jawab Bu Ria.

"Jadi besok pulang, Ma?" tanya Lola.

Bu Ria mengangguk. Aku langsung menyingkir ke belakang menjauhi ranjang pasien.

"Kalau begitu saya pulang dulu, Bi" aku yang merasa kehadiranku tidak dianggap pamit undur diri.

"Baiklah. Hati-hati, ya." kata Bu Ria.

Tak sedikit pun Kak Ana dan Lola mau melirikku. Mereka seakan menganggap aku tidak ada. Entahlah, aku bisa merasakan bahwa mereka tidak menyukaiku. Apalagi Kak Ana.

Aku menyusuri koridor rumah sakit dengan hati pilu. Ternyata di luar sudah gelap. Air mataku tak bisa kubendung lagi. Dan seperti tahu keadaanku, perutku bergolak. Mungkinkah janinku merasakan penderitaanku?

bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status